13. Titik Balik

1994 Kata
Zara memasuki rumahnya dengan hati-hati agar Ayahnya tidak terbangun. Ia langsung menuju ke dapur, mengambil air putih di dalam lemari es, dan duduk di kursi bar. Dengan cepat Ia menuangkan air dalam botol ke dalam gelasnya dan menenggaknya sampai habis untuk menenangkan pikirannya. Hari ini seakan menjadi mimpi buruk dan sepertinya tidak akan pernah Ia lupakan seumur hidupnya. Masih terekam dengan jelas di ingatannya bagaimana polisi-polisi itu menggeledah semua yang Ia bawa, memeriksa setiap jengkal tubuhnya. Bahkan ada dari mereka yang menariknya dengan kasar untuk menaiki mobil patroli seakan Ia adalah seorang penjahat yang harus diperlakukan dengan tidak pantas. Dulu Zara begitu bahagia menikmati setiap detik kehidupannya bersama orang-orang tersayang, hidup yang diinginkan begitu banyak orang. Tapi kenapa saat ini Ia begitu menyia-nyiakannya? Zara tak pernah sedikit pun menyalahkan Alena dan teman-temannya atas peristiwa itu, justru Zara merasa menjadi manusia yang sangat rendah karena begitu mudahnya Ia terlena dengan bujuk rayu setan. Zara naik ke kamarnya di lantai dua. Ia bergegas mandi dan berwudhu. Waktu masih menunjukkan pukul 03.00, masih ada waktu untuknya menunaikan sholat Isya yang selama ini sering Ia tinggalkan. Zara mengambil mukenanya di sandaran kursi belajarnya lalu menggelar sajadahnya ke arah kiblat. Setelah menunaikan empat rakaatnya, Zara bersujud memohon ampunan kepada Allah dengan berlinang air mata. Ia memperbanyak istighfar sebagai bentuk penyesalan atas semua yang sudah dilakukannya. Ia berharap Allah masih membukakan pintu taubat untuknya dan mengampuni segala dosa-dosanya. Sejak malam itu Zara berjanji kepada dirinya sendiri untuk lebih menghargai hidupnya dengan banyak bersyukur. Menghargai apa yang sudah Allah berikan kepadanya sekecil apapun itu. Zara menyadari kesalahannya, dia tau ini akan sangat membuat Diana amat sangat kecewa jika beliau masih hidup. Zara tidak ingin hidupnya ia sia-siakan untuk hal yang tidak berguna. Jika Zara terus terjerumus lalu apa bedanya Ia dengan Ayahnya? Malam itu menjadi titik balik Zara untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Zara berdiri dan meraih bingkai foto yang tergeletak di meja belajarnya. Dipandanginya foto itu hingga bulir air mata menetes di kacanya. “Maafin Zara ya Mah… pasti Mamah kecewa sama Zara. Zara janji Mah… Zara akan jadi anak Mamah yang manis…” kata Zara sambil mengelap tetes air mata yang jatuh di atas bingkai foto. Zara merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya sambil terus menatap foto Ibunya. Hingga tanpa sadar Ia tertidur dengan masih mengenakan mukena dan memeluk foto Ibunya *** Suara adzan Subuh dari masjid komplek perumahan mulai berkumandang, membuat Zara terbangun dari tidur singkatnya. Kepalanya sedikit pusing dibuatnya, tapi Ia paksakan untuk bangun. Ia mengucek matanya yang masih terasa berat. Ia melepas mukenanya dan kembali mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat Subuh. Setelah selesai sholat subuh, Zara menuju ke dapur untuk membuat sarapan untuknya dan untuk Ayahnya. Ia membuka lemari es, hanya tersisa satu telur. Ia pun berinisiatif untuk membuat nasi goreng dengan nasi sisa semalam. Walaupun Zara tak pandai memasak, tapi untuk membuat nasi goreng saja Ia cukup ahli. Dengan bumbu dapur seadanya, Zara bisa menyulap nasi putih itu menjadi nasi goreng yang menggugah selera. Aroma nasi goreng mulai tercium ketika sudah hampir matang, membuat Zara tiba-tiba merasa lapar. Terdengar suara derap langkah seseorang menuruni anak tangga tepat setelah Zara mengangkat nasi goreng yang sudah matang dari atas wajan. “Sarapan dulu Pah…” kata Zara dengan lembut dan sopan. Ia berharap hubungannya dengan Ayahnya pun kembali membaik. “Papah belum laper.” Kata Herman singkat sambil terus berjalan menuju ke garasi mobilnya. “Ya udah… Zara taruh di meja makan ya Pah…” “Heeemmm…” Sikap Ayahnya memang telah berubah, tapi Zara yakin akan ada saatnya dimana Ayahnya kembali seperti dulu lagi dan bisa menerima kenyataan. Setelah menaruh nasi gorengnya di atas meja makan, Ia tak langsung memakannya. Zara kembali ke kamarnya untuk membenahi skripsinya yang terbengkalai. Hingga sebuah panggilan masuk ke telepon genggamnya. “Assalamualaikum… Tante….” Sapa Zara ramah. “Waalaikumsalam… Kamu kenapa Ra? Kok suaranya agak beda?” tanya Rena yang mendengar suara Zara terdengar parau, mungkin karena terlalu banyak menangis. “Ngga papa kok Tante, mungkin karna dingin jadi suara Zara sedikit serak.” Jawab zara beralasan. “Y udah… kamu jaga kesehatan ya. O ya… Mmmm… kemarin Bi Inah telfon Tante…” Rena menjeda perkataannya. “Bi Inah bilang apa Tan?” tanya Zara cepat. Jangan-jangan Bi Inah menceritakan semua yang terjadi di rumah ini pada Tante Rena. Bukan karena malu dan tidak ingin berbagi, tapi Zara tidak ingin membuat beban pikiran keluarganya di Medan. “Tante udah tau semuanya… kenapa sih Ra kamu ngga cerita ke Tante?” terdengar isak tangis di ujung telepon. “Kalo ada apa-apa kamu cerita ke Tante. Ya…?” “Iya Taaaan… Zara ngga papa kok. InsyaAllah Zara kuat.” Tiba-tiba Ia merasa tertampar dengan perkataannya sendiri. Tapi Ia pun tak mungkin menceritakan apa yang sudah terjadi padanya. Tidak mungkin Ia menceritakan jika selama ini dirinya pun sempat terpuruk dan terjerumus dalam pergaulan yang salah hingga nyaris berakibat fatal. “Kemarin Bude Widya bilang sama Tante, kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di Medan. Kamu boleh pilih mau tinggal sama Tante atau Bude Widya. Daripada kamu sendirian di Jakarta. Bude sama Tante juga bakal lebih tenang kalo kamu di sini.” Ajak Tante Rena. “Ngga papa Tan. Ini ada Papah kok di rumah. Soalnya minggu depan Zara mau………… Eee, maksudnya lagian Zara kan masih kuliah. Tante kan tau Zara lagi ngerjain skripsi. Minta doanya ya Tan, biar Zara bisa cepet selesein kuliah Zara.” Zara buru-buru meralat ucapannya. Ia mengurungkan niatnya untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Ia akan pindah karena rumahnya yang ditempati saat ini akan dijual. Karena sudah pasti akan menambah beban pikiran keluarganya di Medan. “Tapi kalo ada apa-apa kamu bilang ya sama Tante. Kalo perlu nanti Tante suruh Bi Inah balik ke Jakarta lagi… soal gaji Bi Inah kamu ngga perlu………” belum juga Bi Inah menyelesaikan bicaranya, Zara cepat-cepat memotongnya. “Jangan… Jangan… ngga usah Tante. Lagian Zara juga udah gede kok. Udah bisa ngurus diri Zara sendiri.” kata Zara menolak. “Ya udah kalo gitu…” jawab Rena. Rena pun percaya karena selama ini Ia tahu Zara anak yang mandiri. “Ya udah dulu ya Ra… besok-besok Tante telpon lagi. Wassalamualaikum…” “Waalaikumsalam…” Hmmm… Bibi-Bibiii… tapi makasih ya Bi… itu artinya Bibi sayang sama Zara, Bibi khawatir sama Zara. kata Zara dalam hati. *** Pagi itu, setelah sarapan Zara segera bersiap menuju ke kampus. Walaupun hari ini Ia tidak ada jadwal kuliah tapi Ia ingin bertemu dengan dosen pembimbingnya untuk mengajukan kembali draf skrispsi yang sudah direvisi. Sampai di kampus, Zara langsung menuju ke ruangan Bu Lidya. Zara sedikit mengintip ke dalam ruangan, kebetulan sekali Bu Lidya sedang berada di tempat karena Zara pun tidak sempat membuat janji temu. Sepertinya Allah begitu memudahkan segala urusannya. Tok! Tok! “Masuk.” Jawab suara lembut Bu Lidya dari dalam ruangan. “Selamat pagi Bu…” sapa Zara ramah sambil menganggukkan kepalanya sebagai tanda hormat. “Eh, Zara… duduk Ra.” Kata Bu Lidya yang tengah sibuk di depan laptopnya. “Makasih Bu…” ucap Zara sambil duduk di kursi yang berada di depan meja bu Lidya. Segera Bu Lidya menutup laptopnya. “Gimana Ra?” tanya Bu Lidya sambil menatap Zara. “Ini Bu… saya mau kasih draf skripsi saya yang sudah direvisi.” Kata Zara sambil menyerahkan draf skripsinya pada Bu Lidya. “Kamu udah kasih ke Pak Danang?” Tanya Bu Lidya sambil menerima draf skripsi Zara. “Belum Bu.. rencananya habis ini kalo Pak Danang ada di ruangan.” “Oke… nanti Ibu cek dulu ya.” “Iya Bu… Makasih banyak Bu. Kalo gitu saya permisi dulu.” Ucap Zara tanpa banyak berkonsultasi karena melihat sepertinya Bu Lidya sedang sibuk. “Iya Zara…” Setelah keluar dari ruangan Bu Lidya, Zara pun bergantian menemui Pak Danang, pembimbing dua Tugas Akhirnya. Beruntung sekali Pak Danang pun sedang berada di ruangannya walaupun Ia sedang terburu-buru untuk menuju ke ruang kelas karena bertepatan dengan jadwal mengajarnya. *** Zara berjalan menuju ke perpustakaan FEB (Fakultas Ekonomi dan Bisnis). Tujuannya ke sana tidak untuk belajar atau meminjam buku, tapi untuk mencari Cintya dan Della. Zara menyadari akhir-akhir ini Ia bersikap tidak baik pada mereka. Pikirannya yang sedang kalut saat itu membuat Ia menjadi cuek dan mengabaikan teman-temannya. Zara ingat betul perkataan Cintya saat itu, bagaimana Ia terlihat begitu marah saat mengetahui kedekatannya dengan Alena, tapi dengan ketus Zara mengabaikannya. Sekarang terbukti, Alena bukanlah teman yang baik untuknya, hampir saja Alena menjerumuskannya ke dalam obat-obatan terlarang. Saat ini Ia menyadari itulah gunanya teman, yang harus saling mengingatkan jika salah satunya berbuat di luar batas, yang selalu ada tidak hanya saat senang tapi juga sedih. Seperti halnya Cintya dan Della yang selalu berusaha mengingatkan Zara biarpun Zara bersikap cuek pada mereka. Mungkin itulah yang namanya sahabat… hal yang selama ini diragukan Zara. Zara mengarahkannya pandangannya ke dalam perpustakaan, dimana Cintya dan Della biasa menghabiskan waktu senggangnya di luar jadwal kuliah. Namun Zara tidak menemukan keduanya di sana. Ia pun berjalan ke lorong kampusnya dan menuju ke kantin FE (Fakultas Ekonomi). Dilihatnya Cintya dan Della sedang duduk di sana sambil menatap layar laptopnya masing-masing dengan buku yang berserakan di atas meja. Zara menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Dengan sedikit ragu Ia mendekat ke arah mereka. Sejujurnya Zara takut mereka masih marah padanya atau lebih buruknya mereka sudah tidak mau berteman lagi dengannya. “Mmmm… Cint… Dell…” sapa Zara pelan. Reflek Cintya dan Della menatap ke arah Zara. “Eh Ra…” kata Della sambil melemparkan senyum ke arah Zara. Sementara Cintya menatap Zara tanpa ekspresi. “Kenapa lagi?” tanya Cintya dengan ekspresi datar. “Mmmm… boleh ngga gue duduk di sini.” Tanya Zara dengan ragu. “Duduk aja…” jawab Cintya yang kembali fokus ke layar laptopnya. “Eh Ra, gimana kabarnya?” tanya Della basa basi untuk mencairkan suasana. Ia tak mau kejadian di selasar beberapa waktu lalu kembali terulang. “Baik Dell…” jawab Zara. “Gue tau kalian masih marah. Gue Cuma mau minta maaf. Selama ini gue udah terlalu cuek sama kalian. Padahal kalian begitu peduli sama gue.” Kata Zara dengan anda menyesal. “Akhirnya lo sadar juga. Atau karna Alena udah ketangkep?” tanya Cintya sedikit ketus. Berita tertangkapnya Alena karena kepemilikan Ekstasi begitu cepat menyebar di lingkungan kampus. Entah siapa yang menghembuskannya untuk pertama kali. Kalaupun itu adalah teman genk-nya sepertinya tidak mungkin karena sama saja menjatuhkan nama mereka sendiri. “Maafin gue Cint, Dell… selama ini emang gue salah menilai pertemanan. Gue pikir ngga ada yang namanya sahabat. Mereka semua ngga ada yang tulus. Tapi setelah kejadian ini, gue ngerti kenapa kalian begitu peduli ke gue, selalu ngingetin gue di saat gue salah arah… gue aja yang ngga peka.” kata Zara. Ada bulir air mata yang menggenang di pelupuk matanya yang berusaha Ia tahan. Akhirnya Cintya menoleh ke arah Zara. Ia melihat penyesalan yang begitu dalam di wajah Zara hingga hatinya pun kembali luluh. Cintya menggenggam tangan Zara yang duduk di sampingnya. “Alhamdulillah… akhirnya lo sadar Ra. Terserah lo mau anggep kita apa. Awalnya kita cuma pengen hibur lo, nemenin lo… tapi lama-lama lo berubah dan kita ngrasa punya kewajiban buat ngingetin lo sebagai temen.” Jawab Cintya yang sudah mulai melunak. “Kita ngerti kok kenapa lo kaya gitu. Pasti ini berat banget buat lo.” “Makasih ya Cint… lo emang bener-bener sahabat gue.” Kata Zara lagi. Cintya mengangguk sambil tersenyum. “Sama-sama Ra.” “Makasih juga ya Dell…” kata Zara sambil menatap ke arah Della yang sedari tadi menatapnya sambil tersenyum. Ia lega Zara sudah kembali seperti Zara yang Ia kenal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN