Kasus 2 - Penculik (1)

1338 Kata
Setelah di amuk Raon. Para anggota Unit Lima kini berada di kantin kepolisian. Kegagalan kasus dan omelan yang di dapat membuat cacing di perut mereka berontak. Terutama Ory. Dia adalah tipe orang yang akan merasa lapar jika ada masalah. Mereka bertiga duduk dengan tertip di meja makan sambil mengambil makanan yang segunung. Kecuali Rose yang hanya makan salad, diet pembentukan tulang rusuk katanya. "Liat tuh, Unit Lima gak guna banget. Masa bisa salah tangkap orang, hihihi malu-maluin," Jeni, anggota Unit Satu. Usia dua puluh delapan tahun. Sembilan puluh persen selalu sukses dalam misi. Dia duduk tak jauh dari meja tempat Ory dan kawan-kawan. Menatap mereka sambil berbisik kepada temannya, bisikan yang begitu lembut hingga terdengar di jarak lima meter. "Hahaha, gimana lagi. Lu tau kan Kapten mereka, yang itu tuh. Detektif temprament kek emak-emak PMS," Sina, usinya baru dua puluh enam tahun. Anggota Unit Satu termuda. Sebelum bergabung, keberhasilan kasusnya cukup tinggi dan makin tinggi saat berada di kepolisian pusat, mencapai tujuh puluh delapan persen. Dia melirik ke arah tim Unit Lima, lali menyeringai. Jelas sekali dia sedang mengejek. "Kasian banget ye mereka. Dapat Kapten kayak dia. Awkwkwk, emank bagusan si Kapten Sosiopat itu kerja sendiri. Malah dikasih tim ancor kayak gini. Rusak deh," sambung Jeni sambil menyedot jus tomat yang ada di depannya. "Kapten Rawon sih dulu detektif hebat. Tapi sejak kasus terakhir makin kesini makin gak mutu aja," "Rawon, nasi donk, hihihi." Mereka berdua cekikikan. Rose yang jengah dengan perkataan mereka langsung membanting sendoknya ke atas meja, lalu menarik nafas panjang. "Mak, jangan dengerin. Jangan marah," ucap Ory, lalu mengambil sendok yang dilempar Rose dan mengembalikan sendok tersebut ke piring salad di depan Rose dengan rapi. "Ngapain sih mereka ngeghibah kek emak-emak komplek. Gak tau tempat banget," Rose mengipas wajahnya dengan tangan karena gerah sekaligus kesal. "Biarin aja, Mak. Jangan marah. Nanti vitamin saladnya sia-sia." "Oh, benar juga. Ory memang pintar," Mendapat pujian dari Rose Ory nyengir dengan mulutnya yang belepotan. Sementara itu, Bobby tak bersuara sama sekali. Dia sibuk dengan makanannya sambil mengurusi poni keritingnya yang dari tadi menutupi nata. Terlihat sangat mengganggu sekali. "Jangan-jangan si Rawon anggap mereka beban gak sih, gua denger tuh Sosiopat keberatan awalnya dikasih tim kayak mereka," perghibahan Jeni san Sina belum selesai. Jeni sengaja menaikkan volume suaranya, agar di dengar oleh anggota Unit Lima yang tengah menahan emosi. Terutama Rose. "Atau jangan-jangan dia takut salah satu dari mereka metong. Inget gak sih, dia pernah nyelakain anggotanya," Brak! Rose tidak tahan lagi. Entah sejak kapan dia tiba-tiba sudah berada di meja Jeni dan Sina. Rose menggebeak meja membuat keduanya kaget. "Eh, Serpihan Rengginang. Kalian ghibahin kita? tuh mulut minta di jahit, hah?!" Rose menatap keduanya tajam. "Idih, siapa yang ghibah. Emank bener kok, Unit Lima gak guna. Dibanding Unit Satu. Jauhlah, Tsayy," Jeni memasang wajah julid yang sangat tidak sedap dipandang mata. "Idih, Serpihan Rengginang sok iyes. Minta dibejek-bejek kayaknya. Mau jadi Debu Rengginang lu ha?!" "Mak, jangan berantem. Kita baru aja dimarahin Kapten. Ntar kita dikerangkeng ama dia gimana? diem ae lah. Yok balik markas, yuk." Ory memegangi tangan Rose berusaha mengamankan keadaan. "Gak atasan, gak anggota, kalian sama aja. Gak mutu. Atasan lu dulu perah nyelakain anggotanya tau gak. Paling bentar lagi, salah satu dari kalian juga bakal Out. Lagian polisi gak mutu kayak kalian, mending pulang aja de. Cari kerjaan yang cocok. Jualan karton misalnya," Sina mulai menambah bensin di dalam api yang hampir tersulut. Ory akhirnya melepaskan tangannya dari Rose dan mengacak rambut karena kesal mendengar pernyataan Sina, "Waa, si Tusuk Gigi. Ngomong apaan lu. Pake bawa-bawa atasan kita lagi. Lu kira kita gak pantes jadi polisi?" " Ya emank gak pantes, kan?" "Aih, sialann. Mak serang Mak!" Pergelutan terjadi. Ory, Rose, Jeni dan sina akhirnya jambak-jambakan, guling-gulingan, dan gigit-gigitan. "Woo, santuy man santuy. Kalian ngapain woy. Stop!" Bobby berusaha melerai perkelahian yang semakin panas tersebut. "Bob, serang Bob. Dia jelek-jelekin unit kita!" seru Ory sambil menjambak rambut Sina. Sinapun menjambak rambut Ory membuat keduanya meringis. "Wadoh. Yo Bro, izzy dulu coy. Entar kita di geplak Kapten kalau berantem!" "Eh, Oon. Mereka tuh ngatain lu Bujang Lapuk, jelek gak laku-laku. Rambut kaku kayak sapu. Gak ada dana buat ke salon. Lu keramas pakai sabun batangan kata mereka, noh!" teriak Rose sambil bergelut dengan Jeni. "Mak, emank kapan mereka ngomong gitu? Ory kok gak denger?" di tengah pergelutan Ory masih sempat berbisik ke Rose. Rose menaruh telunjuk ke bibirnya, menandakan bahwa dia hanya ngarang, untuk mendapatkan bantuan Bobby. "What! eh, siapa yang bilang gua jelek, ha! marah ni gua nih," Bobby menggulung lengan bajunya. "Emank lu jelek, mau apa lu!" teriak Sina setelah berhasil mendorong Ory ke lantai. "We, sembarangan. Emank gua aja yang jelek? elu juga ..." Bobby berbalik menatap Sina. Dia langsung bengong, dan menurunkan kembali lengan bajunya, "Cantik." Ucap Bobby singkat membuat Rose menghela nafas. "Aih, si Kuaci. Mata ketutupan rambut, ya begitu tuh jadinya. Ory, bangun. Jangan mau kalah, serang!" "Woy, sabar bisa gak sih! ampon dah," Bibby tak bisa mengendalikan keadaan. Akhirnya dia mengambil HT (Handy Talky), dan segera menghubungi Raon. "Lapor Kapten! ada sekumpulan Singa Betina gelut! help me Kapt. Help!" *** Brak! Raon membanting kursi. Tentu saja dia kesal karena masalah perkelahian di kantin, "Gara-gara kalian, gua dipermalukan atasan Unit Satu, tau gak! bisa gak sih, kalian gak bikin ribut? Rose, lu gak malu? Bapak lu digosipin orang satu kantor noh, gara-gara elu!" "Ya, Sorry. Gak lagi-lagi deh." Emosi Raon makin meninggi setiap detiknya. Dengan kesal dia bergegas keluar markas lalu membanting pintu. Melihat itu Ory berlari mengejar Raon. "Kapt! Kapten kenapa sih marah-marah mulu? kita juga berantem karen belain Kapten!" "Gua gak butuh ya kalian bela. Gua pengen kalian gak ngerusuhin hidup gua. Jadi orang yang guna dikit bisa, gak!" "Mana bisa kita tinggal diam. Tau gak, mereka bilang Kapten pernah nyelakain anggota!" mendengar perkataan Ory, Raon terdiam. Ingatannya melayang pada kejadian empat tahun lalu dan itu membuat kepalanya sakit. "Saya tau Kapten tempramentnya jelek. Tapi Saya yakin Kapten pasti bukan orang yang gak bertanggung jawab. Apalagi sama tim sendiri. Kapten gak mungkin nyelakain anggota tim. Kita kesel karena mereka jelek-jelekin Unit Lima sama Jelek-jelekin Kapten!" Raon mengusap rambutnya, palu mendekat ke arah Ory. Dia menatap Ory tajam. Roy munduk beberapa langkah, hingga dia tak bisa mundur lagi, karena sudah menyentuh tembok. "Lu tau apa tentang gua? lu gak tau apa-apa. Jadi jangan sok ngebela," bisik Raon dengan suara rendahnya yang misterius. "T-Tapi ... Kapten gak keliatan ... Aaa!" Ory terbelalak. Dia kaget karena tiba-tiba Raon mencengkram tangannya. "Denger. Lu bener. Gua cuman detektif m***m. Jadi lu harus hati-hati, dna gua juga gak bertanggung jawab. Jadi, lu dan kalian semua, jangan bikin ulah. Karena gua gak bakal ngebela apalagi nyelamatin kalian." Setelah mengatakan itu, Raon melepas tangan Ory secara kasar. Lalu melangkah pergi. *** Di perjalanan pulang. Ory, Rose dan Raon memilih berjalan kaki untuk menikmati sore. Sebenarnya itu ide dari Rose. Ory mengikuti, sedangkan Bobby adalah korban pemaksaan kehendak. "Ngeselin banget si Kapten Caplang. Ory dipelototin, tau gak. Matanya udah mau keluar," Ory mengomel. "Kalian sih. Pake berantem segala. Ya kumatlah high Blood nya Kapten," ucap Bobby sambil menyisiri poninya. "Lu mending diem de. Urusin aja tuh poni. Gua lagi kesel. Hengpon gua disita ama Bokap. Ugh, bangsul!" Rose menengadahkan kepalanya ke langit untuk menenangkan diri. "Mak, dari tadi Ory perhatiin itu orang aneh gak sih. Mencurigakan banget," Ory menunjuk laki-laki yang berjalan agak jauh di depannya. Laki-laki tersebut menyeret koper dengan santai. Namun, itu menumbuhkan kecurigaan Ory. "Omegod, Ry. Kayaknya koper yang dia bawa berat gak, sih. Jangan-jangan ada sesuatunya di dalem sana," sambung Rose ikut curiga. "Jangan macam-macam kalian, ntar kita diomelin lagi. Hampir budeg nih kuping gua diomelin mulu," "Tapi naluri detektif Ory yakin, dia orang jahat, Bob. Mak, lapor Kapten Caplang, yok." "Aduh, kita ikutin dulu. Ntar kalau kota salah lapor. Kenak sembur lagi kitanya. Ikutin pelan-pelan." Akhirnya mereka bertiga mengikuti laki-laki mencurigakan itu secara diam-diam. Namun, di tengah perjalanan laki-laki itu menghilang. Ory, Rose dan Bobby kebingungan. Disaat itu, tiba-tiba benda dingin yang merupakan ujung pistol tertempel di kepala Ory. "Kalian, cari mati?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN