"Mak, Mak Ros ...." Ory berbisik. Dia sama sekali tak bisa melihat apapun. Matanya tertutup dan tangannya terikat ke belakang. Ory bergerak-gerak berusaha membuka ikatannya namun bukannya makin terbuka. Ikatan tersebut malah semakin kencang.
"Ory, lu dimana?" keadaan Rose tak jauh beda. Dia clangak-clinguk dengan mata tertutup mencari keberadaan Ory.
"Ory disini, Mak."
"Disini mane?"
"Ini disini,"
Mereka berdua bergeser-geser sampai keduanya berakhir beradu punggung.
"Ory, ini elu?"
"Iye, Mak. Anjirr kenapa gelap banget ya, Mak?"
"Ya gelaplah. Mata kita diiket. Tangan juga nih,"
"Kaki juga gak, Mak."
"Iyes, kaki juga. Parah nih, berapa meter sih tuh penculik beli tali? semua diiket."
"Mak, Bobby kayaknya gak diculik ya, Mak? dari tadi Ory gak denger suaranya."
"Pala lu gak diculik. Yang dari tadi lu tendang siapa, kalau gak gua?"
"Ibob? itu elu?"
"Bukan, jeringen minyak tanah, ya jelas gualah. Masa lu gak kerasa."
"Ya Maap, ini kaki tangan diiket. Ory jadinya mati rasa."
"Jadi kita semua diculik?" Rose menghela nafas, sambil berusaha membuka high heels yang dia kenakan, karena kakinya terasa gerah.
"Kalian berdua tenang aja. Tadi gua udah ngirim pesan rahasia ke Kapten lewat hengpon gua. Kapten pasti dateng nyelamatin kita," Bobby yang cepat tanggap berhasil mengelabuhi penculik dengan mengirim pesan rahasia, sebelum hengponnya direbut.
"Si Caplang mau kemari? hah, gak mungkin. Mending kalian puter otak nyari cara gimana lolosin diri. Caplang tak bisa diharapkan," Rose yang sudah kenal lama dengan Raon, yakin bahwa Raon tak akan menanggapi pesan yang dikirim Bobby.
Beberapa menit kemudian, terdengar pintu besi yang agak berat terbuka. Seorang penjahat masuk ke dalam ruang tempat Ory, Rose dan Bobby disekap. Dia kemudian membuka penutup mata mereka bertiga, lalu menatap mereka lekat.
Ory, Rose dan Bobby bisa sedikit lega, karena penutup mata mereka dibuka. Namun kelegaan itu tak bertahan lama. Begitu melihat laki-laki yang berdiri di depan mereka, ketiganya terdiam. Laki-laki itu adalah penculik, setidaknya itu tebakan Ory, Rose dan Bobby. Dia berhasil menyekap tiga orang anggota kepolisian. Dia pun memiliki pistol serta terlihat sangat galak. Membuat ketiganya langsung terkena serangan mental.
Laki-laki yang memiliki tubuh tinggi, dan agak tampan walau terkesan gala tersebut mendekati Rose dan Ory. Rose dan Ory menjadi ngeri, mereka berdua mundur beberapa langkah, sementara Bobby hanya diam, tak mengerti harus berbuat apa.
"Ampun, jangan nodai kita. Kita ini cewe baik-baik, jangan diapa-apain!" Rose beeseru, sambil memasang wajah takut bercampur jijik.
"Wadoh, gimana ini, Mak. Bisa-bisa kita diperkaos, Mak. Aaa, Ory takut!" Ory ikut berteriak histeris namun terdengar sedikit lebay.
Laki-lai itu makin mendekat. Rose dan Ory kelagapan dan berteriak satu sama lain.
"Waa, jauh-jauh! jangan deketin kita. Mak, bantuin Ory, Mak."
"Anjirr, gua juga dalam bahaya ini. Pergi lu jauh-jauh!" ucap Rose, berusaha mengusir penjahat yang mendekati mereka.
Namun, laki-laki itu tetap mendekat, "Aaaa!" Rose dan Ory berteriak bersamaan. Bobby yang dari tadi hanya bengong, melihat Ory dan Rose berteriak, dia masih bengong juga.
"Tolongg!"
Suara Rose dan Ory memenuhi ruangan yang berbentuk gudang besar tersebut. Namun, tiba-tiba penculik itu mengalihkan pandangannya. Dia melewati Ory dan Rose lalu berjalan ke arah Bobby.
"Loh, kok kita cuman dilewatin doank?" Rose bengong ketika penculik tersebut melewatinya dan Ory.
"Hmm, ada yang gurih kayaknya disini," Penculik tersebut mendekati Bobby.
"Kapten mana, sih? kok pesan rahasia gua belum direspon?" Bobby menghela nafas. Ketika dia mendongak dan melihat penculik, dia langsung kaget dan beringsut mundur, "M-Mau apa lu deketin gua? Wuaaa, jauh-jauh sana!" teriak Bobby agak sedikit ngeri.
Penculik tersebut tersenyum, lalu menyentuntuh wajah Bobby, "Imut juga," ucapnya, membuat Bobby merinding.
"Woy, mau apa lu! gua masih normal anjirrr, masih suka sama ceww. Aaa, Kapten tolong Bobby!" Bobby berteriak, sementara Rose dan Ory malah cekikikan.
"Ternyata penculiknya geser, Mak. Wah, selamet kita, hohoho," ucap Ory dengan ketawa jahatnya.
"Hihihi, mampus si Kuaci. Mau dikasih jatah, Wkwkwkwk,"
"Biarin Mak, yang penting bukan kita, hahahaha,"
Rose dan Ory adalah contoh teman minus akhlak yang sebenarnya. Mereka malah bersuka ria ketika Bobby dalam bahaya. Karena tangan dan kaki Bobby terikat, dia tak bisa kabur. Dia hanya mundur-mundur dan akhirnya menabrak dinding. Bobby terkepung, tak bisa bergerak sama sekali. Secara tiba-tiba, dunia Bobby seakan runtuh. Sebuah ciuman yang sedikit aneh mendarat di bibirnya. Rose dan Ory langsung berteriak. Mereka agak sedikit khawatir sekaligus lega, karena Penculik tersebut sukanya sama yang berjakun.
"Uweeek! Wanjay, jijay marijay. Bertahanlah Kuaci. Jangan menyerah, Lu dapet pahala karena udah nyelamatin kita!" teriak Rose sambil menyipitkan matanya. "Ory, jangan diam aja. Kasih Kuaci semangat!"
"Eh, Iya Mak. Ibob semangat ya! kamu pasti bisa, Ibob, Ibob!"
Rose dan Ory meneriakkan nama Bobby bersama-sama. Sementara Bobby sudah hampir mau muntah.
"Gini amat nasib gua, huwaaa ... Kapten tolong!" batin Bobby berteriak. Mengharapkan Rose dan Ory untuk menyelamatkannya itu sungguh hal yang mustahil. Bobby hanya bisa berharap Raon segera membaca pesan yang dia kirim, dan datang menyelamatkannya.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba seseorang menerobos masuk. Orang yang sangat diharapkan Bobby. Raon G William, Kapten Unit Lima yang tampan, karismatik, namun galakn tersebut, berjalan dengan cepat, sambil memegang pistol di tangannya.
"Angkat tangan! jangan bergerak, kalian sudah terkepung!" ucapnya dengan suara lantang.
"Kalian siape maksud Kapten, Mak? kan penculiknya satu. Kita bertiga. Jangan-jangan kita yang dikepung?" dalam keadaan genting, Ory masih sempat berpikir yang tidak-tidak.
"Dia typo doank. Dikira penculiknya banyak, kali," Rose mulai brrkonsentrasi menggerakkan tangannya.
"Kapten! Kapten tolongin Saya!"
To be Continue