Kasus 1 - Pengedar

1654 Kata
"Woy, Para Cecunguk, mau kemana kalian!" Raon melotot. Mata bulatnya yang besar, menjadi semakin besar tatkala melihat tingkah anggota tim nya yang seperti satuan bocah playgroup. Melihat Raon. Rose mempercepat langkahnya menuju mobil. Sepatu high heels yang dia kenakan hampir tersangkut beberapa kali di medan parkir yang menggunakan paving block. "Jangan didengerin pemirsah, cepetan masuk mobil!" seru Rose kepada Bobby dan Ory yang masih tergopoh-gopoh. "Sialann!" Raon berlari. Kaki panjangnya membuat kecepatan larinya bak Cheetah yang sedang mengejar mangsa. Dia bahkan melewati Ory yang masih terpincang sambil menggosok kakinya yang tersandung pot bunga. "Buset, yang berusan lewat apaan? ude kek iklan motor aje," Ory bengong sambil membuka mulut dan mengedipkan mata beberapa kali. "Minggir Kuaci! ngapain masih bengong disini, cepetan masuk mobil!" seru Rose sambil mendorong-dorong Bobby. "Woy, Bobby Shodakoh, Tahan Rose. Ini perintah!" "Aye Kapten!" Bobby langsung megangin tangan Rose begitu mendengar perintah dari Raon. "Eh Kampret, ngapain lu megangin gua. Lepasin, Kuaci!" Rose menarik tangannya. Namun, Bobby memegangnya lebih erat lagi. "Sorry dorry yo, it's perintah Kapten. Gua gak boleh bantah, Aye Aye," ucap Bobby dengan mata sipitnya yang hampir tak terlihat kerena ketutupan poni yang keriting. "Aih, lu bikin darah tinggi gua kumat ye, Ros. Sini, kunci gua balikin!" kepala belakang Raon sedikit berdenyut ketika berteriak di muka Rose. Rose memasang wajah cemberut level tinggi, lalu melempar kunci mobil ke arah Raon, "Gara-gara lu nih, kita ketangkep. Ngeselin!" Rose menatap Bobby tajam, "Ngapain lu masih megangin gua? lepasin!" "Kapt, ini boleh dilepas?" Bobby menatap Raon menunggu perintah. "Terserah!" Raon bergegas masuk ke mobil, diikuti Ory yang telah tiba beberapa detik yang lalu, seolah tengah menempuh perjalanan ber mil-mil. "Lu mau dipegangin sampe kapan?" ucap Bobby kepada Rose seperti orang lugu yang agak sedikit bödôh, bukan agak sedikit tapi sepertinya dia emank Bödoh. "Lu mau gua tabok, hah! lepasin!" Rose menarik tangannya. Lalu ikut memasuki mobil dengan cepat, akhirnya Bobby juga ikut masuk dan duduk di sebelah Raon. "Eh nih manusia. Ngapain lu disini?" Raon yang tadinya tengan sibuk memasang sabuk pengaman tak menyadari bahwa para anggotanya yang absurd telah memasuki mobil. Raon menoleh ke belakang, tampak Ory dan Rose sudah duduk nyaman sambil memeriksa rompi anti peluru dan borgol mereka, "Woy, yang suruh kalian ikut, siapa!" Begitu besarnya suara Raon, hingga Bobby menutup telinganya, tapi Ory dan Rose malah sibuk sendiri. "Mak, sejak kapan kunci mobil Kapten Caplang di Emak. Perasaan Ory liat, si Kapten ngantongin terus." tanya Ory dengan wajah tanpa dosa. "Aduh Say, makanya kalau mau jadi polisi handal, pengalaman harus banyak. Itu trik, gua pelajari dari mantan copet, kenalan Papih gua," "Kalian berdua benar-benar ..." belum sempat Raon mengomel, radio kembali berdengung dan memberikan pemberitahuan. "Perhatian, unit lima. Kasus Pengedar kini berubah menjadi penyerangan. Kondisi mental tersangka sepertinya tidak stabil, saat ini dia sedang menyandra satu orang ..." "Oke! Unit Lima menuju lokasi!" Tak punya pilihan lain. Karena kasus menjadi semakin kacau, Raon akhirnya memutuskan pergi dengan tim unitnya yang tampaknya lebih kacau dari kasus yang akan dia hadapi. *** Dua puluh menit perjalanan, bermodalkan sirine polisi yang sangat ampuh untuk menyingkirkan para pengguna jalan agar menepi. Raon dan Tim akhirnya tiba di bandara, tempat dimana tersangka beraksi. Raon melepas sabuk pengaman, memeriksa pistolnya, lalu segera turun dari mobil. Bobby ikut melakukan hal yang sama, namun dia tak bisa bergerak karena Raon menatapnya tajam seolah ingin menelannya hidup-hidup. "Lu jangan gerak. Kalian semua tunggu disini, jangan coba-coba keluar!" Untuk mencegah para manusia yang hanya bisa bikin keributan tersebut keluar, Raon membuka sedikit kaca mobil, lalu mengunci mobilnya dari luar dan segera bergegas pergi. Sepuluh menit setelah Raon pergi. Rose mulai gelisah, dia menepuk Bobby dari belakang membuat Bobby hampir terlonjak, "Eh, Kuaci. Lu mau duduk disini aja? buka mobilnya cepetan," ucap Rose dengan suara bawelnya yang khas emak-emak kang paksa. "Gak bisa, Roje Maroje. Kan gua gak punya kunci," "Heh, lu pikir gua gak tau? lu bisa buka nih mobil tanpa kunci sekalipun. Buka ayo," "Yo Man, I'm can't. Kapten suruh gua standby. Gua gak bisa langgar perintah Kapten Yo," "Ngeselin banget sih nih human. Ry, lu bisa gak buka paksa nih mobil, yang kayak di tipi tipi itu, pake kabel apalah itu," "Mak, jangankan buka mobil, Mak. Buka toples aja Ory sering salah puter," Ory menatap Rose sambil nyengir kuda. Sementara itu, di dalam bandara Raon menghadapi pengedar narkoba sekaligus penyerang tersebut. Laki-laki berusia sekitar akhir dua puluhan tahun itu terlihat tidak normal. Dia mengarahkan pisau ke sandranya yang merupakan ibu-ibu sosialita dengan sanggul tinggi, dan pakaian panjang berbentuk jubah berwarna kuning terang. Ibu-ibu itu gemetar. Raon berusaha membaca keadaan dan perlahan mendekat. "Siapa lu, jangan deket-deket! gua gorok nih leher emak-emak!" Penyerang yang merasa terancam oleh kehadiran Raon tersebut mulai merasa panik. "Tenang, sebaiknya lu nyerahin diri. Lu udah tertangkap basah bawa sabu ke bandara, dan sekarang nyandra orang? lu pikir lu bakal bisa lolos?" "G-Gua gak tau kalau isi tuh boneka ada sabunya! gua cuman disuruh bawa!" "Ho, gak tau? tapi ... kayaknya lu habis make de, jadi teler gitu pan. Mending lu nyerah, dari pada gua bonyokin lu sampe gigi lu lepas. Sini, cepetan!" Raon mengulurkan tangannya. Pengalaman yang telah dia kecapi sejauh ini membuatnya santai ketika menangani kasus. Dia bahkan tak terpengaruh dengan tersangka yang menempelkan pisau ke ibu-ibu sosialita tersebut. "Heh, lu polisi atau apa sih? cari cara tolongin saya donk! aduh, kamu mau apa, mau uang? nanti saya kasih, lepasin saya dulu," ibu-ibu tersebut berusaha membujuk si Tersangka. "Eh, Emak-emak. Mending lu diem de. Gak butuh gua duit elu. Lu juga, mundur! gua gorok nih," Raon perlahan maju, selangkah demi selangkah. Ibu-ibu yang di sandra tersebut terbelalak. Karena Raon malah melakukan kebalikan dari yang diminta tersangka. "Heh, kamu kenapa maju? mundur! kalau saya kenapaa-napa saya tuntut kamu!" teriak ibu-ibu tersebut. "Bangkee lu mundur kagak!" tersangka mengarahkan pisau pada Raon yang hanya berjarak dua meter darinya. "Lu mau gorok tuh ibu-ibu? gorok aja dah kalau lu berani," ucap Raon dengan santai. "Aaa! kenapa kamu malah suruh dia? polisi macam apa sih kamu?!" ibu-ibu tersebut menjadi lebih histeris. Sementara itu, tersangka tampak gelisah, berkali-kali memukul-mukul kepalanya sendiri, "Anj*ng! jangan macam-macam lu, lu kira gua gak berani bunuh nih ibu-ibu?!" "Iya, silahkan aja. Gua gak larang," Raon semakin mendekat. Tersangka kembali menempelkan pisau ke leher sandra. Ibu-ibu tersebut hampir terkena serangan jantung, dia merasa usianya susah tidak lama lagi. "Aish, siall!" Tersangka mendorong sandranya ke arah Raon, lalu melarikan diri. Raon menangkap sandra tersebut. Tak membuang waktu, Raon segera mengejar pengedar itu, dengan kecepatan penuh. "Hah," ibu-ibu yang di sandra akhirnya merasa lega. Dia mengelus d@da dan menarik nafas dalam beberapa kali, "Ya ampun, untung selamat. Abis ini saya bakal sedekah, beneran gak bohong," Sementara itu, di parkiran bandara. Rose dan Bobby masih ribut soal membuka pintu mobil. Bobby yang taat akan perkataan Raon tak mau membuka mobil tersebut, sementara Rose bersikeras memaksa dan membawa Ory menjadi sekutunya. "Ibob, bukain de. Mak Roje cuman mau bantu Kapten Caplang loh," ucap Ory dengan wajah polosnya. "No, no way. Nanti gua dimarahin Kapten." "Gak bakal. Kan ini hari pertama kita kerja, ya kan, Mak?" "Kalau Caplang marahin Lu. Biar gua marahin balik. Cepetan buka pintunya!" Pergelutan di dalam mobil dimulai lagi. Rose menjambak rambut keriting Bobby, hingga Bobby berteriak dan meringis. Beberapa detik kemudian, Ory menepuk-nepuk bahu Rose sambil menunjuk ke depan. "Mak, Mak liat tuh bukannya itu Kapten kita?" Rose menoleh ke arah yang ditunjuk Ory, "Anjirr. Pengedarnya kabor noh. Kuaci cepetan buka pintu, kita harus kejar!" "Iya, Bob! kita harus bantuin Kapten. Buka pintunya, kuy kuy!" Ory menepuk-nepuk pintu sampingnya. Bobby akhirnya tak punya pilihan lain. Dia juga ingin membantu Raon untuk kasus pertama ini. Tak butuh waktu lama, dengan keahliannya Bobby berhasil membuka pintu mobil, dan para cecunguk akhirnya berhamburan keluar. "Kita berpencar, ini jalannya nembus situ-situ juga. Ory pergi ke arah jam sembilan! Kuaci ke arah jam tiga. Gua, lurus!" "Intruksi Mak, jam sembilan emanknya kemana? Ory gak bawa jam nih," "Bodo, lu itung aja sendiri dari satu. Kuy jalan!" Rose dan Bobby melesat pergi. Sementara Ory masih berdiri di tempatnya, berbalik ke depan dan belakang sambil membuat simulasi jam dinding. "Tunggu dulu, ini mulainya dari sana apa dari sana! Mak Roje, Ory gak ngerti ini gimana, jangan pake jam bisa gak Mak, Mak oy Mak!" *** Raon terduduk sambil menahan emosinya di kantor polisi. Kasus pertama Unit Lima kacau balau. Raon hampir mendapat tersangka. Namun, tersangka berhasil kabur dengan bergelantungan di bis. Sebenarnya Raon bisa saja mengejar tersangka, jika tak mendapat laporan dari Bobby bahwa mereka telah berhasil menangkap tersangka. Yah, mereka menangkap seseorang. Namun, itu bukan tersangka yang dimaksud. Mereka hanya asal tebak dan comot, hingga salah tangkap orang. "Sialann! udah gua bilang, gua cuman bawa tepung buat tambahan jual gorengan! Bangk* kalian! polisi gak guna. Bedain tepung ama sabu aja gak bisa. Nah, makan nih sabu, makan!" pemuda berusia dua puluhan yang ditangkap Bobby dan Ory mengamuk. Dia menyebarkan sekilo tepung yang dia bawa di kantor polisi, terutama ke arah Bobby dan Ory hingga rambut dan muka mereka memutih. Ory terbatuk dan bersin beberapa kali karena hidungnya gatal. Setelah melakukan itu, dengan kesal pemuda tersebut meninggalkan kantor polisi sambil terus mengomel. Raon mengepalkan tangannya. Dia menatap Rose, Bobby dan Ory di depannya dengan kesal. Buk! Raon membangting berkas di meja. Jelas sekali dia tampak sangat tertekan. "Siapa tadi yang nangkap Kang Gorengan!" teriak Raon membuat Bobby dan Ory terlonjak. Dengan cepat Bobby langsung menunjuk Rose dan Ory. Tapi, Rose dan Ory sepakat menunjuk Bobby. Akhirnya Bobby memutar telunjuknya dan menunjuk dirinya sendiri. "Saya ... eh maksudnya kami bertiga, Kapt!" teriak Bobby dengan lantang. "Udah gua bilang tunggu di mobil! Bangkee aja yang gede, otak gak dipake. Bubar kalian semua! jangan nunjukin muka di depan gua sampe besok!" Buk! Raon menendang kursi lalu beranjak sambil membanting pintu. "Wadoh, serem bener tuh orang. Gak ada manis-manisnya. Padahal kita juga mau nolongin dia," ucap Ory sambil mengibas-ngibaskan tepung dari rambutnya dan kembali terbatuk. "Kalian sih. Dibilangin ngeyel. Gagal dah kasus pertama kita."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN