Kasus 3 - Pemuja Jari (End)

1148 Kata
Bobby dan Rose bergegas untuk membekuk tersangka satu yang hendak melarikan diri. Mereka bertemu di gang samping rumah yang berbatasan dengan tembok tinggi. "Lu minggir, biar gua yang hadapin tuh penjahat. Gua bakal lindungin lu, walau gua gak pengen." Bobby menaikkan lengan bajunya, lalu berdiri di depan Rose. "Banyak bacot lu, Curut. Lu udah hubungin pusat bantuan belom? suruh mereka kirim orang kesini," "Rebes. Tenang aja," Bobby mengacungkan jempolnya ke arah Rose. "Aish, sialann. Kenapa ada polisi lagi?" Tersangka satu merasa semakin frustasi, "Pergi kalian! jangan deket-deket, gua sayat nih kalau kalian berani deketin gua!" tersangka menodongkan pisau ke arah Bobby. "W- Wadoh, galak amat penjahatnya," Bobby agak terintimidasi lalu mundur mendekati Rose, "Yo, Rose yang cantik jelita. Mending kita hom pim pah. Gunting, batu, kertas. Yang kalau hadepin dia tuh. How? agree?" "Lah, si Bangsul. Tadi lu bilang, lu yang mau lindungin gua!" "Gak jadi. Tadi otak gua lagi khilap." Rose menggelengkan kepalanya, dia mendorong Bobby, lalu maju berhadapan langsung dengan tersangka tersebut. "Heh, penjahat yang gak seberapa, lepasin tuh ibu-ibu, kalau berani hadapin gua!" ucap Rose sambil bertolak pinggang. "Iya, hadapin dia. Jangan gua, gua gak berani soalnya!" Bobby ikut bertolak pinggang sambil memasang wajah songong. Plak! tiba-tiba Rose memukul kepala Bobby, "Lu mau gua sangrai? diem de, gua gongseng dalam wajah tau rasa, lu!" "Buset, kenapa gua ikutan dimarahin," Bobby mundur selangkah, sambil menggosok-gosok kepalanya. "Aaaa!" Bobby berteriak panik. Tersangka yang kehilangan kesabaran tersebut tiba-tiba menyerang Rose dan Bobby, "Roje, awas!" Buk! belum sempat tersangka melayangkan pisaunya. Rose melakukan tendangan berputar dan tendangan tersebut mengenai tepat ke ulu hati tersangka, dengan bantuan high heel yang dikenakannya, Rose bisa membuat laki-laki tersebut ambruk, tumbang mencium tanah. "Beres." Rose mengusap tangannya, sambil menatap penculik yang tak lagi bisa bergerak tersebut. "Woy!" Bobby terbelalak, dengan panik dia melepas jaket yang ia kenakan, lalu mengikat jaket tersebut ke pinggang Rose, "Next time, don't pake rok again. Itu rok lu kurang bahan banget tau gak. Apaan dah, mentang-mentang anak Komandan make seragam seenaknya aja." "Ngapain sih lu ngomel-ngomel, kayak bokap gua aja," Rose menatap Bobby dengan kesal. "Ih, dibilangin bukannya didenger, malah dipelototin." "Lapor, kami dari tim pendukung. Ada laporan untuk patroli kemari," dua orang polisi berseragam lengkap, keluar dari mobilnya dan menghampiri Bobby, Rose. "Tuh, angkut tuh orang. Bawa ke kantor pusat yang bener. Masih ada satu orang lagi di dalem." Sementara itu di dalam rumah, Ory dan Raon masih berusaha untuk menenangkan Rendy, tersangka dua. Raon berniat untuk membaca situasi lebih dalam, namun tiba-tiba Ory berinisiatif mendekat agar bsisa menjauhkan psikopat itu dari anak-anak. "Sialann nih cewe! jangan deket-deket gua bilang!" Rendy mencengkram tangan sanderanya, dan bersiap untuk memotong jari. "Tunggu! lu suka jari, kan? liat ... jari gua bukannya lebih bagus?" Ory mengulurkan tangannya. Rendy terdiam. Dia memperhatikan tangan Ory, lalu maju ke jari-jari Ory yang tampak lentik. "Ory, jangan aneh-aneh. Mundur dari sana," Raon terlihat agak cemas. Namun, Ory masih maju perlahan ke arah Rendy. "Liat nih, kuku gua bersih. Tiap hari juga gua pake hand cream, walau yang murah." Rendy tampak mulai terbujuk, dia melepaskan kedua sandera. Matanya tak lepas dari jari Ory. "Ory, waspada. Dia ini sakit jiwa. Bisa aja tiba-tiba nyerang." Raon mengingatkan Ory. Kedua sandera yang telah di lepaskan Rendy, langsung lari ke kamar dan mengunci pintu. Kini keadaan semakin membaik, hanya tersisa psikopat yang menginginkan jari Ory. "Ory, awas!" Dor! "Je, itu bukannya suara tembakan?" Bobby yang baru saja membereskan tersangka lain di luar rumah kaget sambil menutup telinganya. "Kenapa ada suara tembakan? hah, Ory! ayo liat mereka di dalam!" Rose berlari memasuki rumah tersebut. "Kapten, tunggu Bobby!" Bobby ikut berlari di belakang Rose. Sesampainya di dalam rumah, Rose terdiam sejenak. Tampak tersangka sudah berada di lantai dengan kakinya yang tertembak, dan di borgol oleh Raon. Di tempat lain, Ory tersandar dengan luka di tangannya, darah dari lukanya mengalir deras dan berceceran kemana-mana. "Ya ampun Ory, lu gak kenawhay kenawhay, kan? Astaghfirullah kenapa bisa luka begitu?" Rose mendekati Ory untuk memeriksa luka di tangan Ory lebih dekat. "Ory gak papa, Mak. Tapi ini ... aduh ...." Ory meringis karena luka di tangannya. "Kapten! siapa yang ketembak, who, who!?" Bobby yang baru saja tiba di tempat kejadian, berkeliling mencari siapa yang telah tertembak. "Lu gak liat nih, si bangsadd. Gua terpaksa nembak kakinya, karena mendadak nyerang. Amanin, nih. Trus panggil ambulance," Raon saku celananya, lalu mengeluarkan sapu tangan. Dia berlari kearah Ory sambil menghela nafas, "Udah gua bilang, kan. Jangan terlalu dekat, kalau tangan lu putus gimana!?" Raon mengomel, sambil membalut luka Ory. "A-Anu Kapt ... Ory gak papa, cuman butuh jaitan dikit aja." "Aih, bener-bener. Bob, lapor markas!" "Aye, Kapten!" Bobby mengaktifkan radionya, lalu menghubungi markas, "Chek, Chek, Chek, Hei Yo ... this is Bobby. Lapor, korban berhasil diselamatkan, Yo. Tersangka juga sudah diamanin. Please, send ambulance. Soalnya nih kaki si Kampret ketembak. And Det Ory, hand nya juga butuh perawatan. Dijait aja, no problem. Intinya, misi sukses, ye. Laporan selesai, aye aye." *** Keesokan harinya, Ory pagi-pagi sudah berada di markas, dia dengan riang membersihkan meja rekannya. Meja Rose yang penuh kutek, kosmetik, dan foto-foto. Meja Bobby yang punya speaker besar, laptop dan juga henset, persis seperti Nak Hip hop. Lalu meja Raon, yang sepi, tak ada berang mencolok, kecuali berkas kasus yang begitu banyak di atasnya. "Kapten Raon memang benar-benar panutan," Ory tersenyum sambil mengelap-elap meja Raon. "Loh, Nces. Pagi-pagi udah disini aja. Gimana tangan lu, beneran gak papa? dijait yes? eww, ada bekas gak nanti. Kalau ada bekas lapor gua aja, nanti gua cariin cream buat ilangin bekas luka," Rose yang baru saja tiba, menaruh tasnya di atas meja, lalu memperhatikan Ory. "Ory gak papa, Mak. Cuman dua puluh jaitan doank, gak bakal bekas," Ory kembali menggosok meja di depannya. "Ke kantin yok, sarapan dulu, biar kuat menghadapi kenyataan," ajak Rose yang langsung berlalu ke luar. "Mak tunggu," Ory berlari kecil mengejar Rose. Setelah berada di lorong, tampak Raon yang tengah berjalan menuju markas. Ory tiba-tiba menjadi sumringah, dia tersenyum imut, sambil mengusap lukanya, "Mak itu Kapten!" Ory berlari ke arah Raon, "Kapten Caplang ... Kapt ... wuaaaa!" Ory tersandung. Hampir saja dia tersungkur ke depan, jika tidak di tangkap oleh Raon dengan cepat. Deg! mata Raon dan Ory saling bertemu. Lewat sepuluh detik, mereka masih terpaku dan saling menatap satu sama lain. "Jangan maen tatap-tatapan, ntar khilap," ucap Rose dengan santainya, sambil melewati Raon dan Ory. Raon yang tersadar, langsung melepaskan Ory, "Hmmm, uhuk! ngapain sih lu lari-lari, rusuh amat. Masih kurang tuh tangan begitu?" ucap Raon, namun tidak langsung menatap ke arah Ory. "Hehehe, Ory mau ucapin tengkyu, soal kemaren. Kapten udah nyelamatin Ory, udah dua kali Kapten nyelamatin Ory. Besok-besok, Ory yang bakal nyelamati Kapten, oke?" Ory mengangkat tangannya, ingin melakukan high five. "Owh," Raon mengabaikan Ory, lalu pergi begitu saja. "Wadoh, buset tuh pohon pisang, maen ngeloyor aja. Kapten!" Kasus 3 : Pemuja Jari Penanganan : Unit Lima Status : Sukses To be continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN