Kasus 3 - Pemuja jari (3)

449 Kata
Ory menatap Raon, agak sedikit ngeri mendengar penjelasan Bobby. Yang Ory takutkan, tersangka bernama Rendy tersebut benar-benar akan menyakiti anak-anak yang disanderanya. Memotong jari tetangga sendiri tanpa alasan bukankah tindakan psikopat?. "Kapt, gimana nih," Ory yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Jangan gegabah. Kita harus cari celah buat rebut senjata mereka," bisik Raon sambil terus waspada. "Mundur kalian! b******k, siapa sih yang nlpn polisi?" Rendy mengacak-acak rambutnya, namun tak melepaskan sanderanya sedikitpun. "Woaaa ... tenang, Bang. Taruh pisaunya, kita bicara baik-baik, oke. Santuy Bang, santuy," Ory mencoba menenangkan Rendy, sambil mendekat perlahan. "Kapt ... menurut catatan, Rendy juga pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Disana dia bertemu Ryan. Penyakit si Rendy ini parah banget. Dokter rumah sakit jiwa diagnosis dia udah kayak psikopat. Kapt, ternyata ada korban lain. Dian, dua puluh empat tahun, temannya sendiri. Jarinya dipotong, trus ... dikoleksi!" "Ory, hati-hati jangan terlalu dekat!" Raon memperingatkan Ory. Mendengar peringatan Raon, Ory mundur beberapa langkah, "Gawat. Tersangka ada dua, dan yang satu gilanya parah. Gua harus buat mereka lengah, baru bisa rebut senjatanya. Tapi ... gimana caranya?" "Begok! ngapain lu buang waktu ama anak-anak, cepetan ambil harta mereka trus kabur!" Ryan tersangka satu yang masih menyandera ibu dari dua anak tersebut tampak gelisah. Dari gesturnya, tampak dia ingin melarikan diri. "Bukannya tadi lu bilang gua bisa lakuin apapun? lu yang ambil harga, gua cuman mau jari!" Rendy sepertinya tidak bisa membendung hasrat gilanya untuk mengoleksi jari. "Siall! Ryan mundur lalu menyilangkan tas yang telah dia isi dengan barang rampokan, lalu mulai pergi dari pintu samping. Raon ingin mengejar Ryan, namun, tidak mungkin meninggalkan Ory yang berhadapan dengan psikopat. "Bobby, periksa bagian samping, apa ada cctv?" Raon memutuskan untuk menuerahkan tersangka satu kepada Bobby dan Rose yang sedang berjaga di luar. "Ci, ini satunya," Rose menunjuk layar laptop. Tampak tersangka satu tengah mencari celah untuk melarikan diri, dengan membawa sandera. "Dia bawa ibu itu keluar. Kita harus beraksi nih," "Bentar, gua cek dulu catatan kriminalnya," jari Bobby menari dengan kecepatan penuh di atas keyboard, "Pernah dipenjara beberapa kali, dengan kasus perampokan dan pemerkosaan. Gila, nih dua setann kenapa dipertemukan, sih? Ros, yok hajar tuh orang!" "Oke, gampang banget ngebekuk dia. Gua juga lagi kesel. Lipstick gua luntur, pen hajar orang emank gua nih," Rose menyentuh penyuara yang ada di telinganya, "Caplang. Tersangka satu keluar, mau melarikan diri. Kami bakal urus dia." "Oke, inget jangan salah tangkap lagi!" "Gak bakallah, orang mukanya terpampang nyata gitu, dah kek baliho p*rtai. gua jalan nih," Rose dan Bobby turun dari mobil. Rose melakukan peregangan untuk merilekskan ototnya. Bobby yang melihat, ikut melakukan hal yang sama. Bukan untuk merilekskan otot. Dia cuman ikut-ikutan. "Ci, kali ini gak boleh ada yang lolos." "Siap!" To be continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN