“Abang kenapa gak bilang sih kalo ternyata itang itu adek kandung abang?” protes Aruna masih sibuk menghapus air matanya.
“Suka aja liat ekspresi cemburu lo, jadi yaaa ... sengaja gue gak cerita dulu tentang itang. ” jawab Gege g sesekali menoleh pada gadis disebelahnya.
“Siapa yang cemburu?” sanggah Aruna
“Lo.”
“Enggaaakkk!!” teriak Aruna
“Iya.” balas Gege berteriak
“Enggakk.”
“Iyaaa..”
“Engg....” Gege cepat-cepat membungkam mulut Aruna dengan telapak tangannya.
“Masih gak ngaku juga gue cium bibir lo di sini.” ancamnya diselingi tawa.
“Abang nyebelin.”
“Elo sih, nangis-nangis gini aja masih aja pasang tampang gemesin.” tangan Gege beralih mencubit pipi Aruna yang mulai merona.
“Udah takdir Illahi ini mah, tampang gemesin dari lahir bang, terima aja napa sih?” gerutu Aruna sembari mengusap jejak air matanya.
Saat lampu merah, Gege menghentikan mobilnya dan meraih tangan kanan Aruna, ia selipkan jemarinya diantara jari-jari kecil gadis itu.
“Gadis kecilnya abang, nangisnya udahan doong ... gue ajak jalan-jalan ke Jam Gadang gimana?” rayu Gege mencoba menenangkan, ia mendekatkan tangan Aruna ke bibirnya dan mengecupnya lembut.
Aruna mengangguk cepat “sambil ceritain tentang kak itang kalo gitu” lanjutnya
“Hmmm ... itang itu adek perempuan gue satu-satunya, cuma selisih 4 menit sama gue.”
“Twins??” Aruna menoleh cepat pada Gege, pria itu mengangguk dan tersenyum kearahnya
“Dia kecelakaan empat tahun lalu, kecelakaan beruntun, pas hujan gede mobilnya selip dan...” Gege tak melanjutkan kalimatnya karna tangan kiri Aruna membungkam mulutnya.
“Gak usah dilanjutin kalo gak sanggup.” potong Aruna cepat.
“Katanya minta gue cerita tentang itang, gimana sih nih bocah.” rutuk Gege
“Yang bagian itu skip aja, biar aku gak mellow.” jawabnya menunduk sesekali menatap Gege.
“Hmmm ... oke, beberapa hari setelah kritis karena kecelakaan itu, nyawa itang tak tertolong karena luka di bagian kepalanya terlalu parah. Dan sejak itu, kami sekeluarga terpukul, seperti kehilangan satu-satunya keceriaan di rumah, mamah yang paling terpukul, jadi jarang senyum lagi, tapi akhirnya gue lihat lagi senyumnya yang beda dari biasanya, lebih ceria, lebih berbinar.” Gege menggantung kalimatnya.
“Oya?” tanya Aruna.
“hu umm ... beberapa jam yang lalu, pas mamah ketemu lo, mungkin dia teringat dengan anak perempuannya, apalagi kalian bisa langsung deket kayak tadi.”
“Mamah abang baik sih, gak usil kayak abang, makanya aku juga cepet nyambung, lagian aku juga jadi keinget sama ibuk, kayak kebayar lunas gitu kangenku.” jawab Aruna mulai berkaca-kaca lagi.
“Dah ah ceritanya,ntar lo nangis lagi, jadi gak seru.” Gege menarik tengkuk Aruna dan menempelkan keningnya pada kening gadis itu. Matanya melirik bibir tipis berwarna pink alami gadis itu, hampir saja ia kehilangan kesadarannya dan menyambar bibir itu sampai cubitan Aruna mendarat di pinggangnya dan membawa pikiran miringnya ke dunia nyata.
“Abang ....” Aruna mencubit pinggang Gege dan sedikit menjauh karena posisi seperti itu tak baik untuk kesehatan jantungnya “Udah lampu ijo tuh di depan.” lanjutnya sambil mengendikkan dagu.
Dengan cepat Gege melajukan lagi mobilnya menuju ikon populer di pusat Bukittinggi, Jam Gadang. Setelah sampai dan memarkirkan mobilnya, Gege melirik lagi ke arah Aruna yang kini sibuk mengikat rambutnya dengan gaya kuncir kuda, Aah ... lihat saja, leher jenjang Aruna mulai mengganggu pikiran dewasa pria itu lagi.
“Lo mau makan dulu atau jalan-jalan keliling Jam Gadang dulu?” tanya Gege setelah melepas sabun pengamannya.
“Gak laper sih bang, tapi beli cemilan dulu boleh deh trus jalan-jalan.” Aruna tersenyum puas menatap mata elang milik Gege.
Setelah membungkus Karupuak kuah, Lamang tapai dan dua botol s**u kedelai, mereka berdua mulai berjalan pelan menyusuri area Jam Gadang. Karupuak kuah merupakan jajanan khas Bukittinggi berupa opak yang diatasnya diberi bihun dan sambal gurih yang menyerupai bumbu kari, begitupun dengan Lamang tapai, kuliner ikonik di Bukittinggi yang terbuat tapai dengan kuah hitam dari ketan hitam.
Aruna menyuapkan tapai pada mulutnya dengan mata tetap terpesona pada Jam Gadang yang berdiri kokoh di depannya. Ya, tak sah rasanya bertandang ke kota dingin ini di Sumatera ini tanpa melihat dan mengabadikan bangunan simbol kota ini.
“Abang....” panggil Aruna dengan mulut penuh “ceritain tentang Jam Gadang gih, abang kan kelahiran sini...dan sekarang jadi tour guide ku.” Aruna menunjuk dirinya sendiri dan tersenyum hingga menyipitkan mata besarnya.
“Dasar...gadis comel” Gege terpana sejenak dengan tingkah menggemaskan yang selalu ditunjukkan Aruna, namun hanya bisa mengacak rambut gadis itu
“Hmmm....” Gege menengadahkan kepalanya seraya berfikir sebelum melanjutkan ceritanya “Jam Gadang ini monumen peninggalan Hindia- Belanda saat Bukittinggi dulu masih jadi ibukota provinsi Sumatera Barat, didirikan atas perintah Ratu Wilhelmina, sebagai hadiah bagi sekretaris kota Bukittinggi saar itu, HR Rookmaaker.”
Aruna mengangguk-angguk seolah paham, sekita sekelebatan pelajaran IPS di masa-masa sekolah tiba-tiba lewat di pikirannya.
“Arsiteknya orang Minangkabau asli kan ya?” tanya Aruna tanpa menoleh.
“Iya, namanya Jazid Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh... oiya atapnya yang bentuk gonjong itu bukan bentuk aslinya loh.” Gege menunjuk atap Jam Gadang, diikuti oleh mata Aruna.
“Terus?” tanya Aruna cepat.
“Desain awalnya itu berbentuk bulat, khas Eropa gitu lah, dan diatasnya ada patung ayam jantan. Pas masuk era Jepang, atapnya diubah jadi gaya arsitektur Jepang, trus pas era kemerdekaan atapnya dirombak kembali jadi bentuk bagonjong sesuai ciri khas Minangkabau. Baitu diak....(*begitu dek).” jelas Gege.
Aruna manggut-manggut, kali ini sambil asyik mengunyah lamang tapai.
“Itu yang di atas, jam nya asli bang?” tanya Aruna lagi, menunjuk ke arah jam yang menghadap keempat penjuru mata angin.
“Ya asli laah sayaaang, itu, ditingkat ketiga tempat dari mesin jamnya, mesin jam dipake di sana merupakan barang langka loh, hanya diproduksi dua unit oleh pabrik Vortmaan Recklinghausen, Jerman. Unit keduanya yang setipe sampe sekarang masih dipake di menara jam legendaris Big Ben, di London sana.”
“Oooh ... ya.. yaa .... abang kok tau banyak sih?” Aruna mengerutkan kening menatap pria di sebelahnya.
“Yaelah ... gue kan dari jaman masih orok udah tinggal di sini, lo mau nanya apa aja tentang Bukittinggi, pasti gue paham. Beda cerita kalo suatu saat nanti gue ke Malang, gantian elo yang harus banyak cerita dan jadi tour guide pribadi gue.” jawab Gege meraih lagi tangan Aruna yang bebas.
“Abang mau ke Malang?”
“Ya mau lah.” jawabnya singkat.
“Ngapain?” selidik Aruna memicingkan mata.
“Ngelamar kamu ke mertua abang, boleh?” jawabnya dengan senyum merekah sempurna.
Aruna yang mendengarnya membelalakkan mata dan menarik tangan yang digenggam Gege, ia mulai salah tingkah dan mengipaskan tangan ke arah wajah, karena ia yakin pipinya pasti merona saat ini.
“Boleh?” tanya Gege lagi yang kini menundukkan wajahnya tepat didepan wajah manis Aruna.
“Hah..” Aruna hanya bisa menganga canggung.
“Nana ....” panggil Gege pelan. “Abang udah gak bisa nahan lagi,” Gege menahan kedua pundak Aruna dan memutarnya agar mereka saling berhadapan.
“Nahan apa bang? Kalo kebelet bilang dari tadi, aku bisa nunggu di sini.” jawab Aruna polos.
“Dasar bocah, bukan kebelet yang itu.” Gege mencubit gemas pipi Aruna.
“Abang mau ngomong sesuatu, ini serius, darurat militer, urgent, jadi jangan dipotong ... okay?” Gege menatap tajam ke sepasang mata bening di hadapannya.
Aruna mengangguk dalam diam.
Dan...
***