12 Pikiran Bodoh

1201 Kata
Gege dan mama Rita menghentikan tawanya seketika, namun beberapa detik kemudian gelak tawa ibu dan anak itu makin membahana mengisi ruang makan mereka. Gege yang tertawa hingga matanya memerah mencondongkan badannya ke arah Aruna. “Lo sehat kan?” Gege menyentuh kening Aruna dengan punggung tangannya. Aruna mengangguk sekali dengan tatapan bertanya pada Gege, namun pria itu hanya menatapnya iba dan mengusap pelan puncak kepalanya memutar. Usai makan siang, Aruna melamun di kursi santai di teras rumah Gege memandangi hujan deras yang tak kunjung reda. Tak berapa lama seekor kucing gembul berwarna orange dengan garis-garis putih naik ke atas pangkuannya seolah turut mencari kehangatan. “Tumben si Oyen langsung nemplok sama orang baru?” Gege mengagetkan Aruna dari arah pintu. “Oyen?” Aruna mengernyitkan kening “Itu yang lo pangku, kucingnya Vicko adek gue.” jawab Gege langsung duduk disebelah Aruna. “Abang punya adek?” Aruna menoleh ke arah Gege, ia memang tak banyak menemukan foto keluarga di rumah Gege, pantas ia tak tau menahu tentang saudara Gege “Iya, adek cowok satu, abang juga ada satu juga udah nikah dan tinggal gak jauh dari sini.” Aruna hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf O. “Lo suka kucing?” tanya Gege lagi. “Banget, aku punya tiga ekor di rumah Malang.” Aruna memeluk dan mengusap bagian bawah leher si kucing oyen. “Oya?” Aruna mengangguk yakin. “Mau gue kasih? Abang gue dokter hewan, dia punya banyak kucing tak bertuan di rumahnya.” lanjut Gege lantas duduk di sebelahnya. “Nggak ah ... ntar gak ada yang ngerawat dia kalo aku balik ke Malang, aku paling benci kalo harus pisah pas sayang-sayangnya, meskipun itu sama hewan peliharaan.” jawab Aruna lirih. “Lo ada planning balik ke Malang? Kenapa gak di sini terus? Katanya lo betah di Padang?” cercah Gege. “Betah lah ... betah banget.” Aruna menunduk menarik napas panjang. “tapi udah janji sama ibuk bakalan balik ke Malang kalo kontrak kerja abis.” lanjutnya lirih. Kepulangannya ke Malang seakan menjadi dilema untuk gadis itu, lima bulan lebih tinggal di Padang dengan segala moment yang membuat hatinya berbunga-bunga. Entahlah ia seakan tak rela melepaskan semua itu, terutama jika nantinya akan kehilangan rasa nyaman yang selama ini ia rasakan dengan pria di sebelahnya. Aruna memberanikan diri menatap Gege, laki-laki itu juga membalas tatapannya dengan tenang. “Kapan kontrak kerja lo abis?” tanya Gege dengan nada tenang. “Hmm ... kurang 7-8 bulanan lagi lah, au ahh.” “Kalo lo ngerasa berat ninggalin Padang, ya udah di sini aja, gak usah dipikir ribet.” Gege menoleh dan mendekatkan wajahnya ke arah Aruna. “Gak bisa lah bang, kan udah janji, lagian keluargaku di Malang semua, disini sendirian juga.” gerutu Aruna sambil mengelus bulu lembut Oyen “Bikin keluarga di sini aja, ba’a? Gue jadi suaminya dan lo jadi istrinya. Deal?” ucap Gege lirih sembari mengusap lembut puncak kepala Aruna. Beberapa detik, Aruna seperti tak melayang di udara mendengar tawaran receh dari pria yang menawan hatinya, namun ia tak ingin terlena terlalu dalam lagi. Ia menaikkan sebelah alisnya, berpura-pura melirik sinis kearah Gege “Abang sehat kan?” Aruna menyentuh kening Gege dan menirukan kata-katanya beberapa waktu lalu, lantas berlalu masuk ke dalam rumah dengan menggendong si kucing oyen dalam pelukannya. *** Beberapa jam kemudian Aruna membuka matanya yang masih setengah mengantuk, ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memusatkan penglihatannya. Pandangannya tertuju pada jam dinding di atas televisi di ruang keluarga Gege, sudah menunjukkan pukul tiga sore, hampir tiga jam ia tertidur di sofa bed empuk ini, padahal yang tadi ia ingat hanya merebahkan kepala sambil memeluk si kucing oyen. “Udah bangun?” Aruna mencari ke asal suara yang ternyata di atas kepalanya, lagi-lagi Gege. Sontak Aruna menegakkan tubuhnya dan merapikan rambutnya setelah ia menyadari menjadikan paha Gege sebagai bantalnya. “Abang ... kok ... kok ... kok ... abang .... kok?” tiba-tiba Aruna kehilangan kemampuan berbicaranya. “Kak kok kak kok? Lo tadi ketiduran di paha gue.” jawab Gege dengan senyum usil “Bohong!” “Terserah sih kalo gak percaya, tanya sama mamah ... sampe kebas nih kaki gue.” Gege berpura-pura meringis dan memijat pahanya, padahal beberapa saat yang lalu ia sengaja menaruh kepala Aruna yang tertidur di bantal sofa ke atas pangkuannya. “Perasaan tadi aku sendirian disini, a- a- abang di teras kan?” Aruna masih memulihkan kesadarannya. Gege hanya mengendikkan bahunya “Serah lo aja deh, buruan siap-siap, katanya mau ketemu itang?” ajak pria itu. “Sekarang?” “Taon depan sayaaaang.” “Ya.. ya- yaudah aku mandi dulu, mana kamar mandinya?” Gege menunjuk pintu disebelah timur dapur. Sedangkan Aruna langsung mengambil langkah seribu berlari ke kamar mandi, menormalkan debaran jantungnya yang kian menggila setelah mendengar kata ‘sayang’ dari Gege. Beberapa menit kemudian Aruna sudah rapi, dengan sweater warna hitam yang pas ditubuh mungilnya, dipadukan dengan skinny jeans abu-abu, ia membiarkan rambut lurusnya terurai. Gege yang sudah menunggu di sofa langsung menarik pelan tangannya. “Kita pake mobil aja,di luar masih gerimis, ntar lo masuk angin bisa berabe.” “Mobil siapa?” “Mobil gue lah, sengaja gue tinggal di sini, rumah kost di Padang kan udah penuh garasinya.” jelas Gege. “Pamit mamahnya abang dulu kali.” Aruna menghentikan langkahnya. “Mamah lagi ke tetangga ada pengajian.” “Oh.. iya deh” Tak butuh waktu lama mobil yang membawa mereka menyapu jalanan Bukittinggi, Aruna yang tak paham jalan-jalan di sini hanya terdiam tak banyak bicara dan hanya menatap jendela. Gege membiarkan gadis kecilnya itu tenggelam dalam lamunannya dan ia tetap fokus menyetir. ‘Siapa itang?’ ‘Cantikkah?’ ‘Berapa umurnya?’ ‘Kenapa sangat dekat dengan bang Gege dan mamah Rita?’ pikiran-pikiran Aruna berkelana hingga ia tak sadar Gege sudah menghentikan laju mobilnya. “Udah sampai, yukk turun.” Gege mengusap puncak kepala Aruna. “Hah? Udah ya..” Aruna menoleh kanan kiri...sepi, bahkan tak ada rumah-rumah warga yang ia liat, hanya beberapa pohon kamboja yang mulai bersemi. Saat ia keluar dari pintu mobil, Gege sudah menyambutnya dengan membawa payung tak seberapa besar berwarna biru muda untuk melindunginya dari gerimis. “Pakai ini ya?” Gege mengalungkan pashmina hitam pada leher Aruna dengan sebelah tangannya “Yuukk..” Gege menautkan jari-jarinya pada tangan Aruna “Abang gak nyasar kan?” Aruna terdiam saat sekilas membaca tulisan pada papan besar didepannya. Jelas-jelas terbaca 'Tempat Pemakaman Umum Simpang Duo'. Gadis itu melirik cemas kearah Pino dan mengeratkan genggaman tangannya. Pikirannya mulai buntu dengan segala imajinasinya tadi. “Nggak kok, itang memang sekarang tinggal di sini.” Gege menjawab dengan senyum tipis masih mengembang di sudut bibirnya. Dengan hati tak karuan Aruna mengekor langkah kaki Gege yang semakin masuk ke pemakaman, sampai tiba-tiba pria itu berhenti di salah satu makam dengan nisan batu hitam dan rerumputan yang tumbuh subur di sekitarnya. “Assalamu'alaikum cantik, abang datang. Sesuai janji, abang ajak wanita special yang bisa taklukkan hati abang.” Gege tersenyum menatap lurus kearah batu nisan berukirkan nama ‘GEMINTANG FARHANA’. Sementara dibelakang punggungnya, Gege bisa merasakan getaran yang tertahan dari Aruna, gadis itu menangis dalam diam, merutuki pikiran bodohnya selama ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN