“Mahkotanya Kak Okta cakep ya, itu apa namanya?” tanya Aruna dengan wajah penasaran saat menunjuk hiasan di atas kepala Okta.
“Itu namanya Suntiang Gadang, Na. Sudah khasnya pengantin Minang sini. Banyak sih jenis Suntiang di sini, ada suntiang gadang, ketek, bungo, pisang, kambang, mangkuto, kipeh, sariantan. Tapi yang dipake Okta itu yang suntiang gadang.” jelas Wita seraya menunjuk Okta yang tengah sibuk bersalaman dengan tamu di pelaminan.
Mereka berempat, Wita, Aruna, Gege dan Rizal kini ada di salah satu gedung di daerah Mandiangin Bukittinggi untuk menghadiri pernikahan Okta, teman kost sekaligus teman kantor Aruna. Aruna lebih memilih berangkat dengan teman-teman rumah hijaunya dari pada bergabung dengan teman kantornya, tak lain karena keberadaan Gege.
Sejak perjalanan keduanya ke pantai Carolina dua hari lalu, hubungan mereka makin dekat lagi, bahkan kini lebih terang-terangan di depan Wita dan Rizal.
“Emang di tempat lo gak ada?” tanya Gege tiba-tiba dari arah belakang. Di kedua tangannya sambil membawa dua porsi sate padang, salah satunya ia berikan pada Aruna.
“Di Jawa Timur ada juga, tapi gak gede gitu. Sanggulnya lebih kecil ada hiasan tusuk konde, kalo gak salah namanya gunungan sama centhung, auk ah lupa namanya,” jawab Aruna asal.
“Diih ... adatnya sendiri malah lupa.”
“Aku kan belom nikah Bang, mana tau begituan.”
“Yaudeh ntar gue ajak nikah biar tau.” goda Gege sambil mengerling ke arah Aruna.
“Kalian tuh ya, kalo udah ketemu aja udah kek dunia milik berdua, gue cuma ngontrak di sini.” gerutu Wita sambil bergantian menatap Aruna dan Gege.
Dokter muda itu kini tak menghalangi lagi kedekatan Aruna dan Gege sejak Aruna memberitahu cerita perihal Irina yang mencintai Gege secara sepihak. Namun ia tetap saja khawatir jika Irina nantinya tau kedekatan mereka dan akan membuat onar seperti sebelum-sebelumnya.
***
“Lo udah packing buat besok?” tanya Gege disela-sela makan malam mereka di lesehan uni Asda.
“Besok?” Aruna menengadahkan kepalanya mengingat-ingat.
“Ketemu sama Itang ... dasar pelupa.”
“Eh ... iya besok ya? gampang lah, paling cuma bawa baju ganti sepasang doang, ntar aku kabari Kak Elma juga.” jawabnya santai.
“Besok gue jemput setengah enam ya?”
“Pagi bener,” protes Aruna.
“Muter-muter dulu laah, biar lo bisa liat dunia luar.”
“Udah kok....”
“Iya luar rumah doang, dasar pipi bakpao.” ledek Gege seketika mencubit pipi kanan Aruna “Besok jangan lupa pakai jaket, Bukittinggi jauh lebih dingin dari pada di sini.”
“Diih Abang, iya, iya ... aku mah dari lahir udah biasa di kota dingin.” dengkus Aruna mengusap sebelah pipinya.
Keesokan harinya Aruna sudah siap menunggu Gege di teras rumah, bahkan matahari saja masih malu-malu menampakkan sinarnya. Tapi Aruna sudah tampil sangat cantik di jam seperti ini. Ia bersenandung ceria sambil sesekali menyiram tanaman-tanaman asri yang sudah menjulang tinggi milik ibu kostnya.
TIINN....
TIIN...
“Gadis kecil ... ayok berangkat.” Gege menghentikan motornya depan di depan gerbang, seketika itu Aruna merapikan lagi selang dan mematikan kran air di ujung pagar.
Jantung gadis itu selalu berpacu lebih cepat seperti sedang berlari, ketika melihat pria tinggi bernama Gerian Fernanda ini.
“Rajin amat masih sempet siram-siram, keknya elo di sini paling rajin deh.” ucap Gege sambil memakaikan helm biru bergambar pinguin ke kepala Aruna
“Masa sih? Naluri aja kali, aku suka tanaman kayak bapak, dan suka masak kayak ibuk, as simple as that.” Aruna lalu duduk di belakang Gege dan memegang saku jaket Gege di sisi kanan dan kirinya.
“Heh non..” Gege menoleh ke arah belakang. “Kita mau perjalanan jauh, dua jam. Masa lo pegangan seujung kuku gitu, oleng gimana?” protes Gege melirik tajam ke Aruna.
Sedetik kemudian Aruna melingkarkan kedua tangannya di sisi pinggang Gege, menandakan dirinya sudah siap berangkat. Gege tersenyum penuh arti ketika tangan Aruna melingkar di perutnya, namun detik berikutnya pria itu malah memasukkan kedua tangan Aruna ke dalam saku jaketnya.
“Gini aja, biar tangan lo gak kedinginan..” Gege mengusap sekilas punggung tangan Aruna, tanpa melihat ekspresi Aruna yang hampir menganga sempurna menyadari letak tangannya kini dan sejurus kemudian mereka mulai membelah jalanan menuju Bukittinggi.
Aruna tidak pernah menyangka bahwa ia akan pergi jauh dengan pria yang menawan hatinya ini, ia jauh ... meski perjalanan hanya dua jam, tetap saja gadis itu merasa jauh. Sejenak ia merasakan aroma woody yang menenangkan dari parfum yang dipakai Gege. Sementara Gege tak henti-hentinya mengulas senyum dengan tetap fokus pada kemudinya. Ia sungguh bahagia bisa melakukan perjalanan ke kota kelahirannya dengan gadis yang setiap malam mengganggu tidurnya.
Sepanjang perjalanan Aruna hanya bisa terkagum-kagum dengan pemandangan di sisi kanan kirinya, terutama saat Gege memarkirnya motornya di sebelah Air terjun Lembah Anai.
“Istirahat di sini bentar ya, pasti capek kan?” seru Gege.
“Iya, cakep ya air terjunnya, kemaren pas ke baraleknyo kak Okta aku cuman bisa liatin dari jendela mobil.” Aruna mengagumi air terjun paling tersohor di Sumatra Barat setinggi 35 meter itu.
“Duduk sini.” Gege menepuk bangku kosong di sebelahnya, lalu mengeluarkan s**u kemasan bergambar beruang putih dari tas kecil.
Aruna pun menghampirinya dan mengeluarkan kotak tupperware berwarna kuning dari ranselnya.
“Aku tadi subuh bikin ini, dimakan Bang.” Aruna menyodorkan sandwich dengan scramble egg, selada, tomat dan saus pedas pada Gege.
“Bangun jam berapa tadi? sempet banget bikin ginian”
“Jam empat kayak biasanya, begitu melek mata aku pasti cari makanan, makanya sekalian bikin ini.”
Gege tersenyum simpul melahap sandwich di tangannya. ”Enak, semua masakan lo pasti enak dan cocok di lidah gue, thanks ya.” Aruna hanya mengangguk dan merona mendengar pujian dari lelaki di sampingnya.
“Padahal aku mau ngajak mau sarapan di nasi kapau Uni Cah deket sini.” tawar Gege
“Hayuk, aku punya bakat makan di atas rata-rata kok bang, meski perut kecil gini sehari bisa makan empat kali,” jawab Aruna antusias.
“Oke, habis ini kita ke sana yo diak.” Gege menatap teduh ke arah Aruna dan mengusap puncak kepala gadis itu.
Setelah menghabiskan sandwich buatan Aruna, mereka melanjutkan perjalanan lagi, singgah sarapan ke rumah makan Uni Cah yang tersohor itu, dan setelahnya melanjutkan perjalanan lagi hingga dua jam lebih, karena Gege dengan sengaja membawa Aruna berkeliling dengan motor Nmax nya. Satu kesenangan tersendiri bisa membawa gadis belia yang buta arah itu berkeliling Bukittinggi, karena ia takkan sadar meskipun Gege melewati jalan yang sama berulang-ulang demi ingin lebih lama berdekatan di atas motornya.
Jam sembilan tepat mereka sudah berada di depan bangunan asri bercat kuning gading dengan taman yang begitu asri halaman depan dan kolam ikan kecil di sebelah kanannya.
“Abang,” panggil Aruna saat melepas helm yang sukses membuat rambutnya seperti terkena p****g beliung.
“Hmm...”
“Ini rumah siapa?” gadis itu menyipitkan matanya dengan sebelah tangan yang sibuk merapikan rambutnya.
“Katanya pengen ketemu Itang?” lirik Gege usil.
“Dia tinggal di sini?” suara Aruna naik satu oktaf, dan Gege hanya mengangguk dengan senyum tersungging di sudut bibirnya.
“Ini rumah Itang?” Aruna menunjuk rumah di depannya
“Ini rumah mamah Rita?” jawab Gege mengulum senyum
“Mamahnya Abang?” Gege mengangguk
“Abang serumah dengan Itang?” Gege mengangguk lagi.
“Itang istrinya abang???” kali ini Gege tak mengangguk, hanya membolakan matanya dengan sempurna menatap Aruna.
***