Minggu pagi Aruna sudah berkutat di dapur rumah hijau. Lengkap dengan ke empat penghuni lainnya, Wita, Okta, Elma serta Iyut. Sejak kedatangan Aruna empat bulan lalu, rumah hijau mereka lebih meriah karena dapur luas di lantai dasar sudah hidup lagi. Aruna yang memang hobby memasak hampir tiap hari menggunakan dapur yang sudah lama menganggur itu, hingga tak lama kemudian diikuti oleh penghuni yang lain.
Seperti hari ini, mereka kompak memasak bersama karena si ketua geng, Faizul akan bertolak ke Batam. Tentu saja kesempatan kali ini dimanfaatkan Aruna untuk unjuk kebolehan kemampuan memasak yang sudah diakui keluarga besarnya. Aruna memilih memasak bakso khas Malang dan Rawon andalannya. Sementara Okta dan Wita memasak masakan khas Minang seperti Ayam pop, Lado ijo dan Rendang tentunya.
“Morning ladies, waaah udah rame aja nih,” sapa Zul yang diikuti dua pria di belakangnya, Gege dan Rizal.
“Iya dong, pak boss mau balik selir-selirnya masak enak nih boss.” jawab Okta lantas terkikik.
“Setahun sekali doang ya kalian nih, tega!” Faizul menarik salah satu kursi di meja makan sebelah dapur.
Aruna yang bersitatap sekilas dengan Gege langsung memalingkan muka dan berlari kecil ke kamarnya. Masih ada suasana canggung di antara keduanya. Beberapa menit kemudian Aruna turun lagi dengan membawa sesuatu dalam amplop putih, namun langkahnya terhenti di balik lemari besar yang memisahkan ruang keluarga dan ruang makan, karena samar-samar mendengar percakapan Wita dan Gege.
"Ge, udah berulang kali gue bilang sama lo, gak usah bikin cewek sepolos Nana jadi mainan lo, hadepin gue dulu." cerocos Wita tanpa jeda.
“Mainan gimana maksud lo? sebrengsek-brengseknya gue, gue gak pernah mainin cewek Wit, gue masih inget sama nyokap dan Itang.” sahut Gege tak terima.
Itang?? Siapa lagi? Batin Aruna.
“Lo ada hati kan sama Nana, gak usah bohong?! gue udah kenal lo lebih dari tujuh tahun, gue bisa baca mata lo.” sinis Wita.
“Iya gue akuin gue tertarik sama Nana, terus salahnya di mana?”
“Terus Irina mau lo tarok mana dodol?” Wita masih menuntut sambil menata beberapa piring di tengah meja makan. "Irina sudah semester akhir kan? Bentar lagi pasti balik, jangan sampe bikin dia ngamuk gara-gara kedekatan lo sama Nana." lanjut Wita mengacungkan telunjuk di depan hidung Gege.
Aruna yang tak paham dengan percakapan keduanya hanya bisa menatap bergantian pada Gege dan Wita dari balik persembunyian.
Irina lagi Irina lagi.
Kenapa si Irina ini harus ngamuk sih? Apa karena kedekatan mereka? Batin Aruna bergejolak mencoba mencerna kalimat demi kalimat Wita.
"Wit, gue bukan cowok gak bener kok, dan lo bisa pegang omongan gue." tegas Gege pada akhirnya.
"Gue pegang kata-kata lo, jangan sampe lo sakiti Irina yang udah nemenin lo lama, atau sakitin Nana, cewek polos yang paling gue lindungi di sini." tegas wita sekali lagi.
“Gue sama Irina gak ada hubungan apa-apa!”
“Yakin?” cibir Wita tak yakin.
“Ya iy...” kalimat Gege terpotong karena kedatangan Aruna yang tiba-tiba mendekati tempat mereka berbincang.
“Hmm ... Bang aku mau ngasih ini.” dengan gerakan cepat Aruna menyodorkan amplop panjang putih kehadapan Gege.
Aruna mencoba bersikap senormal mungkin di hadapan Gege, meski dengan susah payah ia menahan kakinya agar tak mendadak lunglai dari jarak sedekat ini.
“Apa nih?” Gege membolak-balikkan amplop yang sudah berada di tangannya.
“Kurangan duit tiket yang Abang pesenin bulan lalu, kata abang bayar tiga kali, aku lunasin hari ini mumpung banyak duit.” ucap Aruna pelan sambil memasang senyum palsu. Mata bulat gadis itu masih memancarkan ribuan tanya, semuanya terlihat sangat jelas bagi pria dewasa seperti Gege.
“Ck ... gue kan udah bilang, gak keburu kok.” kilah Gege saat menyandarkan punggung pada kursi besar di ujung meja. Ia lirik sekilas tubuh mungil Aruna yang berjalan menjauh ke arah dapur.
“Nggak apa-apa. Hutang tetep hutang, lebih cepat lunas lebih, Bang," ucap Aruna segera berlalu kearah dapur, meninggalkan Gege dan Wita yang menatapnya dari meja makan.
Tak berselang lama meja makan mereka tampak meriah dengan menu olahan penghuni rumah hijau. Mulai dari bakso, rawon, ayam pop, lado ijo, rendang, udang goreng tepung, tahu goreng, dadar jagung, hingga jus jambu bikinan Elma. Mata Aruna berbinar melihat meja makan di hadapannya, ada kebahagiaan tersendiri bisa berkumpul dengan geng rumah hijau dalam formasi lengkap seperti ini.
“Siapa nih yang masak bakso?” tanya Faizul dengan sebelah pipi menggembung saat mengunyah bola-bola daging di depannya.
“Tuh si Nana,” jawab Okta mengendikkan dagu ke arah Aruna.
“En- enak banget.” lanjut Faizul mengambil potongan bakso lagi. Aruna yang mendengar masakannya dipuji tentu saja langsung berbinar dan melengkungkan senyum terbaik di bibirnya.
“Yakin elo yang masak Na?” tanya Gege ragu, namun tangannya dengan cekatan mengambil beberapa isian bakso ke dalam mangkok.
“Yakin lah, tanya aja sama yang lain kalo gak percaya.” gerutu Aruna menatap sekilas pada Gege.
“Bakso samo rawon tuh Aruna yang masak dari tadi subuh, yang lain ya kita-kita lah yang masak. Nana kan belum belajar banyak masakan Minang. Iyakan Na?” jelas Okta yang diangguki Aruna.
“Nana tuh jago masak tauk meski masih kecil gitu, dapur ini aja.. gue gak yakin bakal berfungsi lagi kalo gak ada dia. Biasanya kan kita rajin beli fast food, sejak Nana dateng dan rajin masak, nular ke kita lagi.” sambung Wita.
Gege mengangguk-angguk dari tempat duduknya, masih berkutat dengan semangkok bakso buatan Aruna, bahkan kali ini ia sudah menambah satu porsi lagi.
“Beneran enak nih, bakso lnya juara.” pria itu mengangkat ibu jarinya ke udara. “Bakso yang di Andalas lewat nak.” lanjutnya lagi.
Aruna tak mampu menahan senyumnya saat Gege juga mengutarakan pujian untuk masakannya. Aaahh ... gak sia-sia ternyata dia ikut kursus memasak sejak kelas satu SMP.
“Menantu idaman banget nih pandai masak gini.” lanjut Gege lagi dengan mulut penuh makanan.
“Pastilah, tapi yang jelas bukan menantu mamah Rita. Kalau gue punya adek cowok pasti langsung gue lamar Nana buat jadi adik ipar gue,” jawab Wita seketika.
“Ehh... kok gitu Wit, cenayang lo.” Gege melayangkan protes, yang disambut gelak tawa yang lain.
“Mamah Rita siapa kak?” tanya Aruna lirih
“Mamahnya Gege.” Wita tergelak diikuti yang lain.
***
“Na,”
“Hmmm,” Nana melirik sekilas pada Gege yang berjalan mendekatinya di ruang tengah.
“Kemaren kenapa chatnya gak langsung dibales?”
Aruna refleks menoleh dan mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba menyusun kalimat “Kan udah aku bales su- subuhnya.”
“Iya kan besoknya, tumben gak langsung bales kayak biasanya?” tuntut Gege lagi yang makin mendekati Aruna.
“Ketiduran.”
“Yakin?”
“Yakin lah.”
“Tapi abang liat lampu kamar kamu masih nyala waktu.”
“Lampunya doang yang nyala akunya merem.” kilah Aruna lalu bangkit.
“Bisuak pulang kantor jam berapa?” pekik Gege tak ingin menghentikan percakapan mereka.
“Gak tau, liat besok.” Aruna menjawab tanpa menoleh lagi dan bergegas ia menuju kamar.
***