"Apa kamu tidak bisa menunggu sampai aku melahirkan? Aku hanya ingin ditemani saat aku melahirkan putra pertama kita," pinta Mya dengan mata yang berkaca-kaca.
Dia berharap, lelaki itu mau merubah keputusannya setelah dia melahirkan.
"Bagaimana dengan Fira? Bisakah kamu bayangkan perasaannya saat itu? Aku harus meninggalkannya di saat dia sedang hamil tua. Dan parahnya lagi, aku harus bertanggung jawab pada janin yang bukan milikku. Andai kamu menjadi dia, bagaimana perasaanmu saat itu," sinis Richard seolah tak mau tahu perasaan istrinya.
Mya pun berlutut di hadapan sang suami. "Kumohon Kak, tunggulah setelah aku melahirkan. Aku tidak akan melarangmu melakukan apapun setelah itu," pinta Mya dengan air mata yang tak berhenti menetes di pipinya.
Richard pun membantu istrinya bangun. Lelaki itu tak tega melihat wajah sendu Mya. "Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu. Aku akan menunggu sampai kamu melahirkan. Setelah itu, aku akan segera menikahi istriku kembali. Dengan, atau tanpa persetujuanmu," tegas Richard kemudian pergi meninggalkan istrinya.
Dia ingin menyendiri setelah mereka berdebat. Richard tak ingin melampiaskan kemarahannya pada wanita hamil itu
"Aku pikir, setelah 5 tahun berlalu, kamu akan melupakannya Kak. Namun kenyataannya tidak. Apa tidak ada sedikitpun rasa di hatimu untukku?" batin Mya.
Di belahan bumi lainnya.
"Dokter Fira, ini kartu milik pasien VVIP 3," kata perawat itu.
"Kamu berikan saja sendiri pada orangnya Sus," sahut Fira.
Perawat itu pun mengangguk lalu membawa kartu itu ke kamar pasien yang suka mengamuk itu. Namun, saat membuka pintu kamar, perawat itu mengerutkan dahinya kalau tak melihat siapapun di sana.
"Sus, pasien VVIP 1 ada di mana?" tanyanya pada sesama teman perawat.
"Sudah pulang malam tadi," jawab wanita ber-name tag Diana itu.
Perawat itu pun kembali ke ruangan Fira. "Dok, pasiennya sudah pulang semalam," lapor perawat itu.
Fira mengernyitkan dahinya, "Bukannya dia belum sembuh, kenapa pulang mendadak?" tanyanya.
Perawat itu hanya mengedikkan bahunya sebagai jawaban lalu menaruh kartu itu di meja Fira.
"Eh, Sus, tolong kamu cari tahu alamat pasien itu, biar saya bisa kirim kartu ini," kata Fira.
Perawat itu lalu menuju ke ruangan resepsionis untuk menanyakan alamat rumah lelaki itu.
"Ini Dok." Setelah memberikan selembar kertas, perawat itu pun pergi meninggalkan ruangan Fira.
Wanita cantik itu pun mengambil kertas itu kemudian membacanya. "Dekat dengan rumah Mami. Biar aku antar, sekalian mampir ke rumah Mami," gumamnya.
Fira pun melanjutkan kembali pekerjaannya. Saat makan siang nanti, dia memutuskan untuk mampir ke sana.
Sementara itu, di sebuah rumah mewah, seorang lelaki sedang mengepalkan tangannya saat dia tahu kalau yang membuat dia celaka adalah adik tirinya.
"Dasar lelaki bodoh! Dia pikir, dengan membunuhku membuat warisan Papa akan jatuh ke tanganmu begitu saja. Jangan mimpi kamu," geramnya.
Tak lama, terdengar ketukan di pintu ruangan kerjanya. Althaf pun membuka pintu itu. "Ada apa Bi?" tanyanya sambil menahan amarah.
"Anu Tuan, di depan ada wanita cantik yang mencari Tuan," jawab Bibi.
Althaf mengerutkan dahinya. Stefani sudah pergi meninggalkannya, tidak mungkin wanita itu kembali dalam waktu dekat.
"Suruh saja dia masuk Bi," ucapnya.
Karena penasaran, Althaf pun akhirnya menjalankan kursi rodanya. Dia sedikit terhenyak saat melihat dokter cantik yang merawatnya ada di rumahnya.
Lelaki itu tersenyum tipis. Semalam, dia sudah menyuruh asistennya untuk menyelidiki dokter cantik yang sudah merawatnya. Selain jenius, wanita itu juga baik. Dan dia ingin, menjadikan janda muda itu menjadi dokter pribadinya
"Mau apa dokter kemari?" ucapnya dengan nada dingin dan ketus.
"Ini kartu Tuan, Anda meninggalkannya di rumah sakit kemarin," jawab Fira dengan sopan.
"Ambil aja. Bukannya Anda menyuruh saya mengganti semua barang yang sudah saya hancurkan?" ketus lelaki itu.
Fira menghela nafas panjang. Sepertinya, dia harus memiliki banyak stok kesabaran menghadapi lelaki ini.
"Maaf Tuan, semuanya sudah kami masukkan ke dalam tagihan kamar Anda. Ini perinciannya," ucapnya sambil menyodorkan amplop berlogo rumah sakit.
"Kalau begitu, saya permisi Tuan," pamit Fira.
"Tunggu Dok," teriak Althaf.
Wanita itu pun membalikkan badannya. "Ya Tuan?" tanyanya.
"Hhmm, bisakah saya meminta tolong," pinta Althaf.
"Minta tolong apa Tuan? Kalau saya bisa pasti akan saya bantu," sahut Fira.
"Tolong, periksa saya! Datanglah kemari sebelum atau sesudah Anda praktek. Saya akan membayar Anda lebih mahal kalau Anda mau datang kemari setiap hari," pinta Althaf.
"Kenapa Anda tidak datang ke rumah sakit saja? Dan lagi, Anda kan masih belum pulih, kenapa memaksa untuk pulang?" omel Fira.
Lelaki itu tersenyum tipis. Sepertinya, hari-harinya akan lebih menyenangkan mendengar ocehan dokter cantik ini.
"Apa Anda tidak tahu?" tanyanya.
Fira menggelengkan kepalanya dengan polosnya.
"Berada di rumah sakit berbahaya untuk keselamatanku. Kecelakaan yang aku alami bukanlah hal yang wajar. Namun, sepertinya, ada yang sengaja membuatku celaka," cerita Althaf.
Jiwa kekepoan Fira pun keluar. Dia jadi ingin tahu, siapa yang mencoba mencelakai pasiennya.
"Apa Anda mengenal orangnya?" tanyanya.
Althaf mengangguk. "Maka dari itu, aku butuh bantuan Dokter untuk memeriksa kesehatanku setiap harinya," jawabnya.
"Tapi Tuan, saya ini dokter anak. Bukan dokter ortopedi seperti teman saya Nico. Jelas, hasilnya tidak akan sama dengannya," elak Fira dengan halus.
Dia agak risih jika harus berdekatan dengan lawan jenis.
"Apa Anda tidak mampu?" Althaf bicara dengan nada meremehkan Fira.
"Bukan tidak mampu Tuan, hanya saja, hasilnya pasti akan lebih cepat jika Anda dirawat oleh orang yang tepat," terang Fira.
"Aku ingin Anda yang merawatku Dok. Maka dari itu, kartu itu aku berikan pada Anda. Sebagai bayaran Anda datang kemari setiap harinya. Keselamatan saya terancam jika saya sering berada di luar rumah. Tolonglah dokter, bantu aku. Anda bisa bertanya pada teman Anda jika ada masalah dengan kesehatan saya," lelaki itu terus memberi solusi agar Fira berubah pikiran.
Fira berpikir, tidak ada salahnya dia menolong lelaki yang ada di hadapannya ini. Hitung-hitung untuk menambah ilmu kedokterannya.
"Anda yakin meminta saya untuk merawat Anda?" tanya Fira sekali lagi.
"Yakin Nona. Saya tahu, Anda pasti bisa menyembuhkan saya," jawab Althaf.
Fira menghela nafas panjang. Wanita itu akhirnya menyetujui permintaan Althaf atas dasar kemanusiaan.
"Baiklah, kalau begitu, kita akan memulai pemeriksaan pertama. Saya minta tolong pada anak buah Tuan untuk memindahkan Tuan ke ranjang," ucap Fira.
Lelaki itu kemudian menelepon security-nya untuk melakukan apa yang Fira inginkan. Setelah Althaf berada di atas ranjang, Fira pun memulai pemeriksaannya. Dia mulai mengetuk ngetuk telapak kakinya dan juga memijitnya dengan sedikit keras.
"Apa terasa?" tanyanya.
Althaf menggelengkan kepalanya
"Apa kaki Anda tidak bisa digerakkan sama sekali Tuan? Coba Tuan gerakkan jari kaki Tuan," kata Fira.
Lelaki itu pun mencoba menggerakkan jari kakinya. Namun, sia-sia. Semua seolah mati rasa. Dia hanya bisa menggerakkan tangannya saja.
"Ya sudah tidak apa, jangan dipaksa. Nanti saya akan konsultasi dulu dengan dokter Nico, apa saja yang harus dilakukan untuk terapi pertama," ucap Fira.
"Usahakan untuk makan makanan yang sehat. Istirahat yang cukup. Nanti juga akan saya konsulkan olahraga apa saja yang bisa dilakukan oleh orang seperti Anda. Baiklah, saya pamit Tuan, besok saya akan kembali lagi," ucap Fira.
Lelaki itu menganggukkan kepalanya. Sebelum Fira keluar dari kamarnya, Althaf berteriak, "Dokter ..."
Fira membalikkan tubuhnya. "Ya," sahutnya.
"Siapa nama dokter?" tanyanya diiringi senyuman manis.
"Zafira, Anda boleh memanggil saya Fira," jawabnya.
"Nama yang cantik. Secantik orangnya," batin Althaf.
Namun, dia tidak mungkin berkata seperti itu, bisa jatuh image-nya jika dia berlaku agresif.
"Gue Althaf," sahutnya singkat.
Setelah berpamitan, Fira pun mampir ke rumah sang Mama. Wanita cantik itu pun bergelayut manja dibahu sang Mami.
"Mami masak apa? Fira lapar," ucapnya.
"Mana si kembar, kenapa kamu hanya datang sendiri?" omel sang Mami.
"Di rumah Mi. Tadi Fira habis visit pasien, rumahnya beberapa blok dari sini," ucapnya.
Qeela memicingkan matanya. "Siapa?" tanyanya.
"Althaf. Mami kenal nggak?" tanya Fira.
Wanita paruh baya itu pun menggelengkan kepalanya. Fira menaruh kepalanya di pangkuan sang Mami sambil memainkan gadgetnya. Matanya membola saat melihat pesan yang baru saja dikirim oleh Althaf.
"Ya Tuhan, ini tidak salah?"