Soto buatan Nyonya datang keesokan harinya, ketika anak-anak masih di sekolah dan suami Mak Noah masih di kantor. Semangkuk besar soto dengan kuah yang masih mengepul panas. Mungkin sebagai tanda permintaan maaf karena sudah seenaknya celup-celup ke kuah soto yang dibawa Mak Noah kemarin.
Dari tampilan kuah dan potongan ayamnya yang besar-besar, Mak Noah membayangkan rasanya tak kalah enak dengan soto buatan Bu RT. Mak Noah yang sebenarnya masih sebal, dalam hati sedikit memaafkan perbuatan Nyonya kemarin. Sedikit saja ya gaess!
Setelah baskom kecil yang kemarin berisi kuah soto Bu RT berpindah tangan ke Mak Noah, Nyonya pun pamit meninggalkan rumahnya. Diiringi perkataan, “Jangan lupa testimoninya di sss, ya!”
Duh, pamrih banget sih. Ngasih soto tapi harus pake testimoni segala. Mak Noah cuma mengangguk pelan dan tersenyum garing. Dalam hati nggak akan menuruti permintaan Nyonya. Emang siapa dia?
Melihat tampilan soto yang mengeluarkan aroma rempah yang kuat, Mak Noah pun tergiur untuk segera mencicipi. Dia pun mengambil sendok dan menyuapkan potongan besar ayam dan sedikit bihun ke mulutnya. Belum sampai soto tersebut ke tenggorokan, aroma amis membanjiri rongga mulut. Spontan Mak Noah berlari ke wastafel dan memuntahkan soto dari dalam mulutnya. Pikiran jelek menyelusup masuk ke otaknya, apa Nyonya mau meracuninya? Kuahnya, sih masih oke. Ada rasa asin dan gurih dari santannya, tapi daging ayamnya kenapa bau dan amis?
Mak Noah masih berusaha berpikiran positif. Kesalahan bukan dari pihak Nyonya. Mungkin ayam yang dia beli sudah jelek atau tidak sempurna sembelihannya. Atau bisa jadi Nyonya punya selera makan yang aneh. Mungkin dia masih ada keturunan werewolf jadi suka sama daging yang setengah matang dan berbau amis. Entahlah. Yang jelas, semangkuk besar soto ini tidak akan termakan oleh keluarga Mak Noah. Dia pun membuang kuah sotonya ke wastafel sementara isiannya dimasukkan ke dalam plastik rangkap-rangkap dan akan dibuang jauh-jauh dari lingkungan rumah. Mak Noah nggak mau ngambil resiko sampahnya bakal dikorek kucing atau tikus dan ketahuan Nyonya kalau soto buatan dia berakhir di perut makhluk itu.
Seminggu setelah peristiwa soto, grup makan-makan membuat acara lagi. Kali ini bukan makanan berat. Hanya sekadar ngumpul di bawah pohon rindang di area fasum sambil menikmati aneka irisan buah segar kumplit dengan cocolannya. Minumnya es oyen ala-ala. Cuaca Batam yang gerah beberapa hari ini membuat malas makan dan inginnya minum terus. Ide rujakan datang dari Bu RT karena dia melihat di lingkungan cluster banyak sekali pohon jambu dan mangga yang berbuah. Ditambah beberapa varian buah dari pasar, satu nampan besar irisan buah siap diserbu di hari yang terik itu.
Salah seorang anggota grup makan-makan yang gemar memposting setiap kegiatannya di medsos melakukan siaran langsung. Wajah emak-emak yang belepotan bumbu, yang megap-megap kepedesan, yang keringetan, yang berebut kerupuk dan bakwan, semua terekam satu per satu. Tersiar ke seantero medsos. Mak Noah tahu pasti, Ibu yang melakukan siaran langsung tersebut berteman dengan Nyonya. Perasaannya langsung nggak enak, apalagi ketika wajahnya masuk memenuhi layar ponsel.
Benar saja, sepulang dari acara rujakan, Nyonya sudah menunggunya di depan rumah.Entah angin jenis apa yang mengipasi kepala Nyonya sore ini. Tumben-tumbennya dia duduk di kursi di depan pagar garasi sambil bermain HP. Anak bungsunya yang berusia lima tahun dibiarkan main pasir di pinggir selokan. Padahal biasanya Nyonya paling bawel soal kebersihan dan moral anaknya.
Awal dia tinggal di Cluster Magnolia, Nyonya melarang anaknya, yang saat itu baru satu, untuk bermain di luar dengan anak-anak cluster yang lain. Alasan Nyonya, lingkungan kami bukan lingkungan yang baik untuk anaknya tumbuh dan berkembang. Menurut Nyonya, anak-anak di lingkungan cluster tidak berpendidikan dan kasar. Alhasil karena kurang bergaul dan hanya diberi game sepanjang hari, anak Nyonya tumbuh menjadi anak yang cengeng, pemarah, dan gagap.
Namun Nyonya tidak mengakui jika kekurangan anaknya dikarenakan sikap overprotected yang dia lakukan. Dia hanya bilang jika anaknya begitu karena bawaan lahir dan anugerah yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.
"Baru dari fasum Mak Noah?" tanya Nyonya dengan nada diramah-ramahkan. Dengan sigap dia langsung berdiri dan menghadang jalan pulang Mak Noah.
"Iya Mak Rani. Abis rujakan sama ibu-ibu."
"Mana rujaknya? Kok, nggak bawa apa-apa?" selidiknya. Matanya mengarah pada dua tangan Mak Noah yang bebas melenggang.
"Ya abislah Mak dimakan rame-rame. Makanya Mak, ikut gabung sama kita-kita biar nggak penasaran," goda Mak Noah.
"Siapa yang penasaran? Kalau cuma rujak, saya juga bisa bikin, kok." Dia membuang muka dan meninggalkan Mak Noah yang geleng-geleng kepala sendirian.
"Rani! Masuk! Jangan main di luar, banyak kuman!" Suaranya menggelegar dari dalam rumah. Memanggil anak bungsunya yang masih ketinggalan di luar.
"Raniiii!!! Mami punya es krim!" Teriaknya lebih keras karena anaknya tak kunjung beranjak dari pinggir selokan.
Mendengar kata es krim, langsung Si Bungsu Rani melesat cepat masuk ke rumah. Sekilas Mak Noah melihat ada bayangan bergerak di balik kaca jendela rumah Nyonya. Dengan gerakan disengaja, Mak Noah pun mengeluarkan bungkusan dari saku jaket bagian dalam. Seplastik irisan buah dan seplastik bumbu rujak. Dengan sengaja juga, Mak Noah melangkah sambil mengayun-ayunkan bungkusan yang ditentengnya. Dengan sengaja lagi, dia bernyanyi keras-keras.
'I'm turning my head up and down
I'm turning turning turning turning turning around
And all that I can see is just another lemon-tree'
=*=
Beberapa hari sejak acara rujakan di fasum, kepala Mak Noah sangat pusing. Mungkin mau datang bulan. Bawaannya malas makan nasi dan maunya makan yang pedas dan segar seperti mie instan kuah dengan irisan cabe rawit dan sayuran segar. Menuruti napsunya, Mak Noah pun menyalakan kompor hendak merebus mie. Namun sebuah ketukan di pintu membuatnya urung memasukkan mie ke dalam panci.
"Ini dari Mami." Rani menyodorkan mangkuk tertutup kepada Mak Noah yang membuka pintu.
"Wah, apa ini?"
"Kata Mami rujak."
"Rajin, ya mamimu bikin makanan. Eh, kamu nggak sekolah, Dit?"
"Kesiangan, Tante."
"Oh. Bilang mamimu, makasih, ya."
Rani pun berlalu setelah mengucap permisi. Nyonya memang aneh. Anak-anaknya sering sekali membolos sekolah karena hal sepele. Yang hujan deraslah, masuk anginlah, atau hal sepele kayak yang dibilang Rani barusan, kesiangan. Padahal mereka punya mobil dan suaminya juga harus kerja pagi. Memang sih suaminya masuk jam setengah sembilan sementara Refa dan Rani masuk jam setengah delapan. Cuma beda satu jam saja padahal, tapi yah … begitulah kehidupan pagi Nyonya. Jam tujuh saja lampu terasnya belum dimatikan.
Harum irisan buah segar langsung tercium begitu tutup mangkuk dibuka. Rasanya liur Mak Noah sudah meleleh membayangkan rasa manis, pedas, dan asamnya bumbu rujak yang dicocol ke buah-buahan. Mak Noah pun urung membuat mie. Dia pun segera mencocol sebuah nanas ke sambal rujak yang masih dalam plastik. Dan ... Oh My God!
Buru-buru Mak Noah melepehkan lagi gigitan yang sempat masuk ke dalam mulut. Lidahnya seperti tersambar petir Dewa Zeus. Panas! Mungkin seperti ini rasanya jika disengat ratusan lipan di lidah. Membuat airmata berleleran dan liur menetes tak terkendali. Cepat-cepat Mak Noah menaburkan gula pasir di atas lidah dengan harapan panasnya bakal reda. Matanya masih berair dan mulutnya masih megap-megap. Tangannya mengipasi lidah yang keluar masuk mulut menahan panas dan liur yang terus mengalir. Di depan kipas angin, dia menjulurkan lidahnya keluar. Lumayan adem.
Setelah reda semua sensasi petir yang dialaminya, Mak Noah mulai berpikir, Nyonya kesambet setan mana, sih? Atau memang seleranya yang aneh? Ini cabe rawit berapa kilo, ya yang dibuat bumbu rujak? Bukan hanya pedas menyengat, rasanya pun sedikit aneh. Seperti ada rasa bawang putih dan pedas dari merica. Mungkin maksudnya bikin sambal rujak bumbu kacang, tapi kebanyakan bawang putihnya. Kacang tanahnya juga terlalu sedikit dan terlalu lembut. Jadinya lebih cocok disebut bumbu sate penangkal vampir.
"Gimana Mak Noah, enak, nggak rujak buatanku?" tanya Nyonya ketika Mak Noah keluar rumah hendak membuang sampah. Bumbu rujak Nyonya sudah dilarutkan dengan air di wastafel. Buahnya sudah dimasukkan kulkas. Nanti, ketika Pak Dudi pulang kerja, irisan buah dingin akan dia sajikan dengan cocolan irisan cabe rawit dan kecap asin yang diberi gula pasir sedikit. Kecap asinnya khusus buatan Malaysia yang rasanya sangat gurih nikmat.
"Kepedesan, Mak. Saya nggak kuat," jawab Mak Noah.
"Masa pedes, sih? Buatku itu masih standar."
Buset, dah. Segitu pedes dibilang standar?
"Memangnya Mak Rani pake cabe apa?"
"Cabe setan. Cuma seons, kok."
Cuma? Seons? Buat bumbu rujak sekali makan? Lidah Nyonya pasti sudah kapalan. Sehingga indera pengecapnya sedikit linglung. Mak Noah tersenyum canggung dan permisi masuk ke dalam rumah.
Malamnya, Mak Noah cerita soal kelakuan Nyonya kepada suaminya. Kebiasaan mereka sebelum tidur Mereka suka ngobrol tentang hal-hal ringan sambil bergelung di balik selimut.
“Kalau kata Mamah begitu, Papah nggak akan mau makan masakan dia kalau dia ngirim-ngirim lagi.”
“Terus langsung dibuang? Dan Mamah harus bilang enak? Bohong, dong!”
“Ya, kalau Mamah berani jujur, silakan saja. Tapi jangan stres lagi kayak dulu. Ingat nggak dulu Mamah sampai nggak bisa keluar rumah karena jadi bulan-bulanan mereka?”
Mak Noah terdiam. Teringat lagi masa-masa kelam dua tahun lalu yang hampir membuatnya kena gangguan jiwa.[]