“Santi, kamu nggak salah mau jual rumah?” Aser tersentak mendengar pengakuan dari kakaknya. “Iya, Ser. Habisnya, aku tidak tahu lagi harus mencari uang kemana untuk membayar semua hutang-hutangku.” “Y—ya ... kalau kamu jual terus kamu mau tinggal di mana? Lagi pula, rumah ini’kan berdiri di atas tanah warisan mama dan papa. Kamu tahu sendiri kalau mama masih hidup, harusnya kamu berdiskusi dulu sama mama.” “Apa lagi yang harus aku diskusikan. Memangnya kalian mau bantu bayarin hutang-hutang aku?” Aser seketika mendelik, “Kamu gila ya, Santi? ‘Kan kamu tahu sendiri kehidupan aku seperti apa. Cukup buat makan saja, masih syukur.” Aser berkacak pinggang. Ia tidak habis pikir dengan kakaknya itu. “Terus aku harus apa?” Aser berdecak seraya menyugar kasar rambutnya, “Terserah kamu, dech!”