TAO – 9

1712 Kata
Herman duduk dengan santai seraya menikmati senja di teras rumahnya. “Sandi, mau kemana? Sinilah, ngopi dulu sama abang.” Herman memanggil suami Cici tatkala melihat Sandi keluar dari rumahnya. “Sebentar, Bang. Sandi mau beli rokok dulu.” “Oke, abang tunggu!” Sandi pun berlalu ke warung menggunakan sepeda motornya, sementara Herman masih asyik menikmati senja bersama secangkir kopi dan rokok yang menyala di tangannya. “Reza, sini, Nak.” Herman memanggil anak pertama Cici tatkala bocah itu hendak menuju masjid untuk pergi mengaji. “Ada apa, Pa?” tanya Reza menghampiri Herman. Anak-anak Cici memang terbiasa memanggil Herman dan Santi dengan sebutan mama dan papa. Sementara ke orang tuanya sendiri, Reza memanggil ayah dan bunda. “Tolong belikan papa gorengan sebentar, Nak. Belikan sepuluh ribu ya. Ini dua ribu buat jajan mengaji Reza.” “Baik, Pa. Terima kasih.” Reza menerima uang itu dan segera berlalu ke tukang gorengan yang tidak jauh dari rumah mereka. Tidak lama, Reza kembali dan memberikan gorengan itu kepada Herman, “Ini, Pa.” “Tolong ambilkan papa dua buah piring, Nak,” suruh Herman lagi. Reza mengangguk dan masuk ke rumah Herman, mengambil dua buah piring seperti yang diperintahkan suami dari bibinya itu. “Ini separo, tolong letakkan di meja dalam ya. Ini yang lima lagi untuk camilan papa dan ayah nantinya.” “Baik, Pa.” Reza menjawab lembut. Anak itu memang selalu bersikap sopan terhadap siapa saja. Berbeda dengan anak-anak Herman yang kepas kepala. “Pa, Reza berangkat mengaji dulu ya, Assalamu’alaikum ....” “Iya, Wa’alaikumussalam ....” Reza pun berlalu. Sebelum Sandi datang, Herman menyempatkan dirinya untuk merapalkan mantra di atas gorengan yang sudah tersedia di dalam piring. Siapa lagi tujuannya kalau bukan Sandi—suami Cici. “Maaf, Bang. Agak lama, sebab warungnya ramai sekali.” Sandi datang dan duduk di sebelah Herman. Suami Cici itu memberikan sebungkus rokok kepada Herman. “Haduh, harusnya Sandi tidak perlu membelikan rokok segala. Rokok abang masih banyak kok.” Herman berbasa basi. “Tidak apa-apa, Bang.” “ARA ... ARA ....” Herman berteriak memanggil putrinya yang baru saja kembali entah dari mana. “Iya, Pa. Ada apa?” “Tolong buatkan kopi untuk apak kamu.” “Iya, Pa.” Ara masuk ke dalam rumah dan membuatkan kopi untuk Sandi. “Bagaimana di rumah, aman?” Herman mulai mengulik kehidupan rumah tangga sandi dengan cara yang manis agar Sandi tidak curiga. “Nggak aman, Bang.” Tanpa adanya rasa curiga, Sandi selalu terbuka kepada suami dari kakak iparnya itu. Sandi juga sudah menganggap Herman seperti kakak kandungnya sendiri. Mereka cukup dekat secara emosional dan hubungan mereka selama ini cukup baik. “Kurang aman, bagaimana?” “Entahlah ... padahal Cici sudah di rumah saja. Ia sudah berhenti bekerja, namun tetap saja perasaan aku nggak enak. Beberapa kali aku dapati ada nomor yang tidak dikenal menghubungi Cici.” “Kamu juga sich, terlalu percaya saja sama Cici.” Herman mulai menghasut. Tidak lama, Ara datang membawa secangkir kopi panas, “Silahkan diminum kopinya, Pak.” “Iya, terima kasih, Ara.” Sandi menerima kopi itu dan meletakkannya di samping kursi kayu panjang yang tengah ia duduki. “Harusnya kamu tidak menaruh kepercayaan terlalu dalam kepada istrimu. Bagaimana pun juga, Cici itu lumayan cantik. Pasti banyak rekan-rekan kantornya dulu yang menaruh hati kepadanya. Lagi pula abang lihat, Cici boros sekali.” “Kalau masalah boros itu, Sandi tidak permasalahkan, Bang.” “Tidak mempermasalahkan, bagaimana? Kamu itu juga harus menyelidiki keuangannya. Atau jangan mau memberikan semua penghasilan kamu kepadanya. Kamu capek-capek kerja, malah tidak bisa menikmati. Jangan seperti abangmu ini, Sandi. Tersiksa lahir dan batin, hehehe ....” Herman membisikkan kata terakhir itu di telinga Sandi. Sandi tersenyum kecil. “Mulai sekarang, kamu itu harus tegas.” “Iya, Bang. Terkadang Sandi juga berpikir seperti itu. Apalagi Cici juga sudah tidak maksimal lagi melayani Sandi. Setiap diminta, sering sekali banyak alasannya.” “Nah itu! itu sudah merupakan tanda-tanda kalau dihatinya sudah ada pria lain. Karena kalau sudah tidak berselera terhadap pasangan, itu artinya ia sudah tidak puas. Bisa jadi ia mendapatkan kepuasan dari pria lain.” Sandi menatap Herman, “Apa maksud, abang? Cici tidak mungkin melakukan semua itu.” “Maaf, bukannya abang mau ikut campur. Abang ini sudah jauh lebih tua lho dari kamu, jadi abang punya pengalaman yang lebih banyak untuk urusan rumah tangga. Mungkin sekarang Cici belum melakukannya, tapi bisa saja pikirannya mulai kemana-maa sehingga sudah tidak ada rasa terhadap suaminya. Sandi paham’kan maksud abang?” Sandi mengangguk. Ia mulai mencerna perkataan Herman dan kembali mulai terpengaruh. “Cinta boleh, Sayang boleh, tapi jangan berlebihan. Kamu juga berhak bahagia jika tidak puas lagi terhadap istri kamu.” “Maksud abang, apa?” “Tidak, abang tidak bermaksud apa-apa. Jujur saja, tapi ini rahasia ya, tolong jangan bocorkan pada siapa pun.” Herman kembali berbisik. Sandi mengangguk begitu saja. “Abang juga kadang-kadang bosan dengan kak Santi. Jadi abang juga punya pacar lain,” bisik Herman lagi. “Jadi abang se—.” “Sssttt ... jangan keras-keras ngomongnya. Nanti Santi bisa membunuh abang. Ini hanya pembicaraan antara kita sesama laki-laki, Sandi. Ya ... abang hanya memberi tahukan saja. Jangan mau diperbudak oleh cinta. Kita laki-laki juga berhak bahagia.” Herman kembali menghasut Sandi. Sandi mulai terpancing. Melihat Sandi mengangguk-angguk pelan, senyum miring kembali terukir dari sudut bibir Herman. Pria itu kembali menyeruput kopinya dengan nikmat. “Silahkan makan gorengannya. Tadi waktu Reza beli, gorengannya masih panas. Sekarang mungkin sudah mulai agak dingin.” “Iya, Bang. Terima kasih ....” Sandi pun mengambil salah satunya dan memakannya begitu saja tanpa membaca basmalah. Herman kembali tersenyum kecut ketika gorengan itu mulai masuk ke perut Sandi. Ia tertawa terbahak-bahak di dalam hatinya. “Ayo makan lagi. Enak’kan goreng pisangnya?” “Iya, Bang. Tumben enak, biasanya Sandi kurang suka gorengannya bu Wati.” “Iya, abang juga merasa gorengannya enak. Mungkin karena pisangnya matang sempurna jadi terasa manis.” “Hhmm ....” Sandi mengambil lagi dan melahapnya hingga habis. “Silahkan, makan lagi.” Herman menawari sepotong gorengan lagi pada Sandi yang memang hanya tersisa satu lagi saja. Dua sebelumnya sudah di makan oleh Herman. “Abang sendiri?” “Abang sudah ... sudah banyak tadi abang makan. Di dalam juga masih ada.” “Ya sudah, Sandi habiskan ya ....” “Iya ... iya, silahkan ....” Sandi pun mengambil sepotong lagi dan melahapnya hingga habis. Sandi merasa gorengan itu rasanya berbeda. Manis, legit dan enak. Namun setelah ia menghabiskan gorengannya, tubuhnya mulai sedikit memanas. Hanya sebentar, kemudian hilang dan tubuhnya terasa kembali normal. Tidak lama, azan maghrib pun berkumandang. Sandi pamit pulang ke rumahnya dan Herman mempersilahkan dengan wajah sumringah. “Ingat pesan abang, Sandi. Kita sebagai laki-laki juga berhak bahagia.” “Iya, Bang. Sandi pasti mengingat pesan-pesan abang. Kalau begitu, Sandi mau pulang dulu.” “Iya, hati-hati.” Sandi pun berlalu dan Herman juga masuk ke dalam rumahnya. - - - Di rumahnya, Sandi mendapati istrinya yang baru saja selesai mandi. “Bang, dari mana?” tanya Cici ramah seraya mulai mengenakan dasternya. Wanita itu sudah mengenakan underwear sebelumnya. “Lagi ngobrol-ngobrol sama bang Herman.” “Owh,” jawab Cici santai seraya mulai mengenakan bagian bawah mukena. Wanita itu juga sudah membentang sajadah sebab ia ingin melaksanakan salat maghrib. Namun, Sandi tiba-tiba saja mendekap istrinya dengan erat dan membawa tubuh Cici yang belum sempat mengenakan mukena, terjatuh ke atas ranjang. Sandi seketika melumat bibir manis istrinya dengan rakus. Cici berusaha melepaskan, “Bang, tunggu! Cici mau salat dulu sebentar. Nanti setelah salat maghrib, Cici akan penuhi keinginan abang,” tolak Cici, halus. Wanita itu bukan tidak ingin melayani suaminya, namun bersujud kepada Tuhan-nya di saat waktu salat sudah tiba, tentu lebih utama. Sandi tidak peduli dengan pernyataan istrinya. Pria itu semakin dikuasai nafsu dan menarik tubuh Cici dengan kasar hingga bagian tengah ranjang. “Bang, ini maghrib, tidak ba—.” Belum selesai Cici berucap, Sandi kembai melumat bibir itu dengan kasar. Sandi melepaskan rok bagian bawah mukena Cici hingga rok itu terlepas dari tubuh istrinya. Cici berusaha memberontak, “Bang! Tidak baik bergumul di saat maghrib begini. Cici hanya minta waktu sebentar saja. Dua menit aja kok untuk salat maghrib, sebab waktu maghrib ini sangat singkat. Setelah itu, Cici akan melayani abang sampai puas.” Cici memelas. Sandi semakin tidak peduli. Ia menarik daster itu dengan kasar hingga terlepas dari tubuhnya istrinya. Sandi semakin bringas dan menciumi tubuh Cici dengan rakus. Setiap Cici ingin bicara, Sandi menutupnya dengan ciuman atau memasukkan jarinya ke dalam mulut istrinya. “Bang, aku mohon, nanti dulu.” Cici kembali berusaha memberontak seraya terisak. Semakin ia memberontak, semakin bringas sikap suaminya. Sandi semakin berhafsu dan memperlakukan Cici dengan sedikit kasar. Tap ... Penyatuan itu pun terjadi. Cici pun pasrah. Memberontak pun percuma, sebab ia sudah menyatu dengan suaminya. Kalau pun Sandi menghentikan aksinya, Cici tetap harus kembali mandi dan berwudu. “Kenapa kamu sering sekali membuat alasan untuk menolak, ha? Kenapa?” Sandi mengguncang tubuhnya dengan kuat. Seakan ia ingin menyiksa istrinya. “Bu—bukan menolak, Bang. Ha—hanya mengulur waktu se—sebentar ... Cici, mau sa—salat dulu ....” Cici kelimpungan. Permainan di maghrib buta itu terkesan sadis dan kasar. “Tidak mungkin, pasti ada yang kamu rahasiakan dari abang, iya’kan? Ingat Cici, tidak ada seorang pun yang boleh menyicipi benda ini.” Sandi meremas benda kenyal istrinya dengan sangat keras. Cici nyaris berteriak sebab apa yang dilakukan Sandi, cukup menyakitinya. “Ini juga, he ... ini ... Jangan sampai ada yang menikmatinya selain abang. Atau abang akan menghancurkannya.” Sandi membuat pergerakan yang lebih kasar lagi. ia menekan dengan sangat kuat hingga menimbulkan bunyi keras seperti tepukan. Cici tidak mampu menjawab apa-apa. Rasa nikmat dan sakit bercampur aduk di tubuhnya. Tidak hanya bagian sana, tapi bagian tubuhnya juga di perlakukan kasar oleh Sandi. Sandi meremas, menggigit serta meninggalkan banyak bekas tanda kepemilikan di tubuh Cici. Bang, tolong segera sudahi, nanti waktu maghrib habis ... gumam Cici dalam hatinya. Ia tidak ingin bersuara sebab bersuara hanya akan menambah emosi Sandi. Sandi yang tengah dikuasai mantra aneh, terus membuat pergerakan dalam waktu yang cukup lama. Cici hanya bisa menangis, berharap maghribnya kali ini tidak akan terlewatkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN