TAO – 8

1640 Kata
Rosi susah selesai membersihkan diri. Sisa-sisa pergumulannya dengan Herman masih saja membekas, bahkan semakin terngiang dibenaknya. Wanita itu selalu menyunggingkan senyum setiap mengingat pertempuran yang terjadi. Semakin sering ia menjalin hubungan dengan Herman, semakin kuat rasa aneh yang ia alami. Setiap ia mengingat apalagi dekat saudara sepupunya itu, semakin bergetar seluruh sendi dan urat sensitifnya. Setelah puas menatap wajahnya lewat pantulan cermin, Rosi pun bergegas menuju kamar putranya untuk membersihkan sisa-sisa perbuatan haram dirinya dengan Herman. “Rosi, ada uang buat beli semen?” Herman sudah duduk di ruang tamu seraya menunggu Rosi keluar dari kamar. “Oiya, maaf ... Rosi lupa.” Wanita itu pun kembali ke dalam kamarnya untuk mengambil dompet. Rosi mengambil satu lembar pecahan seratus ribu dan memberikannya kepada Herman. “Ini, Bang.” “Baiklah, kalau begitu abang mau pergi beli semen dulu.” “Iya, Rosi juga mau masak untuk makan siang kita.” Herman mencubit lembut pipi Rosi sebelum meninggalkan rumah itu menuju toko bangunan terdekat. Rosi kembali tersipu malu mendapatkan perlakuan manis seperti itu dari Herman. Setelah Herman menghilang, Rosi bergegas masuk ke dalam kamar putranya. Ia dengan cepat membersihkan kamar itu. Mengganti sprei yang terkena cairan dirinya, menyapu bekas-bekas pertempuran dan menyemprotkan pengharum ruangan agar kamar itu kembali wangi dan segar. Merasa semuanya sudah aman, Rosi pun beranjak ke dapur. Ia ingin memasak sesuatu untuk dirinya, Herman dan juga anak-naknya. Wanita itu memang belum memasak sama sekali sebab ia lebih banyak menghabiskan waktunya di depan televisi atau berfantasy sendiri ketika ia tengah sendirian di rumah. Di tinggal suaminya bekerja dan tidak memiliki kegiatan apa-apa selain mengurus rumah tangga, membuat Rosi sering merasa kesepian ketika semua anak-anaknya pergi sekolah. Tidak lama, Herman kembali dan memulai pekerjaanya seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Herman mulai mencapurkan semen dengan pasir dan memasang bata demi bata di bagian dapur rumah Rosi yang memang masih terbengkalai. Beberapa menit kemudian, anak-anak Rosi pun kembali satu persatu dari sekolah mereka. Rosi menyambutnya dengan suka cita. Anak-anak itu juga menyapa Herman dengan baik tanpa mencurigai apa pun. Bahkan para tetangga juga tidak ada yang curiga kepada pasangan haram itu. Pasangan haram yang sudah menjalin hubungan selama berbulan-bulan. - - - Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore dan Herman juga sudah mengemasi semua peralatan pertukangan yang ia miliki. “Rosi, abang mau balik dulu ....” “Iya, Bang. Oiya, besok abang ada kerjaan di tempat lain?” “Ada, untuk dua bulan ke depan abang kerja di rumah pak Wawan. Beliau juga berharap sekali rumahnya segera selesai.” “Hhmm ... seumpamanya nanti abang tidak ada kerjaan, abang bantu Rosi di sini ya ... tolong selesaikan bagian dapur Rosi.” “Siap!” “Setiap hari minggu abang nggak bisa ya?” “Bukannya nggak bisa, tapi’kan ada suami kamu di rumah. Kamu tahu sendiri kalau sudah dekat kamu, abang sulit untuk mengendalikan diri.” “Iya juga sih ....” “Makanya abang nggak pernah mau kerja di sini kalau hari minggu.” “Ya sudah, nggak apa-apa. Kapan abang bisa saja. Oiya, ini gaji abang hari ini, sudah Rosi lebihin lho ....” “Terima kasih.” Herman pun mendekatkan mulutnya ke telinga Rosi, ia berbisik, “Kalau kangen, hubungi saja abang. Nanti abang akan ke sini untuk menemani.” Rosi kembali tersipu malu. Wanita itu berusaha mengendalikan dirinya sebab di rumah sedang ada anak-anaknya. Anda saja anak-anak itu tidak ada, ia pasti kembali menarik lengan Herman menuju kamar. “Ya sudah, kalau begitu abang pulang dulu. Kalau kelamaan ntar Santi ngamuk lagi.” “Iya, Bang ... hati-hati. kalau abang sedang ada masalah lagi, ke sini saja.” “Pastinya ....” Herman pun berlalu dari rumah Rosi seraya menyalami anak-anak Rosi dengan ramah. Hari ini ia merasa sangat beruntung. Dapat uang gaji dan dapat surga dunia sekaligus. Herman pun kemudian melajukan motornya menuju rumahnya. Setelah melepaskan hasratnya yang juga dibantu oleh teman-teman gaibnya, Herman memang terlihat lebih segar dan lebih bersemangat. Pria itu bernyanyi-nyanyi kecil seraya mengendarai motornya. Sesampai di halaman rumah, Herman melihat Cici tengah mengambil pakaian di halaman rumahnya. Netra pria itu seketika terbelalak. Bukan karena melihat Cici seksi, tapi obsesinya membuat sehelai rambut saja yang ia lihat, ia sudah memanas. Padahal Cici selalu berpakain sopan walau tidak mengenakan hijab jika berada di sekitar rumahnya. Cici menatap dan menyapa pria itu, “Bang ... baru pulang kerja ya ....” “Iya, Ci. Reza mana?” “Ada di dalam.” “Sandi sudah pulang?” “Sudah, Bang ...” “Owh ....” “Ada apa, Bang? Abang ada perlu sama bang Sandi?” “Tidak ... Kalau begitu abang mau masuk rumah dulu.” Cici mengangguk, “Iya, Bang.” Herman pun memasukkan motornya ke pekarangan rumahnya yang tidak ada pembatas sama sekali dengan pekarangan rumah Cici. Ya, pekarangan rumah Herman dan Cici memang masih menyatu dari depan hingga ke belakang. Tidak ada pagar pembatas antara pekarangan rumah mereka. Awalnya Cici dan Sandi berniat membuat pagar dengan alasan agar tanaman mereka terjaga dari binatang. Lagi-lagi, Herman keberatan dengan rencana Sandi dan Cici. Ia meyakinkan suami Cici agar tidak membuat pagar karena hanya akan membuang-buang uang. Bukankah sekeliling pekarangan rumah mereka sudah tertutup pagar, kecuali bagian depan. Herman masuk ke dalam rumahnya tanpa mengucap salam. Pria itu melihat Santi asyik terkekeh-kekeh di depan televisi karena tengah menyaksikan acara lawak yang di adakan oleh salah satu stasiun televisi. Gelak tawa santi dan Ara—anak ke dua Santi—menggema di rumah itu. Suara mereka berdua sangat keras hingga terdengar sampai ke rumah Cici. Melihat semua itu, Herman kembali berang. Memorinya kembali membawanya kepada Sicilia. Santi memang sangat berbeda. Herman berkali-kali melihat Cici menyambut kepulangan suaminya dengan santun dan sayang. Tidak pernah Herman mendengar gelak tawa yang terkesan menyeramkan seperti yang ia dengar di rumahnya. Ara pun ikut-ikutan cara ibunya. Herman membanting kunci motornya dengan kasar di atas lemari TV. Kunci motor itu mengenai dinding televisi tabung dua puluh satu inci sehingga mengeluarkan suara nyaring yang mengejutkan Santi dan Ella. “Eh, kakak sudah pulang?” “Tolong kurangi suara gelak tawa kalian. Apa kalian tidak malu di dengar tetangga?” “Habisnya filmnya lucu sekali, Pa. Hahahaha ....” Ara kembali tertawa. “Lucu sih lucu, tapi jangan seperti itu juga.” “Bodo amat sama pendapat orang lain. Yang penting kita bahagia, hahaha ....” Ara memiliki karakter yang sama persis seperti ibunya. Keras kepala, tidak peduli dengan orang lain dan suka melawan. Herman mendengus kesal. Ia kembali menatap Santi yang masih duduk bersila di depan televisi tanpa memedulikannya. “Santi, apakah seperti itu caramu menyambut suamimu pulang kerja?” “He—eh ... iya, Kak. Tunggu sebentar. Ini masih tanggung.” Herman semakin kesal. Ia menekan langkah dengan kasar menuju dapur dan membanting panci ke atas kompor. Santi berhenti tertawa, ia menoleh ke arah dapur dan melihat Herman. Wanita bertubuh tambun itu pun bangkit dan menyusul suaminya. “Kenapa kakak membanting panci seperti ini? Memangnya ini dibeli tidak pakai uang?” Santi kembali ketus seraya mengisi panci yang sudah dibanting Herman dengan air. Ia akan memanaskan air untuk membuat kopi untuk suaminya. “Aku sudah muak, Santi!” gumam Herman, pelan. “Apa maksud, Kakak?” “Santi! Coba kamu lihat Cici. Dia itu masih kecil tapi begitu menghargai suaminya. Kapan kamu bisa seperti Cici?” Santi seketika naik darah. Ia menyenggol panci yang sudah berisi air dengan kompor menyala di bawahnya. Panci itu terjatuh ke lantai dan air yang di dalamnya terbuang, sementara kompor masih saja menyala. KLUNTANG ... Bunyi panci yang jatuh ke lantai membuat bising. Ara yang tengah menonton terkejut sesaat, namun kembali menikmati tontonannya seakan tidak peduli dengan semua itu. “Kenapa kakak selalu saja membandingkan aku dengan Cici, ha? Kaka suka sama dia?” Santi menatap suaminya dengan penuh amarah. Ia menunjuk wajah Herman dengan tangan kirinya. “Jangan durhaka, Santi!” balas Herman dengan tatapan mematikan. Ara mulai gerah. Gadis delapan belas tahun itu segera bangkit dan meninggalkan rumahnya menggunakan sepeda motor. Ia lelah melihat pertengkaran ibu dan ayahnya. Santi semakin naik darah. Setan-setan yang ada di sekelilingnya membuatnya bereaksi sangat parah. Ia mulai memukul-mukul dirinya sendiri dengan keras. “Bunuh saja aku, Kak! Bunuh! Kalau kau tidak menginginkan aku lagi, bunuh saja!” Santi memukul tubuhnya, menjambat rambutnya dan mencakar wajahnya sendiri. Herman memegangi tangan Santi, “Apa-apan kau, Santi! Aku hanya minta kau meniru sikap Cici, bukan ingin membuat masalah. Apa salahnya kau juga menyambutku pulang kerja dengan senyum sumringah. Kau mandi, dandan yang cantik dan segera buatkan aku kopi,” ucap Herman seraya memegangi tangan Santi yang sudah seperti orang kerasukan. Santi semakin tidak terkendali. Ia menatap Herman dengan netra mulai memerah. Dari bibirnya, keluar auman seperti auman harimau. “Apa? Mau apa kau? Mau melawanku, ha?” Herman menyandarkan tubuh Santi ke dinding. Ia menyunggingkan senyum di sudut bibirnya seraya menatap tajam netra Santi. Santi tidak menjawab. Kembali hanya terdengar suara auman dari bibirnya. “Jangan coba-coba pengaruhi istriku! Atau aku akan memanggil lawan yang lebih banyak, mau?!” tanya Herman dengan penuh penekanan. Herman pun mulai merapalkan mantra pria itu pun lalu meniupkannya ke wajah Santi. Seketika netra Santi terpejam dan tubuhnya rebah ke atas lantai. Tidak lama, Santi sadar. “Kak?” tanya Santi seraya duduk. Kepalanya terasa pusing. “Itulah akibatnya melawan suami,” jawab Herman santai. Walau Santi sadar ia sudah berbuat salah, namun ia enggan mengucapkan kata maaf. Ilmunya dan ilmu suaminya sudah berperang dalam fisik Santi. Itu membuat Santi semakin keras kepala, dan juga semakin jauh dari Tuhan. Tanpa berkata apa pun, Santi melangkah menuju dapur, mengambil kembali panci yang terjatuh ke lantai dan mulai memanaskan air untuk membuat kopi. Setelah kopinya jadi, Santi meletakkan kopi itu di depan Herman yang sudah duduk dengan santai di teras rumah mereka. Santi pun berlalu ke dalam kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN