TAO – 10

1642 Kata
Sandi terkulai lemas setelah menyelesaikan tujuannya, Cici pun demikian. Namun wanita itu tidak serta merta memperturutkan keadaan fisiknya yang lelah dan mengantuk. Cici melepaskan tubuh Sandi yang masih mendekapnya. Ia harus segera mandi. Sandi bukannya melepaskan, malah mendekapnya lebih erat lagi. “Bang, Cici mau mandi dulu. Nanti cici bisa-bisa ketinggalan salat maghrib.” Sicilia kembali berusaha melepaskan tubuhnya dari dekapan suaminya. Sandi pun melepaskan, “Ya sudah, nanti kembali lagi.” “Abang nggak ikutan salat? Kita salat bareng yuks ....” “Nanti saja,” jawab Sandi malas. Pria itu segera mengenakan celana bola pendek dan menarik selimut. Ia pun kembali terlelap. Sicilia hanya bisa mendengus kesal, menatap suaminya dengan perasaan kecewa. Semenjak Sandi lulus jadi ASN, suaminya itu memang mulai berubah. Kelakuan Sandi semakin aneh dan semakin jauh dari Tuhan. Tidak ingin merenung terlalu lama, Cici pun segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Wanita itu dengan cepat membersihkan dirinya, lalu mensucikan dirinya dengan air wudu. Sicilia melakukannya dengan sangat cepat, sebab waktu maghrib hampir saja habis. Setelah mengenakan mukenanya dengan baik, Cici pun mulai mengangkat tangannya. Ia pun menunaikan kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Baru saja Sicilia selesai mengucap salam, azan Isya pun berkumandang. Sicilia seketika bersujud syukur. Walau terkesan sangat lalai, namun Sicilia tetap bisa menyelesaikan kewajibannya dengan baik. Tanpa berlama-lama, ibu dari Reza itu pun seketika menunaikan salat Isya. Setelah menunaikan salat Isya, Cici keluar dari kamar dengan keadaaan murung. Yeni memerhatikan putrinya dengan saksama. Wanita paruh baya itu ikut bersedih. “Ada apa lagi, Nak?” tanya Yanti tatkala Cici sudah duduk dengan lunglai di kursi makan. Cici menggeleng, netranya kembali mengalirkan lahar dingin. “Ada masalah lagi dengan Sandi?” “Entahlah, Ma. Semakin hari bang Sandi semakin berubah. Dulu seblum ia jadi PNS, bang Sandi tidak pernah bersikap seperti ini. Bahkan bang Sandi nggak pernah lagi menunaikan kewajibannya sebagai hamba Tuhan.” Cici kembali tertunduk. Yanti juga menunduk sesaat, lalu bangkit dari duduknya. Ia menghampiri Cici dan membelai lembut bahu putri bungsunya itu, “Cici harus sabar ya ... Dalam rumah tangga, pertengkaran itu biasa. Cici tidak boleh membalas sikap Sandi dengan emosi juga. Ingat perjuangan kalian dulunya bagaimana.” Cici memegang tangan ibunya yang berada di bahunya. Ia menatap Yanti dengan netra berkaca-kaca, “Justru itu yang Cici sesali, Ma. Cici dan bang Sandi memulai rumah tangga kami dari Nol. Kami juga sudah menjalin hubungan dekat dari nol. Tapi kenapa sekarang bang Sandi tiba-tiba berubah?” Yanti duduk di kursi yang terdapat di sebelah Cici. Wanita paruh baya itu membelai lembut kepala putrinya, “Sabar, Sayang ... ini hanya sebuah ujian kecil untuk rumah tangga kamu dan Sandi. Masih belum apa-apa jika dibandingkan ujian rumah tangga mama dulu dengan mendiang papa kamu. Apa pun yang terjadi, Cici harus tetap sabar dan tunaikan kewajiban Cici sebaik mungkin sebagai istri, dan jangan lupa agar Cici terus mendoakan Sandi.” Sicilia mengangguk. Ia merasa sangat beruntung memiliki ibu yang sangat baik dan penyayang seperi ibunya. Cici pun memasukkan tubuhnya ke dalam dekapan ibunya. “Terima kasih, Ma. Cici sangat beruntung ada mama di sisi Cici. Cici nggak bisa bayangin, gimana kalau nggak ada ama di sisi Cici.” Wanita itu terisak seraya memeluk ibunya dengan sangat erat. “Seorang ibu itu akan selalu mendoakan dan melindungi anak-anaknya. Mama juga selalu mendoakan Santi, Zul dan Yori. Akan tetapi Santi dan Yori tidak pernah mau menyambut doa mama. Santi dan Yori begitu jauh dari Tuhan. Apalagi Santi, begitu susah mama nasehati. Ketika mama mengatakan hal yang sama seperti yang mama katakan tadi pada Cici, Santi malah membentak mama.” Yanti menangis. Air matanya mengenai pipi Sicilia. Sicilia menyeka air mata ibunya dan memeluk ibunya semakin erat lagi. “Cici bersumpah, Ma. Cici tidak akan membiarkan mama menangis. Cici tidak akan membiarkan mama pergi dari sisi Cici. Cici akan membahagiakan mama sampai Allah sendiri yang sudah memutuskan untuk memisahkan kita dengan maut.” Yanti mengangkat kepala putri bungsunya. Ia menangis seraya menatap wajah cantik Cici. Wanita paruh baya itu menciumi ke dua mata Cici seraya tersenyum. “Mama beruntung punya kamu, Nak. Andaikan mama bisa meminta, mama ingin pergi lebih dahulu. Sebab mama tidak tahu akan kemana jika Cici yang dipanggil lebih dahulu. Dari pada tinggal bersama Santi, lebih baik mama tinggal di panti jompo.” “Sstt ... mama tidak boleh bicara seperti itu. Cici tidak akan membiarkan hal itu terjadi.” “Ya sudah, sekarang bangunkan Sandi. Bukankah Sandi belum makan?” Cici mengangguk, “Iya, Ma.” Cici pun bangkit dari kursi makan. Ia mendengar suara ramai di teras rumahnya. Reza dan teman-temannya sedang berkumpul di sana. Anak-anak itu tengah asyik membuat layang-layang. Sementara Diva yang masih berusia delapan bulan, terlelap di depan layar televisi. Cici masuk ke dalam kamar. Ia melihat suaminya masih terlelap seraya memeluk guling. Cici mendekat dan mengguncang tubuh itu dengan pelan. “Sayang ... Sayang ... bangun, Bang. Makan malam sudah Cici siapkan,” ucap Cici dengan lembut. Wanita itu menyugar rambut suaminya dengan sayang. “Hhmm ....” Hanya suara gumamam yang keluar dari bibir Sandi. “Bang ... makan malam dulu. Nanti Cici ngantuk lho dan nggak bisa lagi temani abang makan malam.” Sicilia terus mencoba membangunkan suaminya itu. “Nanti saja, abang masih ngantuk.” “Jangan marah kalau nanti Cici nggak bisa temani abang.” “Iya, nggak apa-apa.” Sandi menarik selimutnya lebih tinggi. Cici pun kembali turun dari ranjangnya dengan perasaan kecewa. Ia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar itu dengan pelan. Dengan langkah gontai, Cici pun kembali ke ruang makan. Yanti sudah menunggu di sana. “Kenapa, Nak?” “Bang Sandi nggak mau dibangunin, Ma.” “Ya sudah, biarkan saja. Sekarang kita makan dulu. Cici nggak boleh bersedih lagi. Bukankah Cici sedang menyusui? Kalau Cici sedih, akan berpengaruh pada kualitas ASI Cici.” “Iya, Ma. Kalau begitu kita makan bedua saja. Reza sendiri bagaimana?” “Reza sudah makan duluan tadi.” “Owh ... ya sudah, sini piring mama, biar Cici ambilkan nasinya.” Yanti tersenyum. - - - Malam kian larut, waktu sudah menunjukkan lewat pukul sepuluh malam. Sicilia sudah terlelap di kamarnya bersama Diva. Ketika ia terlelap, Sandi masih terlelap di sana. Reza juga sudah terlelap di dalam kamarnya, begitu juga dengan Yanti, juga sudah tertidur di kamarnya. Sandi tiba-tiba terjaga. Ia melihat Cici dan yang lainnya juga ikut terlelap. Sejenak, sandi menatap wajah Cici yang sangat kelelahan. Bahkan gunung kembar wanita itu, masih terbuka begitu saja sebab baru selesai menyusui Diva. Perlahan, Sandi menatap wajah cantik itu dengan sayang. Ia menyesal sudah menyakiti istrinya sore tadi. Sandi membelai rambut Cici dan memperbaiki baju istrinya hingga gunung kembar itu tersembunyi lagi di balik baju. Ketika rasa penyesalan itu mendera, tiba-tiba Sandi merasakan ada sekelibat cahaya aneh yang melewatinya. Hanya sepersekian detik, kemudian Sandi kembali merasa ada yang aneh di tubuhnya. Rasa sayang dan cinta yang baru saja terasa, tiba-tiba menghilang. Sandi pun keluar dari kamar. Rumah itu sudah sepi karena semua penghuninya sudah terlelap. Perut Sandi tiba-tiba keroncongan, ia tiba-tiba ingin makan mi instan. Sandi membuka lemari penyimpanan dan ternyata ada stok mi instan di sana sebanyak tiga buah. Pria itu pun kembali ke dalam kamar dan mencoba membangunkan Cici. “Cici ... Cici ... bangun!” “Hhmm ... ada apa, Bang? Abang lapar ya? Cici sudah siapkan makanan untuk abang. Lihat saja di dalam lemari rak piring dalam sekat lauk-pauk.” “Abang mau makan mi instan, tolong buatkan.” Cici tidak menjawab. Wanita itu benar-benar kelelahan hingga matanya kembali terpejam sempurna. Sandi mendengus kesal. Ia pun kembali keluar dari kamar dan menyiapkan sendiri bahan-bahan untuk memasak mi instan. Baru saja Sandi mulai menghidupkan kompor, ponselnya tiba-tba berdering. Ada sebuah pesan dari seorang wanita. Seorang janda yang sudah membuat Sandi kehilangan akal sehat. Sandi pun membuka pesan yang ada di ponselnya. Awalnya Sandi biasa saja ketika membaca pesan itu. Malam, Bang Sandi. Sudah tidur ya ... Begitulah bunyi pesan yang masuk ke ponsel Sandi. Sandi mengabaikan. Namun tiba-tiba, Sandi kembali merasa tubuhnya memanas. Hanya sesaat lalu rasa panas itu hilang dan suhu tubuhnya kembali normal. Namun anehnya, Sandi menjadi tertarik membalas pesan itu. Sandi meletakkan kembali daun bawang yang hendak ia cincang. Pria itu meraih ponselnya dan mulai menghubungi wanita yang ada di balik pesan singkat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Panggilan vidio seketika terangkat. Seorang wanita yang kalau dibandingkan dengan Sicilia, tentu jauh lebih cantik dan menarik Sicilia. Namun karena mata sandi sudah dibutakan oleh hal gaib, pria itu seakan melihat bidadari yang kini tampil di layar ponselnya. Janda dua puluh tiga tahun dengan tubuh montok berisi dan pakaian seksi, menyapa Sandi dari balik panggilan vidio. “Sedang apa, Bang?” ucapnya manja. Sandi sengaja menggunakan bloetooth handsfree agar suara yang keluar dari ponselnya tidak terdengar oleh siapa pun. “Abang sedang masak. Malam-malam laper,” jawab Sandi seraya memperlihatkan aktifitasnya memotong daun bawang. “Memangnya istri abang kemana?” “Tidur!” “Hahaha ... malang sekali nasib abang. Coba kalau nikah sama aku, aku tidak akan membiarkan tangan itu menyentuh bahan dapur sedikit pun. Mau aku yang buatin?” Sang wanita berkata manja. Netra Sandi melotot tajam menatap bongkahan kenyal yang sengaja di pamerkan oleh wanita yang ada di layar ponselnya. “Boleh ...,” jawab Sandi seraya mengacungkan daun bawang ke layar ponsel. “Sayangnya aku tinggal di rumah mama. Coba kalau aku ngontrak sendiri, aku pasti sudah menyuruh abang datang ke sini. Aku buatkan mi rebus spesial. Mi rebus pllus-plus pakai resep cinta.” “Ahhh ... andai saja,” gumam Sandi. Di otaknya mulai menari-nari fantasi liar yang aneh. “Bang ....” Tiba-tiba wanita yang ada di balik layar merubah rona wajahnya. Wanita yang awalnya bersikap manja, tiba-tiba membelalak’kan mata. “Ada apa?” tanya sandi. Sang wanita tidak menjawab. Ia terus saja melototkan matanya tanpa bergerak. Seakan wanita itu melihat sesuatu di dekat Sandi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN