Senja sudah hampir menghilang, sementara Sandi tak jua kunjung pulang. Pias-pias jingga itu mulai berubah menjadi awan kelam. Satu demi satu, suara toa masjid mulai terdengar menggema melantunkan kumandang azan, menyeru setiap hamba untuk menghentikan kegiatannya sejenak demi bersujud kepada Rabb-nya. Mengkerdilkan diri serta menengadah mengharap segala kebaikan hanya kepada sang pencipta. Yeni yang baru keluar dari kamar mandi dengan wajah dan tangan yang basah sehabis berwudu, melihat kegelisahan di mata putri bungsunya. Berkali-kali Cici melirik ke luar pintu, berharap suami tercinta kembali, namun Sandi masih juga belum datang. “Ada apa, Ci?” “Bang Sandi belum pulang juga, Ma.” Kening Cici mulai mengkerut sementara ia meremas-remas ke dua telapak tangannya. “Sudah coba telepon?”