Berkali-kali Cici menatap dinding rumahnya, menatap jam dinding yang umurnya jauh lebih tua dari umur Cici. Jam dinding dengan kayu jati asli yang diukir sedemikian rupa sehingga terkesan antik. Jam dinding itu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. “Belum bisa dihubungi juga?” tanya Yeni menghampiri putrinya. “Males, Ma. Tadi pesan Cici sudah centang dua, namun masih belum dibaca sama bang Sandi.” “Maksudnya?” “Maksudnya, pesan Cici itu sudah masuk. Tapi bang Sandi masih belum membacanya.” “Sabar, Nak. Mungkin saja Sandi masih sibuk dengan pekerjaannya.” Cici mengangkat ke dua bahunya. Ia tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Sementara perasaanya semakin tidak nyaman. Tidak lama, Cici melihat sebuah cahaya masuk ke pekarangan rumahnya. “Ma, sepertinya itu mobil bang Sandi.”