“Nona Bel, apa kita kembali ke perusahaan?”
Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Max di sela kegiatan menyetir mobil. Lelaki itu menatap ke arah seorang wanita yang terlihat menyandarkan tubuh santai.
“Jangan, aku ingin makan siang di restoran,” jawab Bel menggeleng pelan. “Kita ke sana dulu!”
Max mengangguk singkat, kemudian lelaki itu mulai menancapkan gas mobil menuju restoran langganan Bel ketika hendak mengisi nutrisi di dalam tubuh.
Tak lama kemudian, Bel pun sampai di restoran membuat wanita itu beranjak keluar dari mobil dengan diikuti Max. Mereka berdua tampak melenggang masuk dengan disambut oleh seorang pelayan yang langsung mengantarkan Bel menuju salah satu ruangan privat kosong.
“Nona Bel, apa yang ingin kamu makan?” tanya Max memberikan daftar buku menu pada bosnya.
“Nasi goreng seafood sama frappuccino satu,” jawab Bel singkat.
Mendengar hal tersebut, Max menoleh ke arah pelayan yang mulai mencatat pesanan. Wanita cantik yang sudah mengetahui bahwa Bel bukanlah pengunjung, melainkan pemilik restoran sengaja datang untuk makan siang.
“Dengan tambahan air mineral satu gelas,” tukas Max mengangguk singkat.
Akhirnya, pelayan tersebut pun melenggang pergi. Meninggalkan Bel dan Max yang terlihat membuka gordyn ruangan membuat suasana panas dari luar mendesak masuk tanpa permisi.
Untung saja Bel tidak merasa terusik dengan semua tindakan Max membuat lelaki itu melanjutkan kembali kegiatannya membuka ruangan sekaligus menyemprotkan pembersih di atas meja.
“Santai saja, Max. Tidak ada kuman di sini,” celetuk Bel sembari menghela napas panjang menyadari pengawal pribadinya benar-benar cinta kebersihan, sampai siap sedia dalam segala kondisi yang terjadi.
“Entahlah, Nona Bel. Aku hanya melakukan sesuatu yang perlu dilakukan,” balas Max meringis pelan menyudahi kegiatannya.
Sedangkan Bel yang melihat pengawal pribadinya OCD hanya menghela napas berat. Memang kebiasaan cinta kebersihan itu cukup menyulitkan diri sendiri, terlebih sikap Max berlebihan terhadap sesuatu membuat Bel merasa sedikit prihatin.
“Max, bagaimana dengan pengobatanmu?” tanya Bel menaruh ponselnya di atas meja. Ia mulai menatap penuh pada seorang lelaki yang mengidap OCD selama beberapa waktu belakangan terakhir. Sejak Max baru saja kembali dari Italia bersama Tuan Adsila, ayah kandung Bel.
“Dokter mengatakan harus lebih sering berinteraksi dan mencoba hal-hal baru untuk menjadi kebiasaan,” jawab Max menggeleng pelan. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku baik-baik saja.”
Ketika hendak kembali berbincang, sayangnya pesanan milik Bel pun sampai. Kereta makanan itu tampak berhenti tepat di samping meja, kemudian mulai menaruh satu per satu piring di atas meja yang cukup besar.
“Silakan dinikmati!” ucap pelayan tersebut membungkuk hormat.
Hal tersebut membuat Max mengangguk singkat, lain hal dengan Bel yang mulai mengambil alat makan, berupa garpu dengan satu pisau makan kecil.
Selama menikmati makan siang, Bel dan Max tampak saling terdiam satu sama lain. Keduanya memang terlihat asyik makan siang bersama. Sebab, Max sudah menjaga Bel sejak wanita itu baru saja lulus dari sekolah menengah. Sehingga tidak dapat dipungkiri sebagian waktu mereka berdua dihabiskan secara bersama-sama.
Memang tidak ada kecanggungan apa pun lagi terhadap sikap Max maupun Bel yang terkadang membingungkan. Terlebih mereka berdua benar-benar layaknya kakak beradik, bukan menjadi rekan kerja lagi.
“Oh ya, Max, apa yang dikatakan ayahku?” tanya Bel menyadari sang ayah memang belum meminta dirinya bertemu sama sekali, membuat wanita itu sedikit penasaran.
“Tidak ada,” jawab Max menggeleng pelan. “Tuan Adsila hanya menyuruh kita mempercepat pengiriman barang, karena sudah melonjak tinggi dengan pemesanan di luar kapasitas gudang. Jadi, kemungkinan besar, besok perusahaan akan mengeluarkan sisa produksi untuk pengiriman besar-besaran.”
Tak dapat dipungkiri Bel yang mendengar sang ayah kembali ikut campur dalam bisnis dirinya membuat wanita itu menghela napas panjang. Entah kenapa apa Bel merasa bahwa sang ayah benar-benar meragukan semua pekerjaannya.
“Katakan pada ayahku nanti, jangan mengurus perusahaan lagi. Biar aku saja yang memikirkan masalah pengiriman. Karena kita sudah memilih untuk berbeda pemikiran, sehingga Tuan Adsila harus mengerti bahwa tujuan kita jelas berbeda ketika berusaha disatukan kembali.”
Mendengar hal tersebut, Max langsung mengangguk patuh. Terkadang pemikiran Bel yang terlalu menyeluruh membuat lelaki itu merasa sedikit tidak percaya. Apalagi usia wanita itu masih cukup muda untuk meneruskan bisnis sang ayah yang begitu besar.
Selesai makan siang, akhirnya Bel dan Max memutuskan untuk keluar dari restoran tersebut. Keduanya tampak melenggang santai mengarah pada mobil yang terparkir tepat di depan gedung restoran. Sesaat mereka berdua berpapasan dengan Yuni yang terlihat memasuki restoran tanpa mengalihkan perhatiannya yang menatap lurus.
Bel menghentikan langkah kakinya sesaat, kemudian wanita itu kembali melanjutkan langkah dengan memberikan kesan membingungkan pada Max yang berdiri tepat di belakang wanita tersebut.
“Selamat datang, Nona! Ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang pelayan menunduk sopan ke arah Yuni.
“Saya ingin memesan makanan, tapi take away,” balas Yuni mengangguk singkat. “Nasi goreng seafood empat, sup krim 2, dan dua sandwich extra cheese.”
“Ada tambahan lagi?” tanya pelayan tersebut.
“Tidak ada. Itu saja,” jawab Yuni.
Setelah selesai menyebutkan pesanan, Yuni pun diperintahkan untuk menunggu membuat gadis itu mendudukkan diri di kursi tepat memunggungi jendela yang mengarah keluar. Memperlihatkan jalan raya yang begitu sibuk dan padat.
“Nona, kami minta maaf. Nasi goreng seafood sudah habis, apakah Nona bersedia menunggu lebih lama? Karena kami perlu memerlukan waktu untuk memasak seafood agar matang dengan sempurna.
Yuni terdiam sesaat, kemudian menghela napas sedikit kecewa. “Baiklah. Saya akan menunggu lebih lama di sini.”
Selesai mendapatkan persetujuan, pelayan itu pun melenggang pergi dengan rasa penyesalan tinggi. Sebab, tidak ada yang menyangka bahwa pesanan nasi goreng seafood biasanya sepi pembeli, kali ini benar benar laku keras. Bahkan stok terakhir sudah diberikan pada Bel.
Sementara itu, Bel yang berkendara dengan disupiri oleh Max tampak menyandarkan tubuh santai. Wanita cantik itu jarang sekali berbincang, terlebih ketika pikirannya sedang diselimuti oleh sesuatu.
“Nona Bel, kita akan ke mana sekarang?” tanya Max disela kegiatannya.
“Kembali ke perusahaan. Aku harus mengatur banyak jadwal pengiriman sebelum my dad berisik,” jawab Bel menghela napas berat. “Jangan lupa cari tahu apa yang terjadi dengan Jonathan. Dia benar-benar membuatku harus bekerja lebih keras akibat kebodohannya.”
“Bukankah Jonathan masuk ke rumah sakit? Aku dengar dia baru saja bertarung dengan kakak pertama dari Jenny. Petugas polisi yang menangani masalah kasus panti asuhan dua puluh tahun lalu,” ungkap Max mengernyit bingung menyadari sang bos tidak mengetahui kabar yang telah beredar luas.
“Apa maksudmu?” tanya Bel terdengar bingung sekaligus terkejut.
***
“Bang, gue berangkat ngantor dulu!”
Suara pamitan dari Jenny membuat Debian dan Fajrian yang tengah sarapan pun menoleh secara bersamaan. Kedua lelaki itu memang terbangun lebih akhir dibandingkan biasanya, sebab Fajrian baru saja selesai menggantikan perban untuk kakak pertamanya sekaligus memeriksa luka jahitan yang semakin lama mengering dengan sempurna.
“Nanti mau gue jemput, Jen!?” tanya Fajrian setengah berteriak menyadari sang adik telah melenggang keluar.
“Enggak usah,” jawab Jenny tidak kalah keras. “Gue balik sama Yuni atau ketua tim gue nanti!”
Setelah itu, Jenny pun membuka pintu pagar khusus sehingga dirinya tidak perlu mendorong ataupun menyalakan sensor otomatis agar terbuka dengan sendirinya. Ia tersenyum lebar mendapati Yuni tengah berada di depan gerbang. Gadis itu bersandar di sisi pintu mobil sambil memainkan ponselnya santai.
“Lo udah lama di sini?” tanya Jenny melangkah mendekat.
“Belum, gue baru beberapa menit dan mau nelepon lo,” jawab Yuni menggeleng pelan, lalu memandangi tubuh sahabatnya dengan menelisik. “Lo yakin udah oke, ‘kan?”
“Tenang aja, gue udah sembuh total!” Jenny mengangguk mantap sembari mengangkat kepalanya dengan menyipit pongah. “Semalam Bang Faj juga udah ngobatin gue sekaligus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dan gue juga dinyatain sembuh total. Jadi, mau enggak mau gue harus bekerja, bukan?”
“Lo kerja atau enggak kerja juga tetep bisa shopping, Jen,” gumam Yuni menggeleng pelan menyadari sahabatnya begitu mengagumkan sampai bekerja keras di tengah kesuksesan kedua kakaknya. “Oh ya, kita mau nyamperin Jonathan. Orang yang nyerang Bang Bian. Lo yakin enggak apa-apa, ‘kan?”
Jenny mengangguk meyakinkan. “Selagi Bang Bian enggak tahu kerjaan hari ini, maka gue bakalan baik-baik aja, Yuni. Jadi, lo jangan sampai bilang sama Bang Faj.”
Yuni menggeleng tidak percaya. “Ya udah, masuk!”
Setelah itu, Jenny pun mendudukkan diri tepat di samping jok kemudi yang diisi oleh Yuni. Kedua gadis cantik yang selama ini bersahabat tanpa disangka mulai menggeluti bidang pekerjaan yang sama, meskipun pernah beberapa kali dihadapi situasi kurang menguntungkan. Terlebih pekerjaan lama Yuni benar-benar dijaga penuh tentang kerahasiaannya, sehingga bukan sembarangan orang yang bisa menyelidiki gadis itu.
Selama beberapa saat berkendara, akhirnya Jenny dan Yuni pun sampai di gedung Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Kedua gadis itu menatap ke arah Ayres yang terlihat menunggu kedatangan tepat di depan pintu masuk.
Sejak insiden Debian dan ketiga polisi melakukan hakim sendiri dengan memukuli semua orang di tempat, Jonathan langsung ditangkap berkat tuduhan kuat mengarah pada lelaki tersebut. Membuat Alister, Akhtar, dan Ayres bekerja sama dengan polisi dalam setiap penanganannya agar tetap sesuai dengan hukum yang berlaku, tanpa meringankan dalam bentuk apa pun.
“Gimana situasi di dalam?” tanya Yuni tepat menghadap ke arah Ayres yang menegakkan tubuh.
“Jonathan masih ada di rumah sakit, yang ada di sini cuma bawahannya aja,” jawab lelaki itu mengembuskan napas panjang. “Di dalam Alister sama Akhtar lagi nanya masalah dashcam lo, Jen. Katanya semua bukti yang ada di sana belum valid karena posisi Jenny pas tabrakan agak menyamping. Tapi, polisi lagi minta surat perintah buat nyelidikin black box punya lo sama suruhan Jonathan. Ada kemungkinan kalau lo enggak bersalah di sini, Jen.”
Mendengar kasus kecelakaannya yang semakin rumit, Jenny menghela napas berat. Gadis itu tidak mempercayai bahwa kasus miliknya tidak kunjung selesai, padahal tidak ada satu orang pun yang datang hanya untuk meminta keterangan lebih lanjut.
“Mengapa semuanya rumit?” tanya Yuni mendadak penasaran, terlebih kasusnya belum selesai sampai Jenny telah keluar dari rumah sakit. Bahkan Jonathan pun sudah ditahan oleh kepolisian untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
“Kasus kecelakaan lalu lintas memang sedikit lebih rumit,” jawab Ayres mengangguk singkat. “Akan ada banyak prosedur yang dilakukan, terlebih mengalami korban. Karena di sini hanya Jenny yang selamat, jadi banyak kecurigaan muncul.”
Jenny tersenyum kecut, lalu bergumam, “Berarti gue juga harus ikutan mati di tempat, ya? Biar enggak ada kecurigaan muncul.”
“Lo mati di tempat, Jen?” Yuni menghela napas singkat. “Gue pasti bakalan ngelihat kalau polisi bukan bandingan Bang Bian lagi. Karena semua masalah bakalan langsung selesai, hanya dua kakak lelaki lo turun tangan seperti sekarang.”
Ayres menyadari sesuatu, lalu berkata, “Benar juga, Jen! Abang lo yang kedua itu masih ada di Indonesia?”
“Bang Fajrian? Masih di Indonesia, gue juga belum nanya lagi.” Jenny menghela napas panjang. “Mungkin bakalan gue tanyain pas udah selesai kasus ini. Karena gue sendiri juga enggak yakin kalau dia juga sebenernya bakalan di sini lama. Bang Faj itu sering ke luar negeri berkat tuntutan pekerjaan.”
“Jadi, sekarang kita harus ke mana?” tanya Yuni mengalihkan pembicaraan.
Ayres menggeleng singkat, lalu menjawab, “Seharusnya sekarang kita ke markas lagi buat laporan sama Pak Listanto sekaligus minta izin buat ke rumah sakit. Nanti bukan sembarangan orang yang bisa datang ke sana, jadi harus ada perizinan dulu.”
“Memangnya ketua tim masih lama di dalam?” tanya Jenny menunjuk ke arah gedung kantor Lapas Cipinang yang dijaga oleh dua petugas polisi berpakaian hitam khas Brimob. Bahkan salah satu dari mereka mengenal Ayres.
“Entahlah, gue langsung keluar pas dapat pesan dari Yuni kalau udah sampai,” jawab Ayres menggeleng singkat. “Kalian berdua mau keliling gedung dulu? Gue udah lama banget enggak datang ke sini lagi semenjak pindah kerjaan.”
Mendengar hal tersebut, Yuni langsung mengangguk cepat. Bisa dikatakan memang gadis itu yang paling bersemangat di antara Jenny, sebab pekerjaan yang terlalu rahasia membuat Yuni sedikit lebih norak dibandingkan sahabatnya.
“Ayo, ikutin gue sekarang! Lapas Cipinang bisa dibilang sel penjara yang khususnya kejahatan kelas atas. Bisa dibilang setiap provinsi ataupun daerah itu punya lapas masing-masing, termasuk Jakarta,” ungkap Ayres dengan segala pengetahuannya.
Mungkin Yuni tampak bersemangat mendengarkan penjelasan tersebut, lain halnya dengan Jenny yang merasa bosan dan memilih untuk menatap ke arah lain. Ia mengabaikan penuturan Ayres memberikan penjelasan pada Yuni dengan begitu sabar dan terkesan seperti memberikan pengetahuan lebih lanjut.
Tanpa disadari Jenny mulai memikirkan kejadian kecelakaan dengan menerka-nerka kesalahannya sampai kasus berlanjut hingga dirinya sadar. Membuat media semakin ramai membicarakan masalah kasus miliknya yang tidak kunjung selesai.
Terlebih setiap headline berita yang terpampang diberbagai media selalu mengatakan tentang identitasnya sebagai polisi. Seakan mereka begitu memusuhi polisi yang belum tentu melakukan kesalahan. Apalagi Jenny yang selama ini dikenal sebagai detektif andal dengan reputasinya membantu banyak orang tanpa melakukan kesalahan apa pun.
Semua memang mendadak seperti dimainkan oleh seseorang. Sampai posisi Jenny sebagai seorang polisi mulai dipermainkan, membuat tidak ada netizen mana pun mempercayai semua pengakuan gadis itu memang benar adanya.
0o0