Selama beberapa hari memulihkan tenaga, akhirnya Jenny pun keluar dari rumah sakit. Gadis itu ditemani oleh kedua kakaknya yang merelakan waktu terbuang hanya untuk menjemput Jenny secara langsung.
Ketiga orang kakak beradik itu tampak memasuki mobil mewah milik Debian yang terparkir tepat di depan rumah sakit. Membuat Mike membantu membawakan beberapa perlengkapan pakaian milik Jenny yang berada di dalam tas. Kemudian, mengangkatnya dan membawa menuju bagasi mobil belakang.
Sejenak Tim Investigasi Khusus yang beranggotakan Alister, Akhtar, dan Ayres. Ditambah satu perempuan bernama Yuni yang masih sanggup untuk melanjutkan penyelidikan. Mereka berempat sepakat untuk mendatangi pulau tersebut kembali.
Entah kenapa memang dibalik kecelakaan yang terjadi ada sesuatu kejanggalan dirasakan menjadi sedikit menarik perhatian. Terlebih apa yang dikatakan Jenny kemarin memang saling berkaitan satu sama lain.
“Bang, gue mau ke kantor polisi Delvin dulu boleh?” tanya Jenny pada kakak pertamanya yang duduk di depan, tepat di samping jok kemudi.
“Mau ngapain ke sana dulu, Jen? Lo seharusnya balik.” Debian terdengar tidak setuju dengan permintaan adiknya benar-benar berisiko, terlebih gadis itu baru saja keluar dari rumah sakit.
“Sebentar aja, Bang. Gue mau ngomong sesuatu sama Delvin.”
Akhirnya tidak sanggup menghadapi rayuan Jenny yang terus-menerus meminta untuk diperbolehkan menemui sahabatnya pun membuat Debian memilih mengiakan permintaan sang adik. Terlebih kasus kecelakaan gadis itu memang masih tanda tanya besar bagi siapa pun.
Tepat sampai depan gedung polres metro jaya, tempat keberadaan Delvin yang kini tengah mengambil dashcam milik gadis itu sendiri. Jenny pun beranjak turun dari mobil ditemani oleh kakak keduanya, Fajrian.
Mereka berdua melenggang masuk menatap ke arah beberapa petugas polisi yang terlihat sibuk. Sampai salah satu petugas tersebut menyadari kedatangan Jenny pun langsung mendekat.
“Petugas Jenny, Anda sudah sembuh?” tanya petugas polisi lelaki tersebut dengan menatap lega.
“Iya, sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya,” jawab Jenny mengangguk singkat. “Di mana Delvin?”
“Petugas Delvin sedang dinas ke luar kota. Apa Anda tidak mengetahuinya?” Polisi lelaki itu tampak mengernyitkan keningnya bingung.
“Luar kota? Sejak kapan? Bukankah dia memiliki kasus di sini?” tanya Jenny bertubi-tubi. Ia mengernyit bingung sekaligus tidak percaya bahwa sahabatnya ternyata pergi dinas ke luar kota tanpa berpamitan sama sekali.
“Sudah empat hari yang lalu, Pak Delvin pergi.”
Merasa sia-sia datang tanpa menemukan sahabatnya, Jenny pun memilih untuk pergi. Gadis itu tampak tidak percaya sekaligus menyadari kepergian Delvin kemungkinan sudah direncanakan oleh seseorang. Sehingga lelaki itu tidak bisa menemukan pelaku untuk memberikan penjelasan alibi dibalik kecelakaan yang menimpa Jenny.
“Jen, lo percaya gitu aja Delvin ke luar kota?” celetuk Fajrian menaikkan alis kanannya penasaran.
Jenny menggeleng pelan, lalu menjawab, “Semuanya terlalu mudah ditebak, Bang. Kepergian Delvin memang ada sangkut pautnya dengan kasus kecelakaan gue. Kemungkinan besar memang Delvin mengetahui kebenarannya sampai dimutashi secara khusus.”
“Lantas, apa yang harus dilakukan sekarang?” tanya Fajrian penasaran.
“Tenang aja. Gue udah dapat laporan dari Yuni kalau dashcam diamankan dengan baik oleh Bareskrim, jadi gue cuma perlu ngambil ke sana buat laporan sekaligus pernyataan bahwa gue enggak bersalah,” jawab Jenny tersenyum penuh kelegaan menyadari bahwa dirinya memang tidak akan pernah disalahgunakan oleh orang lain, sebab banyak orang hebat berdiri di belakangnya siap untuk menyingkirkan orang-orang tersebut.
Sementara itu di sisi lain, terlihat sebuah ruangan serba gelap tampak begitu mencekam. Tidak ada yang bisa menebak suasana di tempat itu sebenarnya, karena hanya diterangi oleh beberapa lampu temaram berwarna kuning. Memberikan kesan intimidasi sekaligus penuh kecurigaan.
“Bos, laporan dari Delvin!” ucap seorang pengawal memperlihatkan ponsel yang memiliki pesan masuk dari Delvin.
Seseorang yang duduk di balik kursi kebesaran itu pun berbalik dengan menyungging senyuman miring, kemudian mengambil benda tersebut dan mulai membaca sekilas. Ia tidak perlu melihat dengan begitu seksama, sebab Delvin bukanlah orang sembarangan.
“Di mana Jenny sekarang?” tanya wanita itu menggerakkan bibir dengan lipstick merah merona beberapa kali.
“Sedang dalam perjalanan pulang bersama kedua kakaknya,” jawab pengawal tersebut lagi.
“Antarkan saya ke sana!” titah wanita itu bangkir dari tempat duduknya. Ia melenggang dengan santai keluar dari ruangan pribadinya.
Wanita bergaun seksi nan ketat itu bernama Belvyah Visolela Adsila. Seorang mafia perempuan yang selama ini menjadi incaran para polisi. Tidak mudah menangkap wanita tersebut, sebab pengalamannya di dunia mafia tidaklah sebentar. Membuat para polisi yang bekerja sama dengan wanita itu benar-benar mendapatkan kejayaan luar biasa.
Sejenak Bel menaiki mobil mewahnya yang disupiri langsung oleh orang kepercayaan sang ayah. Tatapan wanita itu terlihat datar nan tajam menatap lurus ke arah spion tengah yang memantulkan bayangan supir pribadinya tampak serius memperhatikan beberapa pengawal tengah mempersiapkan diri untuk mengantar Bel secara beriringan.
“Max, apa yang dilakukan Delvin sekarang?” celetuk Bel terdengar memecahkan keheningan.
Sejenak Max membuka ponselnya yang memperlihatkan tanda merah milik Delvin tengah berada di restoran cukup terkenal bersama seseorang.
“Masih berada di restoran, Nona Bel,” balas Max dengan merendahkan suaranya sopan.
“Saya ingin melihat keberadaan Jenny dulu,” titah Bel mengembuskan napas panjang. Menandakan wanita itu sudah tidak lagi sabar menunggu para pengawalnya selesai.
“Baik, Nona Bel. Kita berangkat sekarang!” tukas Max mulai menyalakan mesin mobil milik Bel, kemudian bergerak secara perlahan keluar dari garasi bawah tanah milik wanita tersebut.
Sebuah rumah mewah bergaya eropa itu tampak dipenuhi oleh para pengawal. Tidak sedikit dari mereka membungkuk sopan menyapa Bel yang baru saja keluar rumah selama seminggu terakhir kedatangan wanita itu dari Swiss.
Mobil mewah berwarna hitam yang dikemudikan Max mulai membelah jalanan ibukota terlihat padat, tetapi tidak cukup ramai untuk macet seperti biasanya. Sebab, kebanyakan dari mereka memang pekerja, sehingga ada beberapa titik kemacetan pada jam-jam tertentu.
Tak lama kemudian, mobil yang ditumpangi Bel pun sampai di depan rumah milik seseorang. Wanita itu memperhatikan dari dalam mobil tepat memperlihatkan seorang lelaki tengah membuka pagar untuk membuang sampah agar dapat diangkut oleh petugas dengan mudah.
“Nona Bel, apa kamu tidak ingin ke sana dulu?” tanya Max memecahkan keheningan.
“Aku tidak bisa,” jawab Bel tersenyum kecut. “Aku harus memilih antara cinta dan balas dendam.”
“Bukankah Tuan Adsila juga tidak tahu?” Max berusaha meyakinkan anak dari bosnya untuk tidak lagi memaksakan diri. Siapa pun pasti akan merasa iba melihat Bel yang berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa akan ada jalan lain untuk hubungan mereka berdua.
“Max, jangan berpikir bodoh!” Bel tampak menatap berapi-api ke arah seorang lelaki yang selama ini menemaninya sejak pertama kali mengikuti sang ayah bertemu beberapa kolega bisnis.
Sontak perkataan penuh kecaman itu pun membuat Max kembali terdiam. Lelaki itu memilih untuk tidak berkata sama sekali, meski perasaannya sedikit terluka menyaksikan Bel terus-menerus menipu dirinya sendiri untuk tidak lagi memedulikan Debian.
Memang mereka berdua memiliki kisah yang cukup rumit, sehingga tidak ada kata perpisahan di antara keduanya. Meskipun semua berlalu dengan begitu cepat, seakan memang tidak terjadi apa pun.
“Kembali ke markas!” titah Bel menyadari seorang lelaki yang sejak tadi diperhatikan mulai menatap ke arahnya. Jelas Bel tidak sanggup melihat Debian untuk kesekian kalinya dari kejauhan.
Mendengar hal tersebut, Max menghela napas kasar. Tidak dapat dipungkiri lelaki itu menuruti perkataan Bel dan mulai menjalankan mobil.
Sedangkan Debian yang menyadari mobil asing berhenti sesaat tepat di seberang jalan pun mengernyit bingung, tetapi lelaki itu mengangkat bahunya acuh tak acuh, kemudian kembali melenggang masuk menghampiri Jenny yang terlihat sedang bercengkrama dengan Fajrian.
“Bang, jadi lo udah mulai suka sama Yuni?” celetuk Jenny dengan nada sedikit menggoda.
“Hah? Enggak kata siapa?” elak Fajrian menggeleng beberapa kali, tetapi tidak dengan telinganya yang terlihat memerah menahan malu.
“Serius, Bang!” Jenny menatap penuh. “Kalau lo suka, Yuni bakalan peka kok.”
“Bukannya dia suka sama Bang Bian?” tanya Fajrian bingung.
Jenny menggeleng dengan senyuman geli, lalu menjawab, “Sebenarnya kalau sama Bang Bian selama ini cuma candaan aja. Tapi, sebenarnya Yuni itu udah suka sama lo dari lama, Bang. Sayangnya aja lo sering bepergian ke luar negeri dan jarang balik, jadi perasaan Yuni jelas digantungin tanpa kepastian.”
“Lo ‘kan tahu gue ke sana juga ada keperluan,” ungkap Fajrian menghela napas kecewa.
Perbincangan yang menarik perhatian itu pun membuat Debian ikut mendudukkan diri di gazebo taman belakang. Lelaki itu mengambil salah satu buah jeruk yang telah dikupas oleh Jenny. Kemudian, memakannya dengan cepat tanpa diketahui sang pemilik.
Membuat Jenny tampak seperti orang bodoh melihat buah jeruk kupasannya mendadak hilang satu per satu, lain halnya dengan Fajrian yang membiarkan keusilan sang kakaknya menjadi hiburan tersendiri melihat eksprei bingung sang adik.
“Gue rasa apa yang dibilang Jenny itu benar, Faj,” timpal Debian mengangguk penuh. “Belakangan ini memang Yuni kelihatan acuh sama lo, tapi sebenarnya lo tahu sendiri ‘kan perasaan dia seperti apa. Sekarang lo harus ngasih kepastian tentang hubungan kalian berdua, jangan sampai Yuni diembat orang baru lo nyesel.”
“Memangnya siapa lagi yang suka sama Yuni?” tanya Fajrian penasaran, sebab Yuni memang sangat menggemaskan tingkahnya. Sehingga tidak menutup kemungkinan gadis itu memiliki daya tarik yang memikat.
“Kalau gue lihat ... rekan kerja Jenny yang namanya Akhtar itu agak beda pas natap Yuni. Ada pandangan memuja sekali binar cinta,” jawab Debian lagi.
“Hah? Yang benar lo, Bang?” Jenny yang mendengar perkataan itu pun mendadak tidak percaya. Terlebih apa yang dikatakan Debian sedikit mustahil.
“Kalau lo enggak percaya, coba aja tanya sendiri. Pasti apa yang gue bilang sekarang itu benar adanya,” balas Debian mengangkat acuh tak acuh.
Jenny memiringkan kepalnya bingung, lalu mengangguk pelan. “Mungkin apa yang lo bilang memang benar, Bang. Gue juga pernah mergokin Akhtar lagi ngejar Yuni buat balik bareng. Sayangnya Yuni selalu bawa mobil ke kantor, jadi mereka berdua berpisah di parkiran. Walaupun enggak bawa, pasti Yuni udah lebih dulu sama gue. Kemungkinan apa yang dibilang Bang Bian juga masuk akal. Kapan lo bakalan ngeresmiin hubungan, Bang? Jangan sampai ditikung dulu baru ngerti!”
Mendengar hal tersebut, tidak dapat dipungkiri membuat Fajrian sedikit cemas. Entah kenapa perkataan Jenny cukup masuk akal. Terlebih gadis itu jarang sekali menipu dirinya, lain hal dengan perkataan Debian yang wajib diragukan. Karena lelaki itu sangat menyebalkan ketika melemparkan humor garing.
“Gue harus gimana?” tanya Fajrian bingung menyadari dirinya tidak pernah memiliki persiapa pun dalam mendekati seorang gadis.
Jenny menggeleng tidak percaya, lalu menjawab, “Ya, lo ajak ke sini, Bang! Gue ikhlas kok jadi bahan alasan lo ngundang Yuni kemari. Pasti dia mau, apalagi kerjaannya di kantor cuma mainan laptop. Pasti dia juga enggak ngerasa keberatan.”
Mendengar hal tersebut, Fajrian pun mendadak bersemangat. Lelaki itu langsung bergerak cepat memasuki rumah mengambil ponselnya yang berada di dalam. Membuat Jenny yang menyadari sang kakak begitu menyebalkan hanya mengembuskan napas panjang.
“Jenny, apa kamu yakin bekerja lagi?” tanya Debian terdengar cemas membuat Jenny menoleh ke arah sang kakak pertamanya.
“Jelas,” jawab Jenny percaya diri. “Memangnya kenapa? Bang Bian bukannya ada kerjaan lagi hari ini? Sepertinya dari kemarin Bang Bian bolos kerja terus, sampai Jen ngerasa aneh.”
Debian tertawa gemas mendengar perkataan sang adik, lalu berkata, “Bos selalu melakukan hal sesuka hati.”
Jenny mendengkus pelan. “Astaga, bos macam apa ini sampai ngeremehin karyawan. Oh ya, Bang, gue penasaran. Selama ini lo enggak pernah ketemu lagi sama perempuan yang lo sukai itu, sebenarnya apa yang terjadi, Bang?”
Pertanyaan Jenny sukses membuat Debian terdiam. Mereka memang tidak pernah lagi membicarakan masalah asmara Debian yang sempat renggang akibat suatu alasan sampai mereka berdua tidak pernah bertemu, sejak Jenny mendapati sang kakak benar-benar berhubungan dengan seorang wanita cantik.
Sayangnya setelah kepergok berduaan, Debian dan wanita tersebut tidaklah menampakkan diri membuat Jenny merasa bersalah sekali tidak mengerti bahwa sang kakak pertamanya kemungkinan memiliki alasan tersendiri dalam pilihannya.
“Enggak ada apa-apa. Kita berdua punya pilihan yang berbeda,” balas Debian menggeleng singkat.
“Seriusan, Bang? Bukan karena gue, ‘kan?” tanya Jenny berusaha meyakinkan sang kakak untuk berkata jujur, terlebih mereka berdua telah dekat sejak dulu.
Debian mengacak rambut sang adik gemas, lalu menjawab, “Apa yang lo bilang, Jen. Jelas enggaklah! Kita berdua emang enggak bersama aja, jadi harus berpisah.”
“Bang, perbedaan itu bukan berarti kita harus berpisah. Bukankah seharusnya bisa saling melengkapi?” ungkap Jenny tersenyum paksa melihat perbedaan ekspresi sang kakak yang menahan diri terhadap sesuatu. “Ya udah, gue mau masuk dulu, Bang! Gue mau ngambil cemilan, lo mau enggak?”
Debian menggeleng singkat. “Lo masuk aja duluan, gue masih pengen di sini.”
Merasa sang kakak membutuhkan waktu sendiri, akhirnya Jenny pun melenggang pergi. Gadis itu tampak mengembuskan napas beberapa kali sepanjang kedua kakinya melangkah menjauhkan sang kakak.
“Jen, kenapa balik lagi? Ke mana Bang Bian?” tanya Fajrian mengernyit bingung melihat sang adik kembali sendirian.
0o0