Tepat selesai memarkirkan mobil tepat di basement pribadi dengan sekat milik per unit, akhirnya Jenny pun beranjak dari dalam mobil. Mereka berdua keluar secara bersamaan dan mengambil barang belanjaan yang berada di bagasi belakang.
Setelah selesai membawa belanjaan yang cukup banyak, akhirnya Jenny dengan tangan kanannya kosong pun mulai memencet salah satu tombol mengarah pada lantai kamar unit sahabatnya. Kedua gadis itu tampak berdiri tegak menantikan benda berbahan dasar logam itu mulai bergerak naik.
Sesekali mereka berdua berpapasan dengan penghuni apartemen lainnya yang terlihat hendak naik ataupun turun, sebab kebetulan elevator lainnya sedang dalam masa perbaikan sehingga hanya elevator yang menjadi unit Yuni satu-satunya alat transportasi antar lantai tanpa harus menginjakkan kedua kaki pada ribuan anak tangga.
Ketika asyik tertawa kecil mengingat kejadian lucu di mal tadi, tiba-tiba wajah Jenny berubah drastis melihat seseorang yang berdiri tidak jauh tengah menatap pintu di depannya dan sesekali bergerak ke sembarang arah.
Sedangkan Yuni yang awalnya tertawa pun ikut berhenti dan mengikuti arah pandangan sahabatnya tengah menatap seorang lelaki tampan berdiri tidak jauh dari mereka berdua. Spontan gadis itu langsung melebarkan matanya terkejut dan menyembunyikan barang belanjaan di belakang tubuh.
Saat kedua gadis cantik itu hendak melarikan diri, tiba-tiba punggung merasa berdua terasa sangat dingin. Membuat Jenny langsung menggeleng pelan, seakan memberikan kode bahwa pelarian mereka berdua akan sia-sia.
“Dari mana saja kalian berdua?”
Dan benar saja, selang beberapa menit suara yang terdengar menakutkan itu pun tepat di belakang kedua gadis cantik berpakaian feminum tersebut. Memang tidak dapat dipungkiri Alister sedikit mengagumi penampilan kedua gadis yang benar-benar berubah totalitas. Bahkan nyaris tidak dikenali kalau lelaki itu tidak sempat mendengar perbincangan mereka berdua.
Jenny meringis pelan.
Lain halnya dengan Yuni yang terlihat bangga, lalu menjawab, “Kita berdua baru saja kembali dari mal, Ketua Tim!”
“Ngapain ke sana? Memangnya kalian berdua itu terlalu santai, ya?” Alister melipat kedua tangannya di depan d**a sembari menghela napas panjang, kemudian berbalik melenggang pergi. “Cepat buka pintunya! Ada sesuatu hal yang perlu kalian ketahui.”
Dengan gerakan cepatm Yuni langsung berlari menuju pintu unit kamar apartemennya dan menekan beberapa digit pin yang berada di pintu sebagai pengamanan terbaik. Gadis itu langsung mempersilakan Alister dan Jenny masuk dengan mendudukkan diri di ruang tamu kecil sekaligus merangkap sebagai tempat kedua gadis itu bersantai. Bahkan masih ada beberapa sampah sisa makan cemilan tadi membuat Yuni dengan cepat menyingkirkannya.
Kedua gadis itu tampak sibuk menaruh barang belanjaan di sudut ruangan, sebab mereka memang sengaja menjauhkannya dari pandangan Alister, agar lelaki itu tidak terlalu murka dengan sikap Jenny dan Yuni yang tidak bisa ditebak.
Sejenak Jenny mengatur meja tamu dengan mempersilakan lelaki itu menikmati beberapa cemilan yang masih tersisa dan terbungkus rapat. Sedangkan Yuni mengambilkan Alister minum yang ternyata hanya sisa satu kotak minuman jeruk asam manis membuat gadis itu ragu sesaat, tetapi ia memilih untuk tidak menuangkannya biar Alister sendiri jika lelaki itu benar-benar hendak meminum.
“Jadi, apa yang mau dibicarakan, Ketua Tim?” tanya Yuni tepat kedatangannya dan mendudukkan diri di samping Jenny yang tengah sibuk menata cemilan.
Alister mengembuska napas pendek, lalu menjawab, “Gue nemuin beberapa orang yang memang ada keterkaitannya sama masalah ini. Karena ketika gue berusaha buat humble dan berkenalan dengan semua orang di sana. Memang ada beberapa pengusaha yang menarik perhatian.”
“Ketua Tim, apa kamu tidak bertemu dengan Debian?” tanya Jenny mengalihkan pembicaan sesaat, sebab jika ketua timnya saja memberi tahu, kemungkinan besar lelaki itu memang sempat bertemu Debian. Entah sampai berbincang ringan atau hanya menyapa satu sama lain.
Tentu saja Jenny sangat mengenal sang kakak. Walaupun Debian begitu dingin dan cuek, tetapi tidak dapat dipungkiri lelaki itu juga sering kali mengajak orang-orang kenalannya untuk berbincang, atau hanya sekedar membantu jika memang memiliki kesusahan tersendiri
“Iya, saya bertemu sama abang kamu tadi,” jawab Alister mengangguk singkat. “Tapi, yang menunjukkan clue-nya memang dari Debian. Bahkan sesekali saya disuruh untuk bergabung dan diperkenalkan dengan seorang idol yang bekerja sebagai direktur pemegang saham di sana.”
“Kenapa dekat sekali?” sahut Yuni penasaran sembari membawa nampan berisikan minum, kemudian menaruh satu per satu gelas tepat di hadapan lelaki tersebut.
Alister menggeleng singkat. “Saya tidak tahu, tapi memang seperti itu adanya.”
“Ketua Tim, kita ‘kan udah sepakat buat bicara informal!” protes Yuni menyadari ketua timnya masih terlihat kaku dan sedikit kuno. Mungkin akibat lelaki itu terlalu lama di luar negeri sampai tidak bisa melakukan hal-hal yang sudah berlaku pada zaman modern.
“Enggak apa-apa, Ketua Tim!” tukas Jenny menggeleng pelan. “Abang gue yang kedua aja sering begitu, karena kelamaan di luar negeri. Jadi, mereka terlalu fokus sama translate yang berlaku.”
Yuni menipiskan bibirnya sesaat, lalu kembali menatap penasaran ke arah lelaki di hadapannya. “Terus, apa lagi yang ditemuin?”
Sejenak Alister mengambil ponselnya, kemudian memperlihatkan sekitar tiga orang yang berdiri saling menghadap dengan sesekali tertawa lepas. Mereka tampak membicarakan sesuatu, tetapi sayangnya di sana terlalu berisik sampai Alister hanya bisa mengambil gambarnya saja.
“Tiga orang ini cukup mencurigakan. Karena salah satunya menarik perhatian gue dan Bang Bian,” ucap Alister mengembuskan napas panjang.
“Kenapa Bang Bian curiga sama orang?” tanya Jenny mendadak bingung.
Mendengar hal tersebut, tatapan Alister spontan berubah menjadi serius. Lelaki itu terlihat mengatakan sesuai melalui tatapannya, tetapi sayang sekali tidak ada yang bisa membacanya, selain Yuni yang seakan mengetahui sesuatu.
“Aah, jangan dipikirin!” pungkas Yuni menggeleng singkat dan menatap ke arah ketua timnya. “Terus, apa yang harus kita lakuin sekarang?”
Alister mengangguk singkat, lalu berkata dengan mencondongkan tubuhnya serius, “Penyelidikan kita masih panjang, termasuk mengungkap pelaku pembunuhan yang terjadi pada Pabio. Gue juga udah bilang sama Arkan untuk terus berkabar masalah yang apa pun berkaitan dengan orang-orang di belakang.”
“Apa ... penyelidikan kita masih lama?” tanya Jenny penasaran.
“Kalau dilihat dari pencapaiannya masih sangat lama, kita belum sampai menyinggung orang-orang besar. Karena gue curiga di belakang kejadian Pabio pasti ada orang besar,” jawab Alister terdengar mantap.
***
Malam tiba lebih cepat dibandingkan biasanya, sampai Jenny yang baru saja kembali dari apartemen Yuni pun sedikit terkejut mendapati sang kakak telah makan malam sendirian di meja makan. Lelaki itu benar-benar meninggalkan adiknya sendiri, sangat menyebalkan.
“Bang, lo makan malam sendirian!?” sungut Jenny mendadak tidak percaya.
Debian mengangkat kepalanya dengan melebarkan mata terkejut, kemudian bangkit dan menuntun sang adik yang terlihat kesal. Padahal lelaki itu sudah sejak tadi menunggu, tetapi tidak kunjung datang sampai akhirnya memilih untuk makan malam sendirian.
“Duduk dulu, duduk dulu!” pinta Debian diselingi tawa geli. “Gue udah bikinin makan malam, tapi gue makan duluan karena lapar banget.”
“Memangnya lo enggak kerja?” tanya Jenny mengikuti arah pandangan sang kakak yang terlihat melenggang santai menuju mini bar dan mengambil nampan berisikan beberapa mangkuk dan piring makan malam.
“Hari ini gue libur ngantor,” jawab Debian santai sembari menaruh nampan tersebut tepat di hadapan sang adik. “Jadi, gue nyuruh Mike di sana buat gantiin setelah lo kabur dari pesta.”
Jenny mendesis kesal. “Lagian siapa suruh? Gue lagi penyelidikan malah dikira mau buat masalah. Sampe Mike ngawasin gue ke toilet. Untung aja orang-orang di sana enggak ngira Mike aneh.”
Debian tertawa lepas menyadari sekretarisnya benar-benar tidak terduga. “Memangnya Mike sampai ngikutin lo ke sana?”
“Iyalah, Bang!” balas Jenny cepat. “Bahkan dia sampe masuk ke dalam toiletnya demi ngawasin gue. Untung aja biliknya ada empat, jadi lumayan jauh dari Mike yang nunggu di pintu masuk toilet.”
“Sebenarnya, di sana itu hampir semua saingan bisnis keluarga kita, Jen. Jadi, gue takut kalau misalnya salah satu dari mereka ada yang berbuat nekat. Apalagi gue baru balik perjalanan bisnis, pasti ada aja yang enggak suka. Terlebih tender yang gue menangin itu untung banyak, kemungkinan mereka emang bener-bener berbahaya.”
Sejenak Jenny mengangguk mengerti. Terkadang Debian memiliki kekhawatiran yang berlebihan, tetapi tidak dapat dipungkiri lelaki itu sangat memperhatikan keselamatan Jenny, sebab dulu nyaris gadis itu terlibat sesuatu kalau tidak segera diselamatkan oleh orang tuanya.
Jenny mulai menikmati masakan buatan sang kakak. Sesekali gadis itu menghela napas panjang merasakan makan malam yang begitu nikmat, tetapi tidak dengan suasana hatinya. Membuat Debian yang menyadari hal tersebut langsung menatap penasaran.
“Jen, ada apa?” tanya Debian penasaran menyadari sang adik tengah banyak pikiran.
“Bang, memangnya waktu di pesta lo ketemu sama ketua tim gue?” Jenny bertanya balik dengan sedikit mencondongkan tubuh penasaran.
Debian mengangguk singkat, lalu menjawab, “Gue ketemu pas dia lagi ngobrol sama beberapa orang.”
“Lo ngobrolin apa aja?”
“Enggak ada yang penting.” Debian mengernyitkan keningnya sesaat. “Ooh! Dia juga sempat bilang kalau lagi nyari orang yang namanya ... siapa, ya? Gue lupa. Pokoknya dia lagi nyari orang gitu.”
Jenny mengangguk singkat, lalu kembali bertanya, “Terus, lo ajak ngobrol enggak?”
“Memangnya Alister enggak bilang apa pun sama lo, Jen?” Debian mendadak curiga melihat sang adik begitu serius mempertanyakan pertemuannya. “Lo enggak ada sesuatu yang disembunyiin dari gue, ‘kan?”
“Ish! Bukan begitu, Bang!” elak Jenny menggeleng pelan. “Pekerjaan gue sebagai detektif itu belum selesai. Gue juga harus mastiin kalau di pesta enggak ada kejadian apa pun.”
Debian menggeleng tidak percaya sembari menyandarkan tubuh dengan menaruh alat makannya di pinggir piring kosong tersebut. Lelaki itu tampak menatap penuh pada seorang gadis yang sesekali memasukkan nasi goreng buatannya ke dalam mulut dan mulai mengunyah dengan santai.
“Alister cuma ngomong itu aja, selebihnya gue yang ngajak ngobrol biar enggak ada kecurigaan. Apalagi di pesta itu gue bener-bener jadi tamu Arkan.” Debian menyerahkan ponselnya kepada sang adik. “Di situ ada rekaman perbincangan gue sama Alister. Lo dengerin aja kalau enggak percaya.”
“Bang, ini tindakan ilegal lo ngerekam pembicaraan orang tanpa sepengetahuannya,” ucap Jenny serius.
“Katanya lo penasaran,” balas Debian menggeleng tidak percaya. “Gue selalu ngelakuin itu kalau lagi keluar, karena kita enggak ada yang tahu kejahatan bisa terjadi kapan aja. Terlebih pekerjaan kita bertiga itu berlawanan, jadi besar kemungkinan akan terjadi sesuatu tanpa kepercayaan masing-masing.”
Dalam diam, Jenny menyetujui perkataan sang kakak pertamanya. Tidak dapat dipungkiri berjaga-jaga memang perlu dilakukan, terlebih semua orang yang di sekitar mereka bisa saja menjadi tersangka ataupun pelaku kejahatan tanpa diduga sama sekali.
“Jadi, selama ini lo ngapain aja, Bang?” tanya Jenny mengembalikan ponsel sang kakak pertamanya dengan ketidakrelaan dan berusaha memaksakan diri untuk percaya. Ia memilih untuk menjaga kerahasiaan perbincangan tersebut daripada harus mengorbankan kepercayaannya pada sang kakak yang mungkin membicarakan sesuatu tidak penting.
Debian tersenyum samar melihat Jenny mengurungkan niatnya untuk mendengarkan rekaman tersebut, kemudian mengambil alih kembali benda pipih tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celana selutut.
“Gue habis dari pesta langsung balik ke rumah, karena gue ngira lo udah duluan. Tapi, pas gue sampe di sini malah kosong dan udah pasti lo sama Yuni. Jadi, gue milih buat bikin makan malam, siapa tahu pas lo balik lapar,” tutur Debian menjelaskan seluruh kegiatannya selama di rumah. “Dan ternyata, memang benar adanya. Lo lapar sekarang, ‘kan?”
Jenny mengangguk pelan, kemudian bangkit dengan menumpuk beberapa piring kotor menjadi satu. Gadis itu hendak memindahkannya pada cucian piring. Terlebih memang sudah menjadi kegiatannya sehari-hari ketika berada di rumah.
“Lo pergi ke mal, Jen?” tanya Debian menyadari paper bag yang dibawa sang adik bertuliskan merek bukan berada dipasaran.
“Iya, Bang. Tadi Yuni ngajakin gue gara-gara pengen beli tas hermes kesukaannya,” jawab Jenny dengan jujur sembari memulai cuci piring.
Debina mengangguk acuh tak acuh sampai lelaki itu menemukan harta karun kesukaannya, berupa roti madu yang sering kali menjadi buah tangan Jenny ketika baru saja kembali dari luar. Gadis itu benar-benar membeli banyak makanan.
“Oh ya, gue juga beli makanan, Bang! Lo ambil aja!” titah Jenny sembari menoleh dan menggeleng tidak percaya ketika mendapati sang kakak pertamanya sudah melahap roti tersebut. “Pelan-pelan, Bang. Gue beli banyak kok.”
Debian tersenyum malu-malu, lalu berkata, “Semenjak gue ada luar negeri dan datang ke pesta itu, gue bener-bener bosan. Makanannya itu-itu aja, enggak ada yang lain.”
“Ya, namanya juga makanan orang kaya, Bang!” balas Jenny dengan sedikit menggoda sekaligus mengejek. “Pasti makanannya bosenin. Apalagi ada beberapa jenis yang cocoknya emang buat lidah orang-orang kalangan elit.”
“Setidaknya mereka juga harus nyiapin makanan standar konsumsi begini juga enggak, sih?” Debian mulai menggerutu masalah makanan yang disajikan tadi. “Soalnya enggak semua orang suka makan makanan dengan rasa aneh begitu.”
“Astaga, Bang Bian lo bener-bener, ya?” tukas Jenny menyadari sang kakak pertamanya sangat mengerikan sampai membicarakan banyak hal tanpa memikirkan seberapa banyak uang yang telah dikeluarkan oleh Arkanio mendirikan pesta sebesar itu hanya untuk membantu dirinya. “Jangan cuma ngelihat dari luarnya aja, Bang. Siapa tahu lo juga harus paham kalau Arkan itu memiliki rencana.”
0o0