Tepat Debian selesai mandi, makan siang pun tiba dan langsung dipersiapkan oleh Jenny bersama rekan kerjanya di dapur. Kedua gadis itu tampak berkutat dengan sibuk bersama tiga lelaki yang merapikan sampah, sampai ketika Debian datang semua makan siang telah siap.
“Jen, ke mana temannya lagi?” tanya Debin mengambil gelas bersih dari rak, kemudian mulai menuangkan air mineral dari teko kaca bening yang terlihat cantik.
Jenny menoleh mendapati sang kakak telah mengenakan kaus hitam polos dengan celana pendek sporty berwarna abu-abu. Rambut lelaki tampan itu tampak basah dengan air sedikit menetes. Membuat Jenny menghela napas panjang melihat sang kakak sering kali memperlihatkan gayanya begitu seksi.
“Lagi buang sampah di bawah, Bang,” jawab Jenny santai sembari membawa dua mangkuk berisikan nasi putih yang masih mengepul. “Lain kali keringin dulu rambutnya, Bang. Pada netes airnya nanti malah jadi basah.”
Debian tertawa pelan dan mengangguk beberapa kali. “Iya, nanti gue bersihin lagi biar kembali seperti semula.”
Saat asyik menggoda sang adik yang memberikan respon menggemaskan, Debian pun mengalihkan perhatiannya ke arah Yuni. Gadis cantik dengan wajah imut itu tampak sibuk menata alat makan di atas meja.
“Kamu … tadi yang namanya Yuni, ya?” celetuk Debian berusaha ramah.
Yuni mengangkat kepalanya dengan cerah, lalu mengangguk kuat sembari menjawab, “Iya, Bang! Namaku Yuni, sahabat Jenny pas masih SMA. Kita berdua sama-sama datang ke sini.”
“Makasih, ya. Mau jadi teman Jenny selama ini,” ucap Debian tulus. “Pasti tertekan banget sama tingkahnya yang enggak masuk akal.”
Perkataan ada benarnya dari Debian membuat Yuni spontan ingin sekali tertawa, tetapi gadis itu tampak menahan diri untuk tidak bertingkah berlebihan. Apalagi di hadapan seorang lelaki yang sejak dulu telah menjadi idolanya, sebab Debian memiliki paras tampan dengan sifat dingin yang melekat.
“Jen, sampahnya banyak banget. Tadi udah gue buangin ke truknya yang kebetulan lewat,” kata Ayres setengah mengeluh sembari mengusap kedua tangannya yang basah akibat mencuci tangan tadi.
Namun, langkah ketiga lelaki itu mendadak berhenti ketika menyadari keberadaan Debian di sana. Membuat mereka semua terdiam membisu, terlebih Ayres langsung memerah padam menahan malu telah berbicara semaunya tanpa melihat situasi lebih dulu.
Menyadari kecanggungan dari ketiga lelaki yang menjadi rekan Jenny, hal tersebut membuat Debian tertawa pelan. Lelaki tampan itu tampak menggeleng tidak percaya melihat ketiga lelaki yang kemungkinan seusia dengan adiknya.
“Jangan tertekan, biasa saja. Kalian bertiga bisa bersikap seakan tidak ada saya di sini,” ucap Debian mengangguk tenang tanpa memperhatikan perubahan wajah dari ketiganya yang terlihat mulai kurang nyaman, terlebih mereka mendengarnya seakan menjadi sebuah sindiran.
Jenny yang melihat situasi canggung mendapati sang kakak tengah menikmati cemilan sebelum makan siang pun berkata, “Ketua Tim, makan siang dulu udah siap dari tadi! Bang Akhtar sama Bang Ayres juga jangan diam di sana.”
Ketiga lelaki itu pun mulai melangkah mendekat dan menarik kursi tepat di hadapan Jenny yang ikut mendudukkan diri di samping sang kakak, Debian.
Sejenak Alister memperhatikan seisi meja makan yang terlihat ramai, meskipun tidak ada yang berani memecahkan keheningan di antara mereka. Terlebih kehadiran Debian membuat mereka semua terlihat saling canggung satu sama lain, walaupun sama sekali tidak berlaku untuk Jenny yang sudah biasa.
“Sekarang lagi nyelidikin kasus berat atau ringan, Jen?” celetuk Debian di sela makan siang membuat seorang gadis yang terlihat asyik menikmati sate ayam itu pun mengalihkan pandangannya.
Jenny menggeleng singkat, lalu membalas, “Enggak bisa jawab, Bang. Gue baru mulai penyelidikan. Kemungkinan berat … kemungkinan juga enggak. Yang penting gua masih bisa balik.”
Mendengar hal tersebut, Debian mengangguk mengerti. “Lusa kemungkinan rumah kita penuh. Jadi, kalau lo mau ngajak temen-temen lo balik lagi ke sini, sekalian aja biar langsung kenalan sama abang lo, Jen.”
“Abang gue, adik lo juga,” balas Jenny sinis.
Kakak kedua Jenny yang kembali disebut-sebut membuat Alister sedikit penasaran. Entah kenapa ia bisa merasakan betapa dekatnya mereka berdua sampai tidak merasa canggung sama sekali. Bahkan ketika saling bertukar sindiran di hadapan orang lain yang tidak dikenali Debian.
“Oh ya, Ketua Alister, saya titip Jenny. Kalau ada sesuatu yang terjadi, langsung kabari saya. Karena mulai hari ini saya akan berada di Indonesia sampai waktu yang tidak ditentukan,” ucap Debin terdengar serius ke arah Alister yang sejak tadi sibuk memakan makan siang dengan pikiran sedikit bercabang.
Alister menatap lelaki tampan nan berkharisma kuat di hadapannya. Ia bisa mengakui bahwa tatapan tajam nan serius dari Debian benar-benar memperlihatkan bahwa lelaki itu bukanlah orang sembarangan.
“Baik,” balas lelaki itu mengangguk patuh.
Debian mengembuskan napas panjang, lalu menatap satu per satu petugas polisi yang ada di hadapannya dan berkata, “Panggil saya ‘Abang’ sama seperti Jenny. Karena usia kalian semua seperti abang kedua Jenny, jadi saya juga merasa ketuaan kalau kalian manggil dengan sebutan ‘Pak’ atau lebih parahnya malah ‘Paman’ menjadikan saya seperti orang tua saja.”
“Itu tandanya lo harus segera cari pacar, Bang!” goda Jenny tertawa geli mempermainkan sang kakak yang sejak dulu memang tidak pernah memiliki satu pacar sama sekali. Bahkan bisa dikatakan lelaki itu lajang sejak lahir.
“Gimana mau punya pacar?” Debian mendesis pelan. “Sedangkan di rumah aja ada bayi yang harus gue jaga. Kalau kenapa-napa, gue juga yang repot.”
“Bang, lo baru sadar?” tanya Jenny dengan melebarkan matanya dramatis. “Gue pikir selama ini lo ninggalin gue tanpa pengawasan apa pun karena gue udah besar. Ternyata lo benar-benar peduli sama adik perempuan satu-satunya.”
“Gue keluar ada urusan, Jen,” jawab Debian menggeleng tidak percaya. “Lo sendiri, kenapa enggak punya pacar?”
Belum sempat Jenny menjawab, tiba-tiba lelaki itu teringat akan seseorang yang memang tidak asing. Sebab, pernah beberapa kali bertemu, meski hanya sesaat saja.
“Oh ya, ke mana Delvin? Dia masih sama lo, ‘kan?” tanya Debian mengalihkan pembicaraan sendiri. “Gue lihat dari tadi enggak ada dia di sini. Lo enggak ajak atau udah beda divisi lagi?”
***
Tepat selesai makan siang yang jauh lebih santai, sebab Debian beberapa kali mengajak berbincang ketiga lelaki rekan kerja Jenny tersebut. Menjadikan mereka tidak terlalu kaku dan lebih santai dibandingkan biasanya. Akan tetapi, tetap saja tidak menutup kemungkinan ketiganya masih merasa sungkan dan hormat pada Debian dengan usia yang jauh di atas mereka.
Baru saja kembali dari perjalanan bisnis yang cukup panjang, Debian memang selalu menghabiskan banyak waktu di rumah. Bahkan tepat selesai makan siang ia sudah bergegas menuju rooftop untuk melihat tanaman yang kemungkinan masih tersisa di sela kesibukan Jenny tidak menentu.
Sedangkan Jenny, Yuni, dan ketiga rekan kerja lelaki itu pun memilih untuk menyelesaikan penyelidikan mereka. Jelas saja mendapatkan bukti cukup akurat membuat mereka harus bergegas kembali ke kantor untuk melakukan penulisan laporan sebelum jam kerja habis.
Tidak sampai menunggu lama, mereka berlima pun sampai di depan merkas dengan beberapa petugas kepolisian tampak berdiri. Kebanyakan dari mereka terlihat sedang menunggu sesuatu membuat Alister memarkirkan mobil lebih jauh agar tidak menampakkan diri seperti seseorang yang sedang mereka tunggu.
“Ada apaan, sih?” tanya Yuni beranjak keluar sembari menatap ke arah petugas polisi yang terlihat ramai.
Akhtar yang biasa berada di markas terlihat ikut penasaran, lalu mulai menyipitkan kedua matanya menatap beberapa petinggi. Lelaki itu tampak mengangguk mengerti dan menghampiri ke arah Alister yang terlihat mengunci mobil.
“Ster, kita baliknya nanti lewat belakang,” ucap Akhtar merangkul bahu sahabatnya dengan sesekali memperhatikan ke arah kumpulan polisi yang terlihat sedang berdiri menunggu sesuatu.
“Kenapa emangnya?” tanya Alister ikut menatap ke arah deretan polisi yang menunggu kedatangan seseorang.
“Setahu gue kalau ada petinggi kepolisian berdiri di depan begini, berarti tandanya ada personil BIN yang datang. Kemungkinan ini orang yang udah lama banget ditugasin dan baru balik sekarang. Karena kelihatan dari mereka yang nunggu aja hampir semua petinggi kepolisian,” jawab Akhtar menjelaskan dengan begitu detail sampai Jenny ikut merasa sedikit terkejut.
“Memangnya siapa yang mau datang ke sini dari BIN?” sahut Yuni tampak mengernyitkan keningnya tidak mengerti, sebab dirinya memang hampir tidak pernah tahu ada personil Bin yang sering datang ke wilayah kepolisian.
Akhtar menggeleng pelan, lalu membalas, “Belum ada yang tahu. Karena setiap orang yang mau ngelihat itu selalu dihalangi sama pengawal di sana. Jadi, susah buat orang penasaran. Apalagi petinggi seperti gue aja hampir enggak kenal sama sekali.”
“Berarti enggak sembarangan orang bisa ngelihat itu semua, ya?” gumam Ayres mengangguk mengerti.
Setelah itu, mereka berlima pun melenggang masuk. Tidak ada yang berminat untuk mengintip sama sekali, terlebih untuk ukuran orang dewasa sangat memalukan. Sehingga kebanyakan dari mereka memilih tidak memedulikan apa pun, meski mendengar banyak gosip tersebar bahwa banyak anggota BIN yang tampan dan lajang.
Sesampainya di ruangan Tim Investigasi Khusus, Alister langsung menempelkan sebuah foto yang menjadi penemuan mereka di buku catatan milik ayah angkat dari Jenny. Lelaki itu mulai menarik benang merah yang saling berkaitan satu sama lain. Terlebih bukti semakin terkumpul nyata dan selalu berhubungan dengan Pabio.
“Ster, menurut lo, kasus ini semakin menarik enggak, sih?” celetuk Ayres mendudukkan diri di atas meja sembari menatap papan tulis putih yang diisi berbagai foto bukti dan penemuan mereka selama beberapa hari.
Alister mengangguk setuju, lalu bertutur, “Kalau dilihat emang sepertinya kasus ini menyangkut satu sama lain. Tapi, semakin ke sini gue sadar kalau semuanya bermula dari Pabio. Sayangnya kunci dari kasus ini adalah beliau, sehingga menjadi target pertama yang dilumpuhkan. Karena gue juga yakin kalau Pabio ini bisa menjadi bom waktu yang berbahaya.”
“Selama kepercayaan orang masih melekat, memang terkadang ada rasa pula terkhianati. Jadi, gue rasa kalau Pabio ini dapat kepercayaan penuh dibandingkan tujuh orang dari foto ini. Sayangnya beliau berani mengambil risiko sampai kehilangan nyawa,” timpal Yuni terdengar masuk akal.
“Atau bisa juga begini,” potong Jenny menjeda kalimatnya sebelum melanjutkan, “Pabio itu sebenarnya enggak tahu apa yang bakalan dilakuin sama orang-orang itu. Sampai kepercayaannya dinodai oleh sesuatu yang rasanya hal sepele, tapi memberikan efek cukup besar. Meskipun Pabio bisa bertahan selama beberapa lama, enggak akan selamanya beliau juga tahan. Jadi, menurut gue, apa yang dilakuin Pabio udah benar. Beliau orang berpendidikan, mustahil rasanya kalau mudah dibohongi orang lain.”
“Apa yang dibilang Jenny emang benar, Ster,” timpal Ayres memperlihatkan perseteruan Pabio melalui sambungan telepon dari video yang baru saja diekstrak oleh Yuni sehingga menjadi beberapa keping file foto, video, dan dokumen.
Alister mengangguk paham, lalu bertanya, “Apa ada sesuatu hal lagi yang perlu kita lakukan?”
“Mungkin untuk sekarang kita perlu menyamar, Ketua Tim!” usul Yuni memperlihatkan video berdurasi sekitar empat menit yang memperlihatkan pertemuan terjadi selama tiga hari sekali.
Sejenak Alister menatap ke arah video dari Pabio yang menjelaskan bahwa organisasi gelap tersebut memang memiliki kebiasaan teratur untuk pertemuan, pelaksanaan rencana, dan seluruh kegiatan lainnya. Membuat kebiasaan tersebut menjadikan seluruh orang yang mengikuti organisasi tidak menyangka segala tindakan mereka terekam jelas oleh sensor generik untuk membalaskan dendam melalui chip yang tertanam.
Sayangnya kebiasaan chip tanam itu baru berkembang tepat sehari sebelum panti asuhan tersebut kebakaran. Sehingga seluruh bahan baku, catatan penelitian, dan profesor lenyap tanpa bekas. Membuat pengurus organisasi tersebut tidak mendapatkan hasil apa pun dalam penelitian mereka.
Entah kenapa sepanjang menonton video tersebut, sekilas bayangan layaknya kaset rusak mulai memasuki otak Jenny. Gadis itu mencengkram ujung meja dengan kuat sampai tidak disadari Jenny terjatuh terduduk. Mengejutkan empat orang lainnya yang terlihat serius memperhatikan video.
“Jen, lo kenapa!?” tanya Yuni terkejut sampai tidak menyadari sahabatnya terlihat kesakitan.
Jenny menggeleng pelan sembari mengerang kesakitan. Gadis itu tampak memegangi kepalanya sembari dengan tetap kesakitan.
Hal tersebut membuat Alister cemas dan langsung membopong tubuh Jenny dengan membawanya ke arah sofa panjang. Lelaki itu tampak panik antara hendak membawa Jenny ke rumah sakit atau membiarkannya saja sampai rasa sakit tersebut hilang.
“Jen, lo enggak apa-apa, ‘kan? Lo kenapa? Jawab gue!” ucap Yuni dengan suara bergetar menahan tangis melihat Jenny yang mendadak lemas dan kesakitan dalam waktu lama.
“Bawa ke rumah sakit aja!” usul Ayres menatap cemas.
Jenny menggeleng dengan susah payah, lalu menolak, “Jangan. Gue cuma perlu istirahat aja.”
Mendengar perkataan tersebut, semua rekan kerja yang ada di sana hanya mengangguk patuh. Akan tetapi, wajah mereka tampak tidak rela melihat Jenny kesakitan. Walaupun selama beberapa menit gadis itu kembali tenang seperti semula.
***