35. Ruangan Rahasia Ternyata Server Semua Transaksi Ilegal

2028 Kata
Penyelidikan yang dilakukan Tim Investigasi Khusus untuk menemukan bukti pun membuahkan hasil. Persahabatan triplet A menemukan sebuah kotak amplop dalam ukuran lebih besar membuat Ayres membawanya ke ruangan yang menjadi tempat Yuni berselancar internet mencari bukti lebih banyak keterkaitannya dengan masalah p**********n Delvin sebagai anggota kepolisian. “Gue pikir, orang yang ngejalanin bisnis kotor ini benar-benar nekat, Jen,” celetuk Ayres mengembuskan napas panjang. Jenny tengah mendudukkan diri sembari memperhatikan seluruh kegiatan Yuni pun menoleh sesaat, lalu mengangguk mengiakan perkataan Ayres apa adanya. “Jen, lihat ini!” seru Yuni mengejutkan. “Hah? Apa?” tanya Jenny menatap penuh ke arah layar laptop milik sahabatnya dengan kening berkerut bingung. “Firewall gue diserang sama malware!!” jawab Yuni setengah berteriak kesal, kemudian mulai membunyikan seluruh jemarinya dengan menggerakkan leher terasa pegal. “Lihat, apa yang akan gue buat untuk nyerang balik.” Sejenak Jenny yang sama sekali tidak mengerti masalah komputerisasi hanya bisa mengangguk kaku ketika mendengarkan seluruh aduan dari Yuni. Gadis berwajah cantik nan menggemaskan itu memang terkadang apa pun menjadi lebih panik, meski sudah beberapa kali diperingatkan oleh Jenny untuk tetap tenang. Suara berisik dari paduan keyboard laptop terdengar nyaring seiring kedua alis tebal milik Yuni secara perlahan bergerak saling bertaut satu sama lain. Gadis itu tampak sangat fokus sampai tidak menyadari Alister dan Akhtar melenggang masuk membawa sekotak kartu nama milik masing-masing bandar n*****a dengan nama sedikit aneh. “Yuni kenapa?” tanya Akhtar baru saja melenggang masuk menatap ke arah Yuni yang menyadari gadis itu tampak biasa saja. Jenny menoleh singkat ke arah dua lelaki yang baru saja datang, lalu menjawab, “Katanya ada malware yang nyerang. Jadi, sekarang dia lagi nyerang balik.” “Malware?” Alister mengerutkan keningnya penasaran, lalu melangkah mendekati Yuni dengan berada tepat di belakang Jenny. Kemudian, lelaki itu merendahkan tubuhnya menatap ke arah layar dengan dominan hitam dan hijau ala hacker profesional. Sejenak tindakan tersebut membuat Jenny gugup menyadari jaraknya yang begitu dekat dengan Alister. Membuat gadis itu bisa merasakan napas Alister yang berembus cukup teratur dengan sesekali mengangguk menyadari Yuni harus berjuang melawan cracker yang benar-benar jahat. Sepuluh jemari milik Yuni bergerak semakin cepat dengan wajah gadis itu tampak gugup. Entah kenapa ketegangan itu pun menjadikan Jenny yang berada di sampingnya ikut cemas. Walaupun dirinya sama sekali tidak mengerti, tetapi dengan melihat wajah Yuni yang sudah tidak ada lagi candaan membuat Jenny mulai ikut tegang. “Yuni, lo yakin enggak apa-apa?” tanya Jenny mendadak cemas menatap sahabatnya mulai berkeringat dingin. Hal tersebut membuat Akhtar memberikan dua lembar tisu ke arah Jenny. “Tolong dilap, Jen. Kasihan Yuni pasti dia cemas banget.” Jenny mengangguk singkat, kemudian mengambil salah satu tisu tersebut dengan mulai menempelkannya pada kening Yuni. Sesekali gadis itu meringis pelan ketika nyaris menghalangi pandangannya. Pertarungan digital itu berlangsung tiga puluh menit dengan Jenny benar-benar membuat Yuni merasa nyaman. Meski ruangan terasa panas akibat pendingin ruangan dimatikan, tetapi Jenny berusaha memberikan yang terbaik dengan mengipasi sahabatnya. Sampai gerakan jemari Yuni semakin secepat kilat sampai bunyi tombol terakhir dengan helaan napas penuh kelegaan keluar dari bibir gadis itu. Ia menyandarkan tubuhnya sembarimengambil tisu yang berada di tangan Jenny dan mulai mengelapnya sendiri. “Yuni, lo kenapa dari tadi?” tanya Jenny penasaran. Gadis itu tertawa ringan, lalu menjawab, “Server-nya nyerang gue habis-habisan. Untung aja gue masih bisa nyerang balik. Sekarang kemungkinan software-nya enggak bisa dipakai sampai seminggu penuh. Jadi, orang itu enggak akan bisa ganggu kita lagi.” “Kok bisa?” sahut Ayres mendadak heran. “Ya, karena itu salah dia sendiri,” balas Yuni santai. “Lagian siapa suruh nyerang sistem operasi milik BIN, yang ada malah dia kena batunya sendiri.” “Tapi, kenapa lo lama banget sampai kelihatan cemas gitu?” Akhtar mulai memberanikan diri untuk bertanya, terlebih Yuni sudah jauh lebih tenang dan merilekskan diri. Yuni mengembuskan napas berat, lalu berkata, “Sebenarnya dia hampir nyuri seluruh data informasi yang ada di laptop ini. Jadi, gue takutlah. Masa iya mau perjuangan kita disia-siain gitu aja. Sama aja bohong.” “Pencurian data?” Alister mengernyitkan keningnya tidak menyangka bahwa hal tersebut akan terjadi pada dunia cyber yang sama sekali tidaklah nyata. “Ketua Tim, kamu pasti paham masalah ini lebih daripada aku,” ucap Yuni mengembuskan napas berat. “Kamu sudah bekerja sebagai kapten kepolisian Amerika sejak lama. Pasti kamu tidak akan asing dengan namanya pencurian data. Terlebih negara kita ini pengamanan internetnya kurang, tetapi bisa ditutupi dengan orang-orang paham dan berpengalaman. Jadi, ada kemungkinan perkembangan lebih besar daripada tidak ada sama sekali.” Jenny memeluk tubuh sahabatnya dari samping, lalu berkata, “Terima kasih, Yuni. Kamu sudah berjuang menyelamatkan kita semua dari serangan cyber yang sama sekali tidak aku ketahui.” Mendengar hal tersebut hati Yuni menghangat, tanpa sadar gadis itu menitikkan air matanya. Yang dengan cepat disadari oleh Jenny ketika baru saja mengendurkan pelukan. Gadis itu tampak melebarkan matanya terkejut sampai benar-benar merasa bersalah. “Kenapa nangis, Yun?” tanya Jenny mendadak cemas, kemudian mengambilkan dua lembar tisu untuk membersihkan sisa air mata sahabatnya yang mendadak menangis. Padahal bisa dikatakan Yuni nyaris tidak pernah menangis, jika sampai menangis, maka dunia sedang tidak baik-baik saja. Yuni menggeleng pelan sembari mengambil tisu pemberian Jenny. Ia memang tidak pernah menyangka bisa memiliki seorang sahabat seperti Jenny, meskipun gadis itu sangat menyebalkan dan kotor sampai dirinya merasa berang. “Jangan nangis, Yun,” ucap Ayres dengan mengepalkan tangannya kuat. “Tetap semangat dan berjuang!” “Iya,” balas Yuni mengangguk beberapa kali dengan tertawa ringan menyadari perubahan raut wajah Jenny yang terlihat menggemaskan. Sedangkan Akhtar menyadari sesuatu hanya mengangguk pelan, tetapi pandangannya tidak pernah lepas dari Yuni yang berusaha menutupi kesedihannya dengan di balik tawa renyah menyebalkan. Gadis itu mampu menarik perhatian Akhtar yang selama ini selalu tertutupi oleh pekerjaan. “Habis selesai ngasih ini, kita langsung balik lagi ke markas, ‘kan?” tanya Jenny menyadari urusan mereka belum selesai. Keempatnya yang mendengar perkataan itu pun langsung saling berpandangan, sebab mereka juga memiliki sesuatu yang perlu dilakukan. Terlebih sudah menjadi incaran bagi banyak oknum yang tidak bertanggung jawab. *** Sesampainya di rumah tempat tinggal Jenny yang begitu besar dan sepi, Yuni pun menggandeng lengan Jenny untuk bersama-sama melangkah menuju kamar orang tua gadis itu yang berada tepat di samping kamar kedua abangnya. “Jen, gue mau lihat kamar abang lo enggak apa-apa, ‘kan?” ucap Yuni meminta izin agar diperbolehkan melihat kamar seorang lelaki yang sejak dulu selalu memperhatikan hal-hal kecil. “Buka aja,” balas Jenny mengangguk singkat. “Gue sering buka jendela kamarnya biar ada udara masuk, jadi jangan sungkan.” Sejenak satu per satu dari mereka pun mulai melenggang masuk, terlebih Alister dan Akhtar tampak memperhatikan seisi kamar yang terlihat rapi. Padahal seharusnya kamar milik seorang lelaki itu berantakan dan sedikit kotor. “Jen, abang lo jago semua mata pelajaran?” tanya Yuni memperhatikan setiap sudut piagam penghargaan yang terpasang di kamar. Jenny mengangguk singkat, lalu menjawab, “Selama ini emang selalu juara. Tapi, sayangnya abang gue yang kedua malah sebaliknya. Pas kuliah sering dapat beasiswa kayak gue.” “Hah? Kok bisa?” tanya Yuni terkejut menyadari perubahan yang terjadi pada kakak beradik tersebut. Jenny menggeleng pelan, kemudian menghampiri lemari pakaian sang kakak yang terlihat sedikit. Akibat lelaki itu sering kali bepergian dan jarang kembali sampai waktu tidak ditentukan. “Udah hampir lima bulan lebih abang gue enggak balik,” ungkap Jenny mengambil salah satu kotak yang berada di dalam. “Oh ya, ini kotak rahasia abang gue. Siapa tahu ada sesuatu di dalamnya. Kalian semua mau lihat?” Dengan mengangguk patuh, akhirnya ketiga lelaki bersama Yuni pun langsung mendekati Jenny yang mulai membuka sebuah kotak di pangkuannya. Sejenak tatapan mereka tampak penasaran melihat seisi dalam kotak tersebut seperti sesuatu yang disimpan sejak lama. “Apa ini?” tanya Yuni mengambil beberapa kertas gulungan yang berada di dalam. “Itu surat cinta pas kuliah. Dia punya kebiasaan buat ngumpulin semuanya jadi satu,” jawab Jenny tertawa pelan menyadari sang kakak begitu unik. “Lalu, apa itu?” sahut Ayres menunjuk ke arah kotak kecil seperti beludru warna hitam. Jenny mengambil benda tersebut dan mulai membukanya, tetapi kosong. Membuat kening gadis itu mengernyit bingung sembari menggeleng pelan. “Kayaknya ini tempat sesuatu, tapi udah diambil sama abang gue. Mau gue tanyain dulu?” tanya Jenny. Alister menggeleng singkat. “Jangan. Nanti malah jadi kecurigaan dan abang lo tahu kalau misalnya kita ngambil kotak rahasianya.” “Ya udah, kalau begitu,” pungkas Jenny mengembuskan napas singkat. Kemudian, kotak rahasia itu pun dikembalikan pada tempat semula. Kali ini Jenny, Yuni, dan ketiga rekan lelakinya melenggang keluar dari kamar. Mereka hendak menelusuri kamar lainnya milik kakak kedua Jenny. Tidak ada yang istimewa di sana, walaupun menjadi seorang dokter. Akan tetapi, kamarnya terlihat berantakan meski berbanding balik dengan kakak sulungnya yang sangat rapi dan bersih. Membuat mereka berdua bisa ditebak memiliki sifat yang bertolak belakang. “Ini kamar orang tua gue,” ucap Jenny memegang handle pintu dan bersiap untuk membukanya. Akan tetapi, pergerakan gadis itu pun terhenti mendengar suara pintu terbuka membuat mereka semua saling berpandangan. Terlebih Jenny mendadak panik mengetahui salah satu kakaknya kembali tanpa memberi tahu sama sekali. Terdengar suara langkah kaki mendekat membuat mereka semua mendadak gugup, sampai Alister berpikir cepat membawa mereka semua menuju gazebo belakang untuk mendudukkan diri. Mereka semua berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. Seorang lelaki tampan berpakaian formal dengan membawa koper hitam itu pun terhenti mendapati sang adik tengah berada di halaman belakang. Ia mengernyitkan keningnya bingung menyadari Jenny masih berada di rumah. Padahal bukan weekend dan masih memasuki jam kerja. “Jenny, kamu enggak kerja?” tanya seorang lelaki bersuara berat menatap sang adik dari belakang. Mendengar hal tersebut, Jenny pun menoleh dengan melebarkan matanya cerah menatap kepulangan sang kakak. “Abang!!!” Dengan berusaha bersikap seperti biasa, Jenny pun bangkit dari tempat duduk dan menghamburkan pelukan ke arah sang kakak yang berdiri menyambut kedatangannya membuka kedua tangan lebar-lebar. “Abang kok pulang enggak ngabarin Jen dulu?” keluh Jenny mengerucutkan bibirnya kesal. Lelaki tampan itu pun tertawa pelan sembari mengusap lembut kepala sang adik, lalu membalas, “Awalnya mau ngasih tahu, tapi Abang pulang hari ini. Takutnya kamu lagi sibuk kerja, jadi Abang langsung pulang.” Jenny mendesis kesal, kemudian menoleh ke arah empat orang yang ada di belakangnya. “Kenalin, Bang! Pasti masih ingat sama Yuni, ‘kan?” “Iya.” “Kalau ketiga lelaki itu polisi senior, Bang. Tapi, kita bertiga lagi ada penyelidikan, jadi kumpul bersama.” “Kalian habis penyelidikan?” tanya Debian mengernyitkan keningnya penasaran. Seorang lelaki yang baru saja datang itu bernama Debian Victorio Aditama. Kakak pertama dari Jenny memiliki profesi sebagai CEO di perusahaan Aditama Group. Lelaki itu memang baru saja kembali dari perjalanan bisnis panjangnya yang melelahkan. “Iya, Bang. Kita ke sini mau istirahat sekaligus ngomongin kasus,” jawab Jenny jujur, karena ia memang mempercayai sang kakak dengan penuh. “Oh ya, Abang mau istirahat atau langsung balik ke kantor lagi?” “Kebetulan gue lagi ngurus perusahaan, jadi kemungkinan balik cuma naruh koper.” Debian mengembuskan napas panjang. “Ya udah, kalian bersantai lagi. Jangan peduliian gue ada di sini.” “Terima kasih banyak,” ucap Alister mewakili para bawahannya dengan mengangguk sopan. Setelah itu, Debian pun mengacak rambut Jenny dengan gemas sebelum akhirnya melenggang pergi meninggalkan sang adik bersama empat orang lainnya yang terlihat penasaran. Debian memang sedikit bingung mengetahui sang adik membawa rekan kerjanya datang hanya untuk beristirahat, tetapi lelaki itu memilih membiarkan mereka semua dengan nyaman. Selepas kepergian Debian yang kembali melenggang masuk, Jenny pun menghela napas lega dan menoleh ke arah empat lainnya terlihat ikut tegang. Mereka benar-benar tidak percaya akan menghadapi situasi seperti maling yang nyaris ketahuan. “Kenapa abang lo biasa aja, ya, Jen? Apa dia masih enggak ingat sama gue?” tanya Yuni penasaran, sebab Debian memang sering kali melupakan orang-orang di sekitar Jenny akibat sering kali bepergian. “Yang kenal dan paham lo itu cuma abang gue yang kedua, jadi jangan heran kalau Bang Bian enggak akan ngerespon lebih. Apalagi dia baru dari perjalanan bisnis, pasti capek banget,” jawab Jenny tertawa pelan menyadari sahabatnya masih sama seperti dulu. Selalu kebingungan melihat respon kakak pertamanya yang biasa saja. OOO
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN