Operasi penyelamatan yang dilakukan oleh Tim Investigasi Khusus memang membuahkan hasil. Tidak perlu berlama-lama, ketiga lelaki itu melumpuhkan sekitar sepuluh pengawal bertubuh besar dengan seorang pemimpin dari mereka mulai dimasukkan ke dalam penjara untuk penahanan sekaligus penyelidikan lebih lanjut.
Selepas penangkapan yang berujung penahanan, Tim Investigasi Khusus milik Mabes Polri pun diperbolehkan untuk menginterogasi pelaku sekaligus pengawal klub malam tersebut. Memang kebanyakan dari mereka ternyata hanya sekedar bekerja dan tidak mengetahu apa pun.
Namun, tetap saja pembebasan mereka untuk segera menemukan bukti bukanlah yang mudah. Apalagi kebanyakan pengawal lama mengerti tentang hukum. Sehingga tidak sedikit dari mereka memaksa untuk segera dilepaskan tanpa memedulikan sudah memasuki tenggat waktu hukuman.
“Kapten Alister, kami sudah mendengarmu yang bekerja di kepolisian SWAT. Jadi, kami benar-benar meminta bantuanmu untuk mencari bukti mematahkan seluruh argumen mereka. Karena kalau hanya mengandalkan pernyataan, kemungkinan besar mereka bisa menariknya kembali,” ucap Delvin menatap serius ke arah Alister yang hadir dalam rapat Divisi Investigasi Kriminal Tingkat Lanjut.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Alister menyandarkan tubuh santai.
“Tidak perlu banyak yang kamu lakukan, hanya menyelidiki klub malam itu untuk menemukan bukti. Karena kedatangan saya ke sana untuk menyelidiki masalah transaksi n*****a,” jawab Delvin menggeleng pelan, kemudian menyerahkan beberapa bukti yang sempat ditemukan. “Saya sudah mengambil rekaman sebelum saya ditangkap akibat ketahuan. Tapi, tenang saja bukti ini memang tidak valid, saya akan menguatkannya sebagai petunjuk.”
Alister menerima pemberian bukti itu pun mengangguk singkat. Lelaki itu mulai melihat dua flashdisk di tangannya dengan empat foto cetak yang memperlihatkan sejumlah uang tunai dalam jumlah sangat besar. Terlebih mereka menggunakan tas ransel berwarna hitam sebagai pembungkusnya.
“Kapan buktinya diperlukan?” tanya Alister memberikan benda tersebut ke arah Ayres.
Delvin menatap ke arah arloji yang ada di tangan kirinya sesaat, lalu menjawab, “Lusa tepat pukul 10.00 am karena kita memerlukan pemindahan tahanan agar ditindak lanjut sesuai dengan ketentuan.”
“Baiklah, besok bukti fisik akan ditemukan!” putus Alister mengangguk mantap.
Sontak keputusan itu pun membuat Ayres menoleh cepat dengan keterkejutan yang tidak bisa ditutupi. Bahkan Akhtar ikut terkejut dengan tetap tenang, meski penasaran melebihi Ayres.
Setelah menyelesaikan perbincangan, akhirnya Alister pun bangkit dari tempat duduk disusul dua sahabatnya. Ketiga lelaki itu melenggang bersamaan dari ruangan meninggalkan Delvin yang terlihat pasrah dengan semua keadaan.
Tepat sampai di depan elevator, Ayres pun tidak bisa menahan keterkejutannya dan langsung menghadang tepat di hadapan Alister. Membuat lelaki itu mengalihkan perhatiannya sesaat. Ia menatap ke arah Ayres yang memasang kecurigaan.
“Ster, gue tahu lo jago penyelidikan. Tapi, itu klub malam yang semua orang bisa masuk,” ucap Ayres mulai menyuarakan kekesalannya. “Lo nyari bukti di sana, sama aja nyari jarum di dalam jerami. Mustahil buat nemuinnya, Ster.”
“Tenang aja,” balas Alister tersenyum ringan. “Gue tahu cara cepat buat nemuin bukti itu.”
“Apa?” tanya Ayres cepat, seakan ia masih tidak puas dengan jawaban sahabatnya meski sudah mulai terdengar meyakinkan.
“Kita ajak aja Jenny sama Yuni,” jawab Alister santai. “Jenny, dia jago segala jenis penyelidikan. Sedangkan Yuni, lo tahu sendiri gimana jagonya dia main komputer. Gue masih curiga kalau kamera pengawas di sini kemungkinan besar udah disabotase sama orang luar. Jadi, gue mau Yuni kembaliin semua video dari awal, sampai kita bisa nemuin kejanggalan.”
“Bukannya itu bahaya?” sahut Akhtar terdengar cemas. “Walau bagaimanpun juga mereka berdua sempat mengekspose muka, Ster. Ada kalanya salah satu dari pengawal itu mungkin melarikan diri dan mulai mengincar mereka berdua.”
“Justru itu, Tar. Gue yakin kalau keputusan ini menjadi yang terbaik. Karena jauh lebih ringan kalau kita bergerak selangkah di depan dibandingkan harus menunggu pergerakan lain. Itu rasanya mustahil,” balas Alister menghela napas panjang. “Untuk pengarahan lebih lanjut, bakalan gue kasih tahu setelah semuanya beres. Karena kita perlu ke markas buat ngasih tahu mereka berdua lebih jelas.”
Tepat mengatakan hal tersebut, bertepatan pula pintu elevator terbuka membuat mereka bertiga melenggang masuk bersamaan. Dengan perasaan Alister jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Memang apa yang dikatakan lelaki itu perlu dipertimbangkan, terlebih permintaan Delvin memang benar adanya.
Sementara di sisi lain, Jenny dan Yuni tampak menyandarkan tubuh santai. Kedua gadis itu memang langsung dikembalikan tepat nyaris mendapat masalah berada di sana dengan melihat keberadaan Delvin sebelum akhirnya ditangkap akibat identitas terbongkar sebagai polisi.
Untung saja tidak dipukuli sama sekali membuat keadaan Delvin masih baik-baik saja. Sayangnya ponsel milik lelaki itu dihancurkan begitu saja sampai benar-benar tidak terbentu. Menjadikan polisi membenarkannya selama seharian penuh untuk diambil data-data penting di dalam.
Namun, tidak dengan Jody yang ditahan selama 24 jam dan diperbolehkan ketika menuliskan pernyataan sekaligus perjanjian panggilan. Lelaki itu memang tidak boleh mengabaikan satu panggilan pun untuk menghindari interogiasi, atau dijatuhkan hukuman yang sama seperti pelaku.
“Jen, menurut lo, kira-kira Alister bisa nemuin bukti? Gue emang tahu kalau dia itu kapten polisi SWAT, tapi gue masih penasaran dengan kemampuannya,” celetuk Yuni tanpa bergeming di tempatnya.
“Gue yakin dia pasti ngerencanain sesuatu,” timpal Jenny terdengar yakin.
“Kok lo ngomong gitu? Emangnya lo tahu kalau dia lagi ngerencanain sesuatu?” tanya Yuni mengangkat kepalanya menatap Jenny singkat, dan kembali merebahkan diri santai.
“Gue emang enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawab Jenny mengembuskan napas panjang. “Tapi, gue yakin sama satu hal. Kedatangan Tim Investigasi Khusus di sana pasti ada sesuatu.”
“Maksud lo … berkaitan sama kebakaran panti?” ungkap Yuni menegakkan tubuhnya terkejut. Kali ini dirinya memang benar-benar tidak mempercayai apa yang telah terjadi, sampai semuanya memang terasa saling berkaitan satu sama lain.
“Setelah gue dengar perkataan lo, Jen.” Yuni menatap sahabatnya takjub dan mengangguk beberapa kali. “Apa yang lo maksud memang ada kaitannya. Gue emang sempat merhatiin singkap Alister yang terlalu santai. Ternyata ini semua maksud tersembunyi dari dia.”
Jenny menggeleng tidak percaya mendengar perkataan sahabatnya yang baru menyadari sesuatu. Membuat Yuni terlihat memikirkan semuanya dengan serius, sampai benar-benar terfokus.
***
Tepat ketika baru saja meminta bantuan dari Alister yang sejak dulu penasaran dengan kasus belum terpecahkan itu benar-benar membuat Delvin nyaris tidak percaya. Sampai lelaki itu mengetahui dengan sendirinya bahwa keputusan lelaki itu untuk bergerak seperti saat ini memang menjadi kesempatan besar.
Memang sedikit mengejutkan dari Delvin ketika mengetahui alasan kembali dari Amerika hanya untuk menjadi seorang detektif. Padahal pekerjaan lelaki itu menjadi seorang kapten bisa memberikan kehidupan yang layak dan menyenangkan, tetapi tetap saja bagi Alister kurang lengkap ketika belum menjadi seorang detektif.
“Ketua Tim, apa yang harus kita lakukan untuk mereka semua?” tanya salah satu anggota timnya ketika menyadari bukti tidak kunjung keluar, tetap penjara terasa sesak akibat keberadaan mereka.
“Jangan melakukan apa pun,” jawab Delvin menggeleng pelan dengan tatapan kosong.
Sontak hak tersebut membuat bawahannya hanya bisa menghela napas kasar dan memilih melenggang pergi membiarkan Delvin tampak termenung memikirkan sesuatu yang terlihat berat, bisa ditebak dengah mudah ketersediaan Delvin dalam melayani banyak pembicaraan.
Merasa apa saja dilakukan akan sia-sia, Delvin lebih mempercayai bahwa Alister akan kembali dengan sejumlah bukti penguat penahanan mereka yang terlihat. Jelas saja semuanya akan menjadi lebih terang sekaligus mudah, sebab bukti yang mungkin ditemukan bukan hanya masalah n*****a, melainkan pembunuhan bayaran yang belakangan ini sering terjadi tanpa sebab.
Ketika Delvin berusaha mempercayai Alister untuk melakukan penyelidikan, terlihat tiga orang lelaki tengah berdiri menatap dua gadis yang berdiri tegap degan pandangan lurus. Mereka memang telah sampai beberapa menit yang lalu, tepat Jody memilih untuk kembali ke perusahaan dan menghampiri aktris yang berada di bawahnya tengah bermasalah oleh media.
“Kenapa kalian berdua bisa bertepatan ada di sana?” tanya Alister memulai interogasi menyadari Jenny mustahil berada di sana tanpa melakukan apa pun, terlebih gadis itu sama sekali tidak tercium alkohol dari napasnya.
“Ketua Tim, bukankah aku sudah bilang kalau di sana itu awalnya untuk mendatangi Delvin,” jawab Jenny terdengar putus asa menjelaskan tiada henti, lalu menatap ke arah Yuni yang terlihat menunduk ketakutan. “Aku tahu semua ini berkat perkataan Yuni. Jadi, kita berada di sana untuk membantu.”
“Lantas, apa yang kalian perbuat jika tidak membantu Delvin?” tanya Alister lagi.
“Kita menemukan ruangan server, Ketua Tim,” jawab Yuni cepat dan mengangguk mengkode pada Jenny untuk memberi tahu hal yang sebenarnya. “Aku curiga kalau tempat itu menjadi alat komunikasi mereka dengan buyer dari berbagai negara. Karena domain yang digunakan berasal dari Italia.”
“Yuni, apakah ruangan itu memiliki banyak komputer?” Ayres yang menyadari keheningan pun langsung bertanya. Entah kenapa ia seperti merasa tidak asing dengan perkataan Yuni.
“Benar, benar!” jawab Yuni mengangguk kuat. “Tapi, ada salah satu yang bisa berfungsi mengelola semua komputer di sana. Dengan hiasan ala perempuan tepat di atas mejanya.”
Sejenak Ayres pun menoleh ke arah Akhtar dengan kepala memiring bingung, lalu berkata, “Itu komputer yang kita curigai, bukan? Yang hard disk drive-nya hilang. Ingat, enggak lo?”
“Aah, iya benar!” balas Akhtar mengingat kejadian mereka hendak mengambil salah satu HDD untuk dijadikan sebagai penyelidikan, tetapi mendadak hilang dengan kotak penyimpanannya terbuka begitu saja.
Ayres kembali menatap Yuni yang tampak terkejut. “Memangnya apa yang ada di dalam sana?”
“Seluruh data server tersimpan di komputer itu. Awalnya kita hendak mengambil, tetapi ketika mendengar Delvin ditangkap, akhirnya semua fokus teralihkan.”
“Apa lo masih ingat dengan isi di dalamnya, Yun?” tanya Jenny mendadak cemas.
“Masih, tapi gue belum tentu yakin kalau semuanya sama persis dengan ingatan gue. Jadi, gue harus pastiin dulu memang seperti itu adanya,” jawab Yuni mengembuskan napas panjang. Ia merasa sedikit kecewa pada dirinya sendiri.
Alister menegakkan tubuh, lalu memutuskan, “Baiklah. Begini saja, kita sekarang melakukan penyelidikan sampai menyisiri seisi klub itu. Apa pun yang mencurigakan, ambil dan bawa! Jadi, tidak ada yang menyesal kalau misalnya hilang atau memang tidak berguna sama sekali.”
Setelah mendengar keputusan tersebut, akhirnya keempat anggota Tim Investigasi Khusus yang diketuai Alister pun langsung bergegas menuju klub malam tujuan. Mereka tampak mengendarai mobil pribadi milik kepolisian untuk menghindari sesuatu yang telah terjadi.
Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh lima menit untuk sampai di sana dengan kecepatan di bawah rata-rata, akibat beberapa titik kemacetan yang terjadi. Akan tetapi, semua itu tidak berlaku bagi Tim Investigasi Khusus yang hendak mencari apa pun sesuai dengan bukti yang ada. Terlebih mereka memang sangat membutuhkan segala jenis bukti tanpa tertinggal sama sekali.
Di sela mengendarai mobil, Ayres melirik ke arah spion tengah yang memperlihatkan Jenny duduk diampit oleh Yuni dan Akhtar di samping kanannya. Membuat gadis itu berada di tengah-tengah tepat menghadap ke arah spion.
“Jen, sebenarnya gue masih penasaran sama motivasi lo jadi detektif. Padahal lo bisa menjadi pekerja kantoran, ataupun mimpi lain yang lo pengen,” celetuk lelaki itu terdengar memecahkan keheningan.
“Enggak ada alasan khusus buat suka penyelidikan seperti ini, tapi memang agak suka sama hal-hal menantang. Bukan karena gue punya dua kakak laki-laki, karena emang sejak dulu orang tua selalu ngajarin buat mandiri, jadi bisa dibilang memang dari keadaan.” Jenny menghela napas panjang mengingat dirinya masih bersikeras menjadi seorang polisi dibandingkan bekerja mengikuti jejak sang kakak. “Awalnya emang orang tua enggak ada yang setuju, karena risiko menjadi seorang polisi itu besar. Apalagi banyak kejahatan dan kriminal yang enggak bisa kita tebak.”
“Oh ya, benar, Jen! Abang lo yang jadi dokter itu pasti nentang keras banget, ya. Karena dia jadi dokter pasti tahu lebih banyak hal dibandingkan lo sendiri,” sahut Yuni menyadari kisah hidup Jenny yang sedikit lebih rumit.
“Tenang aja. Sekarang abang-abang gue udah pada berusaha buat ngerti kemauan adiknya. Jadi, bisa dibilang bakalan mendukung apa pun. Tapi, gue diperingatin buat enggak pernah terjadi sesuatu, atau semuanya bakalan pupus. Abang-abang gue pasti bakalan ngelarang ikut kegiatan apa pun,” balas Jenny tersenyum singkat.
“Tapi, lo tinggal sendirian, Jen. Yakin enggak ada masalah?” tanya Yuni sedikit tidak percaya.
“Memangnya apa yang harus khawatir? Gue selama ini selalu baik-baik aja kok,” jawab Jenny tertawa pelan menyadari sahabatnya tengah mendadak cemas, meskipun pada kebiasaannya lebih membiarkan apa pun yang menjadi keputusan dirinya.
0o0