Dengan memenuhi permintaan wanita asing yang tanpa sengaja bertabrakan, membuat Arumi bergegas menuju lantai tujuan. Di sana tampak sepi, padahal semua pasien mulai ditambahkan petugas rumah sakit, jelas seharusnya memang terlihat lebih ramai dibandingkan biasanya.
Sejenak perawat perempuan itu menatap ke arah lorong yang dijaga oleh dua polisi bertubuh kekar. Arumi berlari panik ke arah polisi tersebut membuat rencana berhasil, sebab polisi tadi langsung mengalihkan pandangannya.
“Ada apa, Nona?” tanya salah satu polisi tersebut memegangi lengan Arumi dengan menatap cemas.
Arumi menggerakkan kedua matanya panik, lalu menjawab, “Tolong aku! Aku menabrak seseorang di bawah tadi. Semua perawat lelaki sedang pergi melakukan penanganan darurat.”
Kedua polisi tersebut langsung mengalihkan pandangannya, kemudian mengangguk singkat. Mereka berdua tampak berbicara melalui tatapan mata membuat Arumi yang menyadarinya sedikit merasa bersalah, terlebih ia berbohong demi membantu seorang wanita asing tadi.
Ketika Arumi melancarkan aksi pura-puranya, Jenny dan Yuni melenggang keluar dari kamar. Kedua gadis itu menatap ke arah seorang perawat yang berkeringat dingin tengah dipegangi oleh seorang polisi.
“Ada apa?” tanya Jenny penasaran, kemudian menatap ke arah rekan sepekerjaannya yang terlihat saling berpandangan.
“Perawat ini telah melakukan sesuatu pada seseorang,” jawab salah satu dari dua petugas tersebut. “Apakah kita harus membantunya?”
“Memangnya apa yang terjadi?” tanya Yuni menatap satu per satu dari ketiga orang yang berada di luar.
“Wanita itu ... terjatuh,” jawab Arumi terdiam sesaat. “Dokter dan perawat laki-laki sedang menangani perawatan darurat. Tidak ada lagi yang tersisa.”
“Kalian berdua bantu perawat ini menangani wanita itu. Biar kita berada di sini sampai semuanya selesai!” titah Jenny mengangguk singkat. “Tunjukkan di mana tempatnya.”
Arumi mengangguk mantap, lalu berkata, “Ikuti aku!”
Setelah ketiganya melenggang pergi, kini tersisa Jenny dan Yuni mendudukkan diri di kursi tunggu tepat di depan ruang rawat inap. Kedua gadis itu tampak menyandarkan tubuhnya santai menatap ruangan dengan pintu tertutup rapat.
Sedangkan tanpa mereka sadari ternyata ada sepasang mata milik Bel yang memperhatikan dari kejauhan. Wanita itu tampak penasaran apa yang dilakukan oleh para polisi di dalam rumah sakit. Terlebih Jonathan masih memerlukan perawatan intensif setelah diberitakan terkena serangan dari seseorang yang kini masih menjadi pertanyaan besar.
“Nona Bel, di dalam masih ada tiga orang polisi laki-laki. Apakah kita akan mengurungkan niat ke sana hari ini? Aku takut kalau Jonathan sudah menceritakan semuanya,” ungkap Max terdengar cemas, terlebih keberadaan Bel di rumah sakit akan menarik perhatian banyak orang.
“Ada berapa pengikut kita di sini?” tanya Bel menoleh sesaat.
“Sekitar sepuluh orang,” jawab Max. “Tapi, empat orang dari mereka sedang berada di lokasi kecelakaan. Jadi, yang tersisa hanya enam orang dengan tiga perawat dan tiga lainnya dokter.”
“Apakah mereka bisa mengusir lima orang polisi itu?” tanya Bel menatap penuh keyakinan pada para bawahannya.
Max menggeleng ragu, lalu menjawab, “Tidak semudah itu, Nona. Kelima orang ini aku dengar salah satunya lolos dari kecelakaan yang dilakukan oleh Jonathan. Jadi, aku yakin pasti salah satu dari mereka akan merasa curiga ketika tiba-tiba dokter datang memeriksa.”
“Salah satu dari mereka lolos dari kecelakaan? Polisi yang diberitakan melanggar peraturan lalu lintas?” Bel mulai memperhatikan kembali pada dua gadis yang sayangnya duduk membelakangi membuat wanita itu tidak bisa melihat dengan jelas. “Yang mana?”
“Nona lihat ada seorang gadis dengan berkuncir kuda memakai kemeja hitam polos tepat di samping gadis berambut pendek yang sengaja digerai?” Max menunjuk tepat pada dua punggung mungil tersebut. “Gadis berkuncir kuda itu baru saja keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu sekaligus orang yang lolos dalam kecelakaan maut.”
Bel menatap penuh serius. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang sudah lama sekali tidak dilihatnya adalah Jenny, terlebih penapilan gadis itu memang sedikit berbeda dibandingkan dulu. Membuat Bel nyaris tidak mempercayai bahwa memang itu adalah gadis yang menjadi targetnya minggu lalu.
“Apa tujuan mereka datang ke sini?” tanya Bel mengembuskan napas panjang.
“Dari informan, mereka datang untuk menyelidiki hari di mana Jonathan sedang melakukan bisnis di luar negeri bersama kamu, Nona. Jadi, kelima polisi itu curiga kalau semuanya berkaitan, terlebih Jonathan selama ini memiliki beberapa kasus yang menjadi sangkut-paut dengan bisnis ilegal dua bulan lalu,” jawab Max memberikan beberapa foto berkas dari bawahannya yang berada di kepolisian.
Merasa semua kasus semakin memiliki hubungan satu sama lain. Bel menyadari bahwa lima polisi yang berada di dalam ruangan tersebut begitu pintar dalam menangani sesuatu. Pantas saja ketika kelima orang itu disatukan, banyak petugas polisi yang merasa tidak terima sekaligus merasa bahwa sama saja membuang banyak modal yang harus dikeluarkan dalam menyelidiki kasus.
Tepat ketika Bel bersembunyi di balik meja setengah lingkaran penjaga lantai, wanita itu mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menyembulkan kepalanya menatap kedatangan seorang lelaki yang melangkah mendekat ke arah salah satu dari dua gadis tersebut.
Mendengar suara langkah kaki mendekat seiring dengan bayangan seseorang datang, Jenny pun mengalihkan pandangannya. Gadis itu bangkit sambil tersenyum lebar mendapati sang kakak pertamanya datang membawa paper bag di tangan.
“Gue tahu lo di rumah sakit lagi jenguk orang yang gue pukulin habis-habisan,” ucap Debian tersenyum kecut, kemudian menyerahkan paper bag di tangannya. “Cemilan dari karyawan kantor. Gue enggak tahu isinya apaan, tapi katanya enak.”
Jenny menerima pemberian sang kakak dengan tersenyum lebar, lalu membalas, “Ya ampun, Bang! Lo selalu dapat makanan, tapi dikasihin ke gue. Apa mereka kalau tahu enggak ngamuk?”
Mendengar hal tersebut, Debian menggeleng cuek. “Sebenarnya gue juga enggak terlalu ngurus, mau ngasih atau enggak ngasih juga no problem. Yang penting gue enggak ngerugiin mereka, begitupun sebaliknya.”
“Habis ini mau ke mana lagi, Bang?” sahut Yuni terdengar penasaran.
Debian menoleh sesaat, dan menjawab, “Mungkin gue nyamperin Fajrian dulu baru balik ke kantor. Lo mau ikut, Yun?”
“Hah? Enggak, Bang,” tolak Yuni menggeleng cepat.
Sedangkan Jenny yang menyadari terjadi sesuatu di antara Yuni dan Fajrian hanya tersenyum geli. Akan tetapi, ia memilih untuk diam, terlebih bisa dikatakan yang mengejar Yuni bukanlah Fajrian seorang, melainkan ada dua lelaki lainnya. Meskipun Yuni masih menyukai Delvin, tetapi Jenny berani bertaruh bahwa sahabatnya pasti sudah melupakan lelaki itu. Bisa dilihat dengan jelas sikapnya ketika bersama Delvin dan Fajrian yang berbeda.
“Ya udah, Bang. Sana lo balik lagi. Gue mau lanjut interogasi,” celetuk Jenny mengalihkan perhatian. “Jangan terlalu bekerja keras juga, punggung lo belum sembuh. Nanti Bang Faj ngamuk lagi seperti semalam.”
Debian mengacak rambut sang adik dengan gemas. “Tenang aja, lo enggak bakalan dengar ocehan Fajrian lagi. Dia malam ini mau lanjut ngejalanin rumah sakit, jadi lo bisa sendirian lagi di rumah.”
Mendengar perkataan sang kakak yang begitu mengejutkan, Jenny melebarkan mata terkejut. Ekspresi gadis itu tampak tidak percaya sekaligus kecewa menyadari kakak keduanya ternyata kembali menggeluti pekerjaan impian.
Sedangkan raut wajah kekecewaa juga menyelimuti Yuni yang merasa kehilangan. Entah kenapa gadis itu merasa bahwa ada perasaan tidak rela sekaligus egois untuk tetap membiarkan Fajrian berada di sisinya.
“Ya udah, gue mau balik lagi!” putus Debian melenggang pergi menjauhi sang adik bersama Yuni yang terlihat tidak rela ketika mendengar Fajrian kembali menggeluti pekerjaan dibidang medis.
Untung saja Fajrian hanya kembali menekuni diri sebagai direktur rumah sakit, tidak seperti dulu yang selalu melarikan diri dalam pekerjaan di daerah terpencil. Bahkan kebiasaan Fajrian tersebut membuat Jenny merasa sedikit tidak percaya dengan pilihan sang kakak keduanya begitu ekstrem.
Kini langkah kaki Debian menyusuri lorong rumah sakit, tetapi mata tajam lelaki itu terpaku pada punggung seorang wanita yang bergerak cepat menjauhinya. Hal tersebut membuat Debian terlihat penasaran, terlebih ia seperti mengenal semua gerakan langkah kaki wanita itu.
Sementara itu, Bel yang tidak menyangka bahwa Debian akan berada di rumah sakit pun langsung memutuskan untuk cepat-cepat pergi. Wanita yang kini melangkah turun bersama pengawal pribadinya terlihat kesal sekaligus menggerutu tidak percaya. Apalagi sampai melihat bahwa dirinya telah menggeluti pekerjaan yang membawa pada kesialan tersendiri.
“Bel!” panggil seseorang tepat di belakang.
Mendengar suara yang selama ini dirindukannya, Bel tampan ingin sekali berbalik dan memelik lelaki itu. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat banyak, terlebih mereka berdua tidak akan pernah bisa bersama.
“Bel, aku tahu itu kamu!” ucap Debian tegas dan mulai melangkah mendekat.
“Berhenti disitu!” seru Bel membalikkan tubuh dengan tatapan tajam. “Semakin kamu mendekat, maka kita berdua akan semakin menjauh, Bian.”
Mendengar ancaman tersebut, Debian pun memilih mengurungkan niatnya untuk mendekat. Lelaki itu terperangah tidak percaya sekaligus senang melihat seorang wanita yang selama ini telah mengisi hatinya.
“Bel, apa kabarmu?” tanya Debian tersenyum getir.
“Apa aku terlihat baik-baik saja?” Bel tertawa remeh menyadari hidupnya yang begitu miris. “Cepat katakan! Mengapa kamu datang ke sini?”
Debian mengernyitkan keningnya penasaran, lalu berkata, “Kamu masih menggeluti bidang ini, Bel? Mengapa kamu tidak berubah?”
“Jangan bermimpi terlalu jauh, Bian. Aku dan kamu tidak pernah bersama akibat pekerjaan kita yang berbeda,” balas Bel mengangguk mengerti. “Baiklah, kalau kamu tidak memberi tahunya, maka jangan sampai kita bertemu lagi.”
Debian mematung di tempat tanpa berbicara apa pun. Entah kenapa hatinya memilih untuk merelakan wanita itu pergi menjauhinya.
Keterdiaman Debian membuat Bel mengerti bahwa lelaki itu masih tidak setuju dengan pekerjaannya. Mereka berdua memang tidak akan pernah bersama, karena pekerjaan masing-masing yang tidak pernah bisa menyatu dalam kondisi apa pun.
“Keterdiamanmu akan aku asumsikan sebagai jawaban ‘iya’ dalam kamusku, Bian. Maka dari itu, jangan pernah sampai kita bertemu lagi, atau aku akan menganggapmu sebagai musuh.”
Tepat mengatakan hal yang menyakiti hati mereka berdua, akhirnya Bel pun melenggang pergi. Kedua mata wanita itu tampak berkaca-kaca membuat Max yang menyadarinya langsung merasa iba. Lelaki itu menatap ke arah Debian yang ikut menundukkan kepala lemas.
Jelas mereka berdua bisa saja menjadi pasangan yang diimpikan banyak orang. Kalau bukan masalah pekerjaan yang selalu bertentangan, mungkin Bel akan menjadi salah satu wanita beruntung di dunia yang telah memiliki Debian. Seorang lelaki yang selama ini mencintai dengan tulus.
Bel ingin sekali menangis. Ia tidak bisa menahan diri lebih lama membuat wanita itu memilih memasuki salah satu bilik toilet. Meninggalkan Max yang menatap kepergiannya dengan raut wajah kecewa.
Tak menunggu lama, Bel langsung menangis sejadi-jadinya. Ia menumpahkan semua kerinduan yang berada di dalam hatinya. Sudah lama sekali wanita itu menahan diri, tetapi baru kali ini dirinya menangis tepat selesai bertemu dengan Debian.
Sementara itu, di sisi lain Debian tampak mengusap wajahnya kasar. Mata lelaki itu tampak memerah sebelum akhirnya melanjutkan kedua langkah kakinya menyusuri lorong rumah sakit. Ia disambut oleh Mike yang telah berdiri tepat di depan pintu elevator.
“Apa yang terjadi, Bos?” tanya Mike memberikan ponsel ke arah sang bos, sebab lelaki itu sempat melupakan benda pipih yang begitu penting dalam kondisi apa pun.
“Tidak ada,” jawab Debian menggeleng singkat. Ia menghindari pertanyaan sensitif ketika dalam suasana hati berantakan. “Bagaimana dengan kondisi Fajrian sekarang?”
“Pak Fajrian sudah menerima kabar kalau Jonathan masuk ke rumah sakit, mungkin sekarang dalam perjalanan ke sini.”
“Baiklah. Kita kembali ke perusahaan sekarang!” titah Debian melenggang masuk, tetapi punggungnya yang terasa sakit membuat lelaki itu tiba-tiba kehilangan keseimbangannya hingga bersandar pada dinding elevator.
Melihat hal tersebut, Mike langsung memegang pundak bosnya dengan menatap panik. “Apa yang terjadi, Bos? Luka dipunggungmu terbuka lagi?”
Debian menggeleng pelan sembari meringis kesakitan. “Saya tidak tahu. Tiba-tiba terasa begitu sakit.”
“Ayo, Bos, kita periksa dulu!” ajak Mike memapah tubuh Debian memasuki elevator. Mereka berdua hendak turun ke lantai 1, tempat di mana keberadaan UGD sekaligus beberapa dokter yang sudah berada di sana untuk melakukan pemeriksaan.
Sejenak Debian pun dibawa menuju UGD untuk pengecekan lebih lanjut terhadap luka jahitan yang berada di punggung. Bisa dikatakan lelaki itu benar-benar perkasa sampai tetap melakukan banyak kegiatan, meskipun lukanya masih basah dan diganti perban dalam sehari sekali oleh Fajrian.
Dokter yang menangani luka Debian pun menghela napas panjang, menyadari luka jahitan mulai terbuka beberapa bagian.
“Lukanya terbuka cukup parah,” ucap dokter tersebut menggeleng pelan. “Apakah Pak Debian langsung beraktivitas? Dilihat dari kondisinya benar-benar tidak pernah beristirahat.”
Mike mengangguk singkat, lalu membalas, “Memang setelah melakukan penjahitan langsung bergegas ke perusahaan. Apakah itu juga berbahaya, Dok?”
“Berbahaya sudah jelas pasti.” Dokter tersebut menatap rekam medis milik Debian yang begitu sehat sampai bisa dikatakan bukan fisik seorang pengusaha. “Tapi, kondisi Pak Debian belakangan ini sedikit drop akibat luka jahitannya. Walaupun sudah diobati dan rutin mengganti perban, tetap saja kondisinya belum terlalu prima untuk melakukan pekerjaan. Ada baiknya setelah dari sini untuk beristirahat seminggu total sampai benang jahitnya bisa dilepas.”
“Seminggu sudah lebih dari cukup, Dok?” tanya Mike memastikan.
“Untuk ukuran Pak Debian sudah lebih dari cukup, karena imunnya sudah kembali seperti semula. Dan secara tidak langsung, pengobatan dalam tubuhnya juga berjalan lancar. Intinya jangan terlalu banyak pikiran, apalagi sampai menyakiti diri sendiri,” jawab dokter tersebut mengangguk mantap.
“Saya tidak bisa menunggu seminggu, Dok!” ungkap Debian secara mendadak.