“Bang!”
Panggilan dari Fajrian yang baru saja memasuki rumah bersama Mike pun membuat Debian di dapur langsung melenggang keluar. Ia tersenyum tipis melihat kedatangan sang adik yang sudah lama sekali tidak saling bertemu.
Fajrian menghamburkan pelukan sesaat. Namun, tidak dengan bibirnya yang menyungging senyuman paksa menyadari tubuh sang kakak terluka. Akan tetapi, lelaki itu memilih untuk tidak mengatakan apa pun, karena mereka berdua memang membutuhkan perbincangan serius.
“Tuan Bian, semua barangnya sudah selesai. Ada yang bisa saya lakukan lagi?” tanya Mike setelah menempatkan barang bawaan Fajrian di kamar lelaki tersebut.
“Tidak. Kamu bisa kembali besok, Mike. Aturkan semua jadwal besok secara penuh. Saya ingin menyelesaikannya dalam satu hari,” jawab Debian menggeleng singkat.
Dengan mengangguk singkat, Mike pun langsung melenggang pergi meninggalkan kedua kakak beradik yang terlihat hendak berbincang penting. Membuat lelaki yang selama ini menjadi asisten sekaligus sekretaris untuk Debian memutuskan untuk melenggang pergi dengan perasaan lega. Terlebih lelaki itu memiliki pekerjaan yang cukup banyak untuk keperluan sang bos besok.
Sepeninggalnya Mike yang hendak mengerjakan seluruh tugasnya, Debian pun mengikuti kepergian Fajrian membawa dua kantung kresek berisikan makan malam. Sejenak lelaki itu melepaskan semua kotak pembungkus makan tersebut.
“Lo tahu masalah ini?” celetuk Debian mendudukkan diri di kursi bar sembari memperhatikan sang adik yang terlihat sibuk menempatkan makan malam sekaligus cemilan di piring.
“Gue tahu semuaya, Bang,” balas Fajrian datar tanpa menatap sama sekali.
“Bagaimana tanggapan lo?”
Sejenak Fajrian mengembuskan napas panjang, lalu menatap sang kakak penuh. “Masalah ini enggak sesederhana kelihatannya, Bang. Gue perlu ngelihat Jenny dulu, baru kita berdua pikirin masalah ini. Karena ketakutan gue bener-bener terjadi. Bukan cuma Jenny aja yang bakalan nyelidikin, tapi ada orang tertentu juga yang membutuhkan penjelasan dibalik semua masalah ini. Jadi, kita jangan pernah gegabah apalagi sampai nyakitin diri sendiri.”
Debian terdiam mendengar penuturan sang adik membuat lelaki itu menghela napas panjang.
“Gue tahu punggung lo luka, ‘kan?” sinis Fajrian menggeleng tidak percaya. “Tenang aja. Masalah ini bakalan jadi perhatian gue ke sini. Jadi, lo fokus aja ngurus kerjaan sekaligus ngawasin Jenny. Jangan sampai hal begini terjadi dua kali. Apalagi lo bikin kekacauan sampai gue harus nyuruh orang buat nyelesaiinnya.”
“Iya, iya, gue terlalu gegabah tadi. Lo jangan terlalu keras sama gue dong,” balas Debian dengan wajah merenggut kesal.
Fajrian menyerahkan sepiring berisikan sandwich sekaligus potongan dessert cukup besar. “Makan dulu. Baru kita omongin lagi besok. Gue lelah sekaligus laper, untungnya gue enggak sampai jet lag. Jadi, gue mau istirahat dulu dan lo juga pasti harus istirahat, Bang. Kita udahin dulu perbincangannya.”
Merasa apa yang dikatakan oleh Fajrian benar adanya, membuat Debian terdiam mengangguk mengerti. Lelaki itu mengambil makanan penutup dari sang adik dan mulai mengunyah secara perlahan. Ia sesekali memikirkan apa yang harus dilakukan besok, terlebih semuanya masih sangat kacau. Ditambah punggungnya yang bekas dijahit masih terasa sakit.
Akan tetapi, Debian tidak boleh memperlihatkan kesakitannya. Sebab, seluruh orang yang berada di sekitar memang memungkinan memiliki niatan jahat. Terlebih apa yang dialami oleh Jenny bukanlah kecelakaan semata.
Tak lama kemudian, Debian dan Fajrian pun menyelesaikan makan malam berdua. Membuat kedua lelaki itu pun memutuskan untuk memasuki kamar masing-masing. Debian yang belum bisa tidur pun memilih bekerja memeriksa kotak masuk email sekaligus memisahkan berkas untuk keperluan besok.
Sedangkan Fajrian yang sudah merasa lelah pun langsung tertidur tanpa menunggu lama. Lelaki itu benar-benar terlelap seakan tidak terjadi apa pun. Sebab, jet lag yang sempat dirasakan tadi sudah seperkian menghilang meski tidak sepenuhnya.
Malam berlalu dengan begitu sunyi. Kedua lelaki yang berada di rumah berlantai 2 itu tampak sepi. Biasanya memang hanya diisi oleh Jenny, sehingga sedikit menarik perhatian bagi beberapa tetangganya yang kebetulan mendapati Fajrian baru saja kembali bersama Mike.
Keesokkan harinya, Fajrian terbangun lebih dulu. Ia melenggang santai tanpa menggunakan atasan sama sekali keluar dari kamar. Lelaki itu tampak menatap sekeliling rumah yang terlihat sepi, membuat Fajrian menyadari bahwa Debian kemungkinan masih sibuk di kamar.
Ketika baru saja keluar dari kamar masih sehabis membersihkan tubuh Fajrian pun mengenakan kaus putih polos dengan celana pendek berwarna hitam. Lelaki itu menatap punggung lebar Debian tengah berdiri di mini bar dengan meneguk air mineral.
“Bang, punggung lo dijahit itu, ya?” tebak Fajrian menggeleng pelan, kemudian mendudukkan diri tepat di samping sang kakak yang bertubuh lebih besar dibandingkan diri. “Badan lo makin keker aja. Nge-gym berapa kali sebulan?”
Debian menoleh sesaat, lalu menjawab, “Gue kena pisaunya Jonathan. Sekitar 14 jahitan, tapi masih basah mungkin. Gue mau mandi juga takutnya infeksi.”
“Luka dijahit emang enggak boleh mandi, Bang!” sungut Fajrian menyadari sang kakak tidak mengerti tentang medis sama sekali. “Oh ya, hari ini gue mau jenguk Jenny. Lo mau ikut?”
Debian menggeleng pelan. “Gue ada kerjaan seharian ini. Mungkin baru bisa jenguk Jenny besok. Lo sekalian kenalan sama rekan barunya dia. Bener-bener jago bela diri dan bisa dibilang polisi paling hebat yang gue kenal.”
“Kenapa emangnya, Bang? Gue belum pernah denger lo muji orang lain,” tanya Fajrian mengernyitkan kening penasaran, lalu kembali melanjutkan dengan setengah bergumam, “selain Jenny pastinya.”
“Pokoknya lo kenalan sendiri aja,” jawab Debian acuh tak acuh dengan bangkit dari tempat duduknya. “Lo bikin sarapan sendiri. Gue mau langsung berangkat. Lima menit lagi Mike datang ke sini.”
Mendengar hal tersebut, Fajrian pun memutar tubuhnya menatap ke arah sang kakak yang benar-benar kembali melenggang ke atas tanpa beban. Meninggalkan dirinya yang baru saja kembali dari lima tahun berada di negeri orang lain.
“Bang, lo bener-bener, ya!” seru Fajrian kesal menyadari sang kakak ternyata secara halus menyuruh dirinya untuk mencari sarapan sendiri.
Tidak ingin memedulikan sang kakak lagi, akhirnya Fajrian pun bangkit mencari sisa stok makanan yang bisa mengganjal pagi ini. Akan tetapi, tidak ada satu pun sisa stok makanan, selain beras yang lelaki itu temukan.
Di saat benar-benar menyerah mencari makanan yang tidak ada sama sekali, Fajrian memutuskan untuk keluar. Ia akan memburu makanan apa pun yang tersisa di luar. Terlebih keadaan masih cukup gelap untuk mencari makanan, membuat lelaki itu hanya bisa pasrah menemukan pedagang pinggir jalan.
Kebetulan yang tepat, terdapat seorang pedagang di pinggir jalan menjual nasi uduk. Hal tersebut membuat Fajrian tersenyum senang, terlebih memang dirinya sudah lama tidak memakan makanan yang terasa nikmat dari bahan santan.
***
Selesai perdramaan pagi yang cukup tragis dengan berakhir membeli dua bungkus nasi uduk, untuk sang kakak dan dirinya sendiri, akhirnya Fajrian memutuskan langsung ke rumah sakit. Lelaki itu membawa tas cukup besar berisikan cemilan sekaligus oleh-oleh dari China selama bekerja sekaligus memperdalam ilmu medis untuk bekal dirinya sendiri.
Fajrian mengeluarkan mobil kesayangannya dari garasi. Lelaki itu tampak menyetir dengan sedikit gugup, sebab sudah lama sekali dirinya tidak berkendara melalui lajur kiri, sehingga membutuhkan konsentrasi agar tidak memutar stir mobilnya mendadak ke kanan.
Sepanjang perjalanan, tubuh Fajrian sedikit kaku ketika menduduki jok kemudi. Untung saja perjalanan tidak berlangsung lama, lelaki itu telah sampai di pekarangan rumah sakit yang ditunjukan oleh Debian.
Lelaki tampan yang mengenakan kemeja formal berwarna biru dengan celana panjang berwarna hitam. Entah kenapa Fajrian sedikit pusing memilih pakaian yang cocok untuk berada di rumah sakit, tanpa meninggalkan kesan dirinya sebagai seorang dokter.
Sesaat tatapan Fajrian mengarah pada seorang lelaki yang berdiri tepat di depan pintu masuk. Mereka berdua saling bertatapan selama beberapa detik, sebelum akhirnya lelaki tersebut keluar dan Fajrian yang melenggang masuk membawa tas besar cukup berat.
Sejenak Fajrian melangkah menuju bagian administrasi yang memperlihatkan dua suster tengah berganti shift. Kedatangan seorang lelaki tampan itu pun membuat dua suster cantik dengan sendirinya menyingkir. Mempersilakan Fajrian yang begitu tampan mulai memberi tahu maksud kedatangannya.
“Permisi, selamat pagi!” sapa Fajrian tersenyum hangat menatap ke arah salah satu suster di hadapannya. “Pasien atas nama Aleyza Jenny Naiaraputri, di mana ruangannya, ya?”
“Dengan siapa ini?” tanya suster tersebut balik.
“Saya kakak keduanya bernama Fajrian,” jawab dengan sopan dan sesekali tersenyum ke arah dua suster yang memperhatikannya tanpa berkedip sama sekali.
Sejenak suster yang bertugas pun mencatat daftar kunjungan milik seorang pasien polisi perempuan. Tentu saja mereka memberlakukan sedikit khusus, akibat pekerjaan Jenny bukanlah orang sembarangan. Sehingga memiliki peraturan tersendiri dalam setiap kedatangan kunjungan.
“Baik, Pak Fajrian. Silakan tanda tangan untuk mengisi kehadiran di sini,” titah suster tersebut menunjukkan tempatnya dengan sopan. “Lalu, tinggalkan kartu identitas untuk melakukan pengecekan lebih lanjut. Karena pasien yang bernama Aleyza Jenny Naiaraputri memiliki pelayanan khusus. Sehingga tidak bisa sembarangan orang masuk.”
Fajrian mengangguk singkat, kemudian memperlihatkan kartu tanda penduduk miliknya yang masih berlaku. Untung saja lelaki itu sempat memperbaruinya ketika sebelum berangkat ke China. Seketika tidak perlu melakukan pembaruan apa pun lagi.
“Pak Fajrian seorang dokter, benar?” tanya suster tersebut memastikan.
“Iya, saya seorang dokter,” jawab Fajrian mengangguk lugas.
“Silakan masuk, Pak! Ruangannya ada di lantai 5 nomor 504 tepat paling ujung di lantai tersebut.”
Setelah mendapatkan jawaban tersebut, akhirnya Fajrian pun menerima kembali kartu identitasnya yang sudah selesai diverifikasi. Tentu saja ia bisa mendengar suara penuh kekaguman dari dua suster di sampingnya.
Akan tetapi, mereka jelas tidak bisa melakukan lebih banyak kegiatan, sebab demi menjaga kenyamanan para pengunjung rumah sakit. Agar mereka tetap bisa beraktivitas tanpa merasa dihambat oleh seseorang.
Dengan memencet tombol angka 5 pada elevator, Fajrian pun berdiri tepat di tengah ruangan kecil berbentuk persegi dengan bahan logam. Beberapa kali angka digital berwarna merah tepat di ambang pintu bergerak sesuai dengan lantai yang dilaluinya.
Tepat ketika pintu berdenting pelan, Fajrian melenggang keluar menatap sekeliling lantai yang terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang berdiri untuk mengantri sesuatu, tetapi suasana di sana begitu sunyi, seakan tidak ada penghuninya.
Namun, perhatian Fajrian sedikit teralihkan ketika melihat beberapa pintu tertutup yang memperlihatkan nomor kamar. Membuat lelaki bergegas melangkah kedua matanya memperhatikan setiap nomor pintu yang tertera.
Sampai di ujung lantai ia melihat dua polisi berjaga tepat di ambang pintu membuat Fajrian mengangguk mengerti. Pantas saja tidak mudah dimasuki oleh seseorang, karena memang penjagaannya yang begitu ketat.
“Dengan siapa?” tanya salah satu polisi yang berjaga.
“Saya Fajrian,” jawab lelaki itu menatap malas, karena sang kakak tidak pernah memberi tahu apap pun mengenai keharusan untuk memberi tahu bahwa kedatangan memerlukan beberapa identitas jelas.
“Silakan masuk, Pak Fajrian! Kami dari kepolisian meminta maaf atas ketidaknyamanannya. Tapi, semua ini dilakukan agar petugas tidak ada yang kembali terluka, jadi tolong dimengerti dengan ketentuan yang berlaku.”
Fajrian mengangguk singkat, lalu berkata sembari menepuk pundak lelaki itu, “Terima kasih atas kerja kerasnya.”
Lelaki tampan itu pun melenggang masuk mendapati Yuni tengah bermain laptop dengan sesekali mengambil air minum yang kosong di sampingnya. Hal tersebut membuat Fajrian menghampiri gadis itu dan menuangkan ulang air mineral sampai sang pemiliknya menoleh terkejut.
“Bang Fajri?” beo Yuni spontan berdiri dengan tersenyum senang. “Kapan ke Indonesia?”
“Baru aja gue sampe semalem,” jawab Fajrian membalas senyuman dengan tak kalah manis, kemudian membuka kedua tangannya untuk menerima pelukan dari gadis mungil yang tanpa disangka sudah dewasa.
Tanpa pikir panjang Yuni langsung menghamburkan pelukan pada seorang lelaki yang begitu dikagumi ketika dirinya masih remaja. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sejak dulu Yuni sudah tertarik dengan Fajrian, tetapi lain halnya dengan lelaki itu yang hanya menganggap bahwa Yuni sebagai adiknya sendiri. Sama seperti ketika lelaki itu menganggap Jenny.
“Bang Fajri apa kabar?” tanya Yuni menyembulkan kepalanya menatap seorang lelaki yang ternyata sudah jauh lebih tinggi, padahal ketika dirinya masih remaja lelaki itu memang cukup tinggi, tetapi tidak seperti yang saat ini.
“Gue baik-baik aja,” jawab Fajrian mengacak rambut Yuni gemas sembari melonggarkan pelukannya.
Yuni tersenyum kecut melihat ke arah Jenny yang masih belum sadarkan diri. “Jenny belum sadar juga, Bang. Gue enggak tahu harus berbuat apa lagi, karena dokter pun bilang kalau Jenny belum memiliki keinginan untuk bangun.”
Mendengar hal tersebut, Fajrian pun melangkah mendekat. Ia memeriksa tekanan darah, detak jantung, dan sirkulasi napas yang dilakukan oleh adiknya. Lelaki itu sesekali mengernyitkan keningnya bingung menyadari Jenny setengah koma, tetapi tidak bisa dibilang koma.
“Bagaimana keadaan Jenny ketika dibawa kemari?” tanya Fajrian menoleh ke arah Yuni sesaat.
“Kita semua enggak ada yang tahu, Bang. Karena pas datang kemari juga berkat kabar dari Delvin yang langsung terhubung sama kepolisian lalu lintas,” jawab Yuni menggeleng pelan.
Sejenak Fajrian mengusap wajahnya serius, lalu berkata, “Jenny mengalami syok berat terhadap otaknya. Kemungkinan besar dia secara alam bawah sadar masih mengingat kejadian itu berulang-ulang, sampai tidak bisa menemukan kesadaran. Tapi, jangan cemas Jenny pasti bisa bangun setelah dia sadar bahwa itu bukanlah alam yang seharusnya dia tempati.”
0o0