“Apa beliau juga mendukung tindakan kita?”
Kemungkinan memang terjadi kecurigaan yang besar tentang Tim Investigasi Khusus muncul ke permukaan, sebab pendirian tim rahasia itu saja mulai tidak sukai banyak orang. Akibatnya memang mereka yang menjadi anggota tim tersebut akan menjadi lebih sering disalahkan.
Pertanyaan dari Ayres sukses membuat semua tatapan mereka saling berpandangan satu sama lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang dikatakan Ayres memang benar. Terlebih lelaki itu memiliki ketegangan tersendiri terhadap seluruh hal yang terjadi.
“Semua akan tetap mengakui bahwa apa yang dikatakan Ayres memang ada benarnya,” jawab Akhtar mengangguk beberapa kali. “Begini saja, kita akan mendapatkan hukuman apa pun, tetapi bukan berarti kita akan berhenti menyelidiki.”
“Maksudmu ... kita akan menerima semua hukuman, walaupun nantinya menghambat penyelidikan?” sahut Alister mengernyitkan keningnya bingung. Ia berusaha mencerna maksud perkataan Akhtar yang terdengar membingungkan.
Sejenak Yuni pun terdiam menimbang perkataan dari lelaki yang berada di hadapannya. Memang sebagian perkataan yang dilakukan oleh Ayres dan Akhar terdengar meyakinkan. Terlebih Listanto tidak akan melepaskan petugas polisi mana pun yang membuat keributan, sehingga lelaki itu akan memberikan skors penuh bagi siapa pun yang melanggarnya.
Sedangkan Debian dan Mike yang tidak memiliki urusan dengan kepolisian hanya sibuk mendengarkan. Kedua lelaki itu hanya mencemaskan tentang kesehatan Jenny yang tidak kunjung membaik. Padahal sudah beberapa hari gadis itu dirawat.
“Yuni, apa yang dikatakan dokter? Apa Jenny sudah lebih baik daripada sebelumnya?” tanya Debian terdengar cemas.
“Semakin hari memang semakin baik, tapi tanda-tanda untuk sadar belum ditemukan,” jawab Yuni menggeleng pelan. “Dokter juga sedang berupaya untuk Jenny kembali sadar, meskipun semua kembali pada dirinya sendiri. Jenny siap atau tidak untuk membuka matanya dan menjelaskan semua yang telah terjadi pada kita,” tutur Yuni panjang lebar dengan menjawab seluruh pertanyaan dari Debian yang terdengar cemas.
Mendengar hal tersebut, Debian mengembuskan napasnya panjang. Entah kenapa semua beban berat mendadak bersarang di pundaknya. Meskipun apa yang dikatakan Yuni sudah terdengar berkali-kali, tetapi tetap saja Debian merasa bahwa semua yang telah terjadi memang hanyalah mimpi.
“Bos, mau kembali ke rumah?” tawar Mike menyadari sang bos terlihat kelelahan.
Tentu saja lelaki itu pasti sangat kelelahan setelah bertarung dengan banyak orang sendirian. Ditambah Debian harus kembali ke rumah sakit untuk memastikan bahwa adiknya baik-baik saja. Walaupun sudah ditemani oleh Yuni sejak kemarin.
“Jangan, kita tetap berada di sini,” tolak Debian menggeleng pelan. “Tolong kamu belikan kopi untuk kita semua. Aku benar-benar merasa sangat pusing sekarang.”
“Baik Bos!”
Tanpa pikir panjang Mike langsung bergegas melenggang keluar dari ruangan. Seorang lelaki dengan luka yang tidak terlalu banyak itu memang paling cocok untuk keluar. Selain tidak ada yang merasa takut, mungkin semua orang akan menganggapnya biasa saja. Terlebih wajah Mike yang tampak menjadi nilai plus terhadap penilaian seseorang.
Sepeninggalnya Mike melenggang keluar untuk membeli kopi, lain hal dengan Debian tampak menyandarkan tubuh meski punggungnya masih terasa begitu sakit sampai sesekali meringis pelan. Membuat Yuni mengalihkan pandangannya.
“Bang Bian, kenapa?” tanya Yuni terdengar cemas.
Debian menggeleng pelan, lalu menjawab, “Tenang aja. Cuma sakit gara-gara tadi.”
Namun, sayang sekali Ayres yang mendengar perkataan itu pun langsung menyela, “Enggak apa-apa dari mana? Punggung sobek sampe dijahit bisa-bisanya bilang enggak apa-apa.”
Mendengar hal tersebut, Yuni pun melebarkan matanya terkejut. Kemudian, gadis itu langsung bangkit dari tempat duduknya dan berdiri tepat di sampingnya Debian. Ia menatap penuh pada seorang lelaki yang kini meringis pelan.
“Coba lihat!” pinta Yuni terdengar memerintah.
Sedangkan Alister, Akhtar, dan Ayres hanya menggeleng pelan ketika melihat tatapan penuh meminta pertolongan dari Debian. Ketiga lelaki itu memang tidak bisa melakukan apa pun, selain membiarkan Yuni melepaskan rasa penasarannya sendiri.
Debian yang tidak memiliki pilihan lain pun langsung membuka kemejanya. Memperlihatkan tubuh berotot yang begitu mengagumkan. Membuat Yuni spontan berbalik mengalihkan perhatiannya dari tubuh seksi milik Debian.
Hal tersebut tidak luput dari pandangan Akhtar yang terlihat sedikit tidak suka. Entah kenapa lelaki itu seperti menahan sesuatu, tetapi tidak mengungkapkannya sama sekali. Membuat Ayres yang menyadarinya langsung menggeleng samar.
Debian memutar tubuh sampai tepat memunggungi Yuni. Lelaki itu benar-benar memperlihatkan luka sayatan yang begitu panjang pada punggungnya membuat Yuni secara perlahan berbalik. Ia melihat jahitan yang masih diperban memang benar-benar panjang.
“Sudah lihat, ‘kan?” tanya Debian kembali menaikkan kemeja putihnya yang sudah berganti menjadi lebih bersih. Untung saja lelaki itu selalu memiliki kemeja cadangan, sehingga tidak perlu takut ketika terjadi sesuatu.
“Itu akan menjadi bekas, bukan?” Yuni bertanya mengenai luka jahitan yang berada di punggung lelaki tersebut.
“Sepenuhnya kemungkinan kecil,” jawab Debian santai.
“Bukan,” ralat Yuni cepat. “Luka jahitan di punggung lainnya. bukan yang dapat tadi.”
Mendengar hal tersebut, Ayres pun menoleh terkejut. Lelaki itu nyaris tidak mempercayai bahwa pekerjaan seorang pembisnis saja memiliki musuh sampai mengerikan. Bermain pisau layaknya anak-anak.
“Oh ... itu luka lama,” balas Debian meringis pelan. Ia mulai merutuki kebodohannya yang tidak menyadari bahwa ada luka lain di tubuhnya.
Pada suasana menegangkan akibat Debian tidak kunjung menjawab, Mike pun kembali. Lelaki itu membawa enam kopi pesanan yang berbagai macam rasa, termasuk khusus seorang perempuan menjadi milik Yuni.
“Pesanan kopi sudah sampai!” ucap Mike menaruh belanjaannya di atas meja, kemudian memberikan cup kopi pertama pada Debian.
“Beli apa itu?” tanya Debian penasaran menyadari sekretarisnya bukan hanya memesan kopi, melainkan ada beberapa dessert yang menarik perhatian.
Mike menoleh sesaat, lalu membuka satu per satu kotak yang menutupinya. “Tadi kafenya memberikan dessert ini secara gratis, karena salah satu karyawannya sedang berulang tahun. Sehingga pemberian dessert-nya sesuai dengan pesanan kopi.”
“Wah ... kok bisa tepat banget?” gumam Yuni tersenyum senang sekaligus tidak percaya. Ia mulai membuka dessert tersebut yang ditutupi kotak, kemudian mulai memotongkan menggunakan sendok.
“Enak!” puji Alister mengangguk beberapa kali merasakan dessert yang begitu lembut di mulut.
“Bener!” timpal Ayres terlihat bahagia. “Ternyata kafe-kafe kalau lagi ada ulang tahun selalu memberikan makanan gratis, ya?”
“Sebenarnya enggak juga!” sahut Akhtar cepat. “Biasanya berlaku buat karyawan berada ataupun pemilik kafenya aja. Karena rata-rata yang bekerja di sini memiliki keuangan cukup sulit.”
Mendapat respon menyebalkan dari sahabatnya yang sesuai dengan kenyataan memang membuat Ayres sedikit lebih sadar diri. Akan tetapi, ia tetap senang jika mendapatkan banyak makanan seperti ini. Terlebih secara gratis dan tidak perlu mengeluarkan uang sama sekali.
***
Setelah beberapa jam berada di rumah sakit, akhirnya Debian memutuskan untuk kembali pulang. Lelaki itu nyatanya hendak mencuci pakaian yang penuh dengan noda merah membuat Debian harus bergegas mencucinya sebelum diketahui oleh Fajrian maupun Jenny.
Jelas saja lelaki itu memiliki rahasia yang tersembunyi cukup besar. Hanya dirinya dan beberapa orang terpercaya saja mengetahui rahasia tersebut. Bahkan Mike yang selalu berada di sisi sang bos pun sampai sekarang belum menyadarinya sama sekali.
Selesai memasukkan pakaian sekaligus beberapa jenis sabun ke dalam mesin penggiling cucian, Debian yang bertelanjang d**a melangkah dengan santai menuju dapur. Ia hendak memasak makan malam untuk dirinya sendiri.
Di dalam lemari pendingin hanya ada beberapa butir telur dan sosis dalam kemasan. Membuat Debian memutuskan untuk menggoreng sisa nasi yang nyaris basi. Untung saja lelaki itu kembali pulang untuk berganti pakaian, sehingga sisa nasi bisa terselamatkan dengan baik.
Selama berkutat di dapur, Debian tidak memeriksa ponselnya sama sekali. Padahal benda pipih yang berada di ruang tengah itu tampak bergetar pelan. Memperlihatkan sebuah panggilan dari seseorang yang sudah bergerak sejak tadi.
Selesai menggoreng nasi, Debian mulai menuangkan makanan yang tercium aroma harum membuat bibirnya menyungging senyuman puas. Ia menyadari bakatnya dalam memasak kembali seperti dulu, setelah beberapa kali membiasakan diri memegang alat memasak ketika tinggal bersama Jenny. Agar gadis itu tidak merasa keberatan dengan keberadaan sang kakak yang kembali.
Debian membawa piring berisikan nasi goreng tersebut bersama segelas air mineral menuju ruang tengah. Matanya yang tajam dan memikat itu tampak menatap ke arah benda pipih bergerak pelan. Membuat lelaki itu mengernyitkan keningnya sesaat, dan menaruh barang bawaanya di atas meja.
“Lo udah sampe?” tanya Debian tepat panggilannya tersambung.
Terdengar suara pergerakan yang cukup berisik, sebelum akhirnya suara seorang lelaki menyambut telinga. Membuat Debian tanpa sadar tersenyum lega.
“Iya, Bang. Gue baru check out dan sekarang lagi keluar bandara.”
“Di sana udah ada Mike.”
“Sekretaris lo yang dulu, Bang? Langgeng banget kerjanya.”
“Bawahan betah itu tergantung atasannya,” ungkap Debian menggeleng pelan. “Lo mau langsung balik atau ke rumah sakit dulu? Gue ada di rumah.”
“Di rumah sakit ada Yuni, ‘kan? Gue mau langsung balik aja. Bawaan gue banyak banget, yang ada malah jadi dikira kabur dari rumah,” balas Fajrian dengan sedikit nada canda.
Namun, sayangnya lelaki itu lupa bahwa kakak tertuanya begitu serius. Jelas Debian tidak akan tertawa jika bukan Jenny yang melemparkan lelucon. Sebab, Jenny pernah memusuhi kedua kakaknya akibat mereka berdua kompak bersikap menyebalkan.
Sampai pada akhirnya, Jenny benar-benar mendiami dua kakaknya cukup lama. Bahkan membutuhkan kedua orang tuanya untuk menjelaskan pada Jenny, bahwa tidak ada maksud dari Debian dan Fajrian mengabaikan lelucon Jenny.
Sehingga apa pun yang dilontarkan Jenny akan selalu ditanggapi oleh kedua kakaknya. Tidak menutup kemungkinan memang hanya di hadapan gadis itu kedua lelaki dewasa tersebut bisa memiliki sifat yang berbeda.
“Ya udah,” kata Debian santai. “Jangan lupa beli makan malam. Di rumah enggak ada stok apa pun, Jenny lagi sakit. Jadi, gue beli seperlunya aja.”
“Oke!”
Melakukan panggilan bersama sang kakak selama beberapa saat membuat Fajrian kembali melanjutkan langkah kakinya menghampiri mobil yang terlihat tidak asing. Namun, Fajrian tidak menemukan keberadaan Mike membuat lelaki itu sedikit penasaran. Terlebih biasanya lelaki yang selalu mengikuti sang kakak itu selalu berada di tempat apa pun alasannya.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Fajrian pun melihat kedatangan Mike bersama mobil lainnya membuat lelaki itu mengernyit bingung. Entah kenapa ia mendadak tidak mengerti melihat Mike baru datang.
“Tuan Fajrian, maaf saya terlambat!” sesal Mike meringis pelan melihat Fajrian telah berdiri tepat di belakang mobil milik orang lain.
Fajrian memiringkan kepala bingung, lalu bertanya, “Bukankah ini mobil Bang Bian? Mengapa kamu datang dengan mobil lain?”
“Bukan,” jawab Mike menggeleng singkat sembari mengangkat beberapa koper milik adik dari bosnya yang cukup besar. “Tuan Bian sudah tidak menggunakan mobil seperti itu lagi. Karena yang sekarang beberapa mobilnya telah dijual sejak tidak berada di Indonesia.”
“Jenny?”
“Nona Jenny menggunakan mobil pribadinya yang dibeli melalui gaji dari pekerjaannya sebagai polisi.”
Fajrian mengangguk beberapa kali sembari tersenyum bangga mendengar pencapaian sang adik. “Ternyata Jenny udah bisa menghasilkan uang sendiri, ya? Lantas, Bang Bian sering mengirimkan uang?”
“Tuan Bian selalu mengirimkan uang secara rutin kepada Nona Jenny selama di Amerika,” jawab Mike lagi.
“Baiklah. Kita mampir dulu ke restoran pinggir jalan. Saya ingin membeli makan malam dulu.”
Fajrian membuka pintu mobil, sebab kedua kakinya terasa begitu kaku terlalu banyak berdiri. Terlebih menunggu kedatangan Mike selama beberapa menit membuat lelaki itu sedikit kelelahan. Ditambah perjalanan yang dilaluinya cukup lama, sampai benar-benar nyaris tidak kuat untuk berdiri lebih lama.
Selama berada di dalam mobil, Fajrian membuka air mineral yang berada di dalam botol. Ia meneguknya beberapa kali, Fajrian memutuskan untuk tidur sebentar. Kedua matanya benar-benar berat ketika menyandarkan tubuh di tempat yang begitu nyaman.
“Tuan Fajrian, kita sudah sampai!” celetuk Mike membangunkan seorang lelaki yang begitu terlelap dalam tidurnya.
Sejenak Fajrian bergerak pelan, ia menegakkan tubuh sembari mengusah wajahnya sesaat. Kedua matanya melihat restoran yang berada di pinggir jalan tampak tidak terlalu ramai. Membuat lelaki itu mengangguk singkat, kemudian beranjak turun meninggalkan Mike yang berada di dalam mobil.
Fajrian melenggang memasuki restoran sendirian. Ia memang terbiasa melakukan hal apa pun tanpa ditemani oleh siapa pun, membuat perasaannya sedikit tidak nyaman ketika ditemani oleh orang lain. Terlebih seseorang yang bukan siapa pun untuk dirinya.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya seorang pelayan yang berdiri di depan pintu menyambut kedatangan Fajrian dengan tersenyum ramah.
“Saya ingin memesan satu sup krim, satu nasi goreng seafood, dan dua dessert box rasa cokelat-vanila.” Fajrian menunjuk beberapa gambar yang berada di dalam buku menu. “Lalu, dua sandwich dengan tambahan keju. Itu saja.”
“Baik, pesanannya akan dimakan di sini atau take away?” tanya pelayan tersebut mulai memainkan komputer di hadapannya.
“Take away,” jawab Fajrian membuka dompetnya yang berada di dalam kantung untuk melakukan p********n menggunakan kartu.
“Ini kartunya, Tuan!” Pelayan tersebut menyerahkan kartu kredit milik Fajrian. “Silakan ditunggu pesanannya selama lima belas menit.”
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Fajrian melenggang santai ke arah salah satu kursi tunggu. Ia mulai mengeluarkan ponsel untuk menyibukkan diri sambil menunggu pesanan datang. Sebab, tatapan dari orang sekitar membuat lelaki itu sedikit merasa tidak nyaman.
0o0