21. Perkenalan Jenny Dengan Ketua Tim

1027 Kata
“Sudah makan siang, Jenny?” Tanpa disadari Alister mengalihkan pembicaraan membuat Jenny tersenyum kecut. Jelas saja lelaki itu demi menghindari pertanyaan yang tidak bisa dijawab sama sekali. Sehingga mau tidak mau Jenny mengerti apa yang dimaksud oleh ketua timnya, tanpa menjadikan lelaki itu merasa tidak nyaman dengan rasa penasarannya. Walaupun dapat dipastikan semakin Alister menghindar, maka Jenny akan semakin gencar. “Belum, Ketua Tim,” jawab Jenny menggeleng pelan. Alister menatap sesaat, lalu mengajak, “Mau ikut makan siang denganku?” “Bolehkah?” “Tentu saja!” balas Alister mengangguk santai, lalu melanjutkan, “kita berdua akan makan siang di restoran padang yang di depan. Mau? Saya sudah lama enggak makan nasi padang.” “Wah, benarkah? Ayo, Ketua Tim! Sudah lama aku tidak makan nasi padang sejak berpindah ke markas.” Jenny mengangguk antusias dengan tersenyum lebar mendengar ajakan dari ketua timnya yang bisa dikatakan jarang sekali. Setelah menerima ajakan yang tanpa diduga sama sekali, Alister dan Jenny melangkah secara bersamaan keluar dari halaman markas. Ternyata cukup melelahkan melangkah dari gedung utama sampai pagar utama untuk keluar dari halaman markas yang dipenuhi oleh polisi berseragam rapi. Tidak sedikit dari mereka mengenali Jenny membuat sebagian yang berada di sana menyapa diam-diam, di sela kegiatan berlatih fisik yang sering kali dilakukan oleh Brimob. Terlebih mereka ada tugas menyelidiki beberapa kasus dari petinggi perusahaan. Sesampainya di restoran padang yang terlihat sedikit lebih sepi dibandingkan biasanya. Kedatangan Alister dan Jenny menarik perhatian seorang wanita paruh baya yang terduduk di bangku plastik itu pun bangkit menyambut dengan ramah. “Bu, nasinya dua pakai ayam …,” ucap Jenny menggantungkan kalimatnya, kemudian menoleh ke arah Alister yang memasukkan kedua tangan ke dalam saku agar tampak keren. “Ketua Tim, mau pakai ayam atau lauk yang lain?” “Ayam goreng aja,” balas Alister singkat. Jenny mengangguk singkat, lalu tersenyum singkat ke arah wanita paruh baya tersebut. “Nasinya dua pakai ayam goreng semua, ya, Bu. Sama tolong banyakin sambalnya.” “Minumnya apa?” tanya wanita paruh baya tersebut lagi. “Air mineral aja, Bu. Terima kasih,” jawab Jenny tersenyum tipis. Selesai memesan makanan, akhirnya Jenny mengajak Alister untuk menduduki salah satu meja yang kosong. Keduanya duduk saling berhadapan dengan sebangku bersama orang asing tengah berbincang dengan tangan kanannya masih kotor akibat baru saja selesai memberikan sedikit asupan nutrisi pada tubuh. “Jenny, jangan memanggilku dengan sebutan ‘Ketua Tim’ ketika di luar kantor. Panggil diriku sama seperti Ayres. Kita akan terlihat canggung kalau masih memikirkan senioritas dalam pekerjaan,” ungkap Alister mengembuskan napasnya panjang. “Benarkah? Tidak masalah kalau aku memanggil dengan ‘Abang’ sama seperti Bang Ayres?” tanya Jenny memastikan. Alister mengangguk mantap, lalu menjawab, “Kamu bisa menyebutkan apa pun, kecuali ‘Ketua Tim’ yang terdengar sedikit menyebalkan. Aku tidak pernah mendapatkan sebutan seperti itu selama bekerja, jadi rasanya aneh.” “Kalau begitu … aku akan menyebut dengan Abang? Yakin?” Jenny menatap dengan sedikit menyipit penuh selidik. Alister mengangguk lugas, lalu membalas, “Apa pun yang penting jangan terlalu formal.” Tepat selesai perbincangan, nasi padang yang dipesan pun tiba. Hal tersebut membuat Jenny tersenyum senang melihat sebongkah nasi disiram kuah santan nangka yang begitu gurih dan enak. Salah satu makanan favorit dirinya bersama kedua sang kakak ketika memusingkan makanan yang harus dilahap pada saat makan siang. “Bang, cobain nasi padangnya!” pinta Jenny tersenyum penuh minat melihat tatapan Alister yang menukik alis kanannya sedikit ragu. “Saya udah lama banget enggak makan nasi padang. Tapi, saya akan mencobanya dulu. Apakah nasi padang ini masih tetap sama atau ada perubahan,” ungkap Alister mulai mengambil sejumput nasi yang disiram kuah santan dengan mencocol pada sambal hijau kesukaan Jenny ketika datang. Sejenak Jenny menatap penuh cemas ketika Alister mulai mengunyah nasi padang yang menjadi iconic banyak wisatawan datang. Bahkan tidak sedikit dari mereka menginginkan nasi yang begitu kaya akan rempah-rempah pilihan. “Enak!” puji Alister menutup mulutnya tidak percaya. Ia merasa sangat spechless merasakan makanan dua puluh tahun lalu masih tetap sama, tidak ada perbedaan yang cukup signifikan. Tanpa sadar Jenny tersenyum lebar yang terlihat begitu manis hingga matanya ikut menyipit seperti bulan sabit. Gadis itu tampak senang dengan respon yang diberikan oleh Alister, benar-benar jujur terhadap seluruh penilaian. Namun, senyuman lebar gadis itu mendadak luntur ketika menyadari ekspresi wajah Alister terlihat seperti seseorang. Akan tetapi, sayangnya ingatan masa kecil yang dimiliki Jenny sudah terkubur dalam-dalam. “Bang, apa kita berdua … pernah saling berkenalan?” tanya Jenny memiringkan kepalanya menatap penuh menelisik setiap inchi wajah lelaki tampan tersebut, tetapi anehnya ia tidak merasa berdebar seperti dengan lelaki kebanyakan. “Benarkah? Kita pernah saling berkenalan?” gumam Alister sedikit terkejut. “Tapi, di mana?” Entah kenapa ketika mendengar perkataan Jenny yang terdengar ada benarnya membuat Alister juga merasa tidak asing dengan wajah gadis di hadapannya. Hanya saja Alister terlalu sulit untuk mengingat wajah seseorang yang sudah lama tidak terlihat. “Entahlah,” jawab Jenny menggeleng sedikit kecewa. “Mungkin hanya perasaanku saja.” Alister mengangguk mengerti. Terkadang seorang manusia merasa deja vu terhadap sekitar, seakan pernah bertemu atau pun melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya. Tak lama kemudian, keduanya pun menyelesaikan makan siang dengan perut yang terasa penuh. Membuat Jenny menepuk-nepuk perutnya senang, dan bangkit untuk membayar makan siang yang disuruh oleh Alister. Tentu saja lelaki itu membayar seluruh makan siang yang ternyata hanya habis sebesar Rp. 24.000,- untuk harga dua nasi padang dengan ekstra dua air mineral dalam gelas. Hal tersebut membuat Alister cukup takjub dengan porsi yang diberikan benar-benar mengenyangkan. Bahkan bisa dikatakan dalam sepuluh tahun terakhir, Alister baru kali ini habis dalam jumlah makan siang paling sedikit, tetapi mengenyangkan hingga bisa ditaksir sampai nanti malam. Tanpa harus menahan lapar sama sekali. “Ayo, kita kembali ke kantor!” ajak Alister bangkit dari tempat duduknya sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Saat keduanya hendak keluar dari restoran padang, tiba-tiba hujan deras mengguyur tanpa melakukan aba-aba. Hal tersebut membuat Alister spontan menarik lengan Jenny ke arahnya. Membuat tubuh mungil Jenny spontan menubruk tepat pada d**a bidang yang terasa nyaman. Tanpa sadar Jenny melebarkan matanya terkejut ketika kedua tangannya memegang tubuh atletis milik Alister yang begitu seksi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN