22. Kepemimpinan Yang Terdidik Sejak Dini

992 Kata
“Hujannya kok mendadak, ya? Padahal dari ramalan cuaca tadi bakalan cerah.” Gerutuan dari Yuni tampak membuat kedua lelaki yang berada di ruangan ikut mengiakan. Bahkan Akhtar yang biasanya serius dan penuh dengan tantangan itu tampak sedikit lebih ringan dibandingkan biasanya. “Kira-kira kemana, ya? Alister sama Jenny belum balik dari tadi?” gumam Ayres menatap hujan dari jendela sembari mengumpu kepalanya pada kedua tangan yang saling bertumpuk satu sama lain. “Apa … jangan-jangan mereka bertengkar?” cetus Yuni dengan nada sedikit berlebihan. “Tidak mungkin!” balas Akhtar cepat. “Mereka berdua tidak akan bertengkar kalau masih tetap dalam hubungan baik. Karena rasanya aneh jika tidak ada urusan apa pun, tiba-tiba bertengkar begitu saja.” “Benar, Yuni!” timpal Ayres menegakkan tubuh membalikkan posisi menatap ke arah seorang gadis yang terlihat menyandarkan tubuhnya santai. “Kamu jangan berbusuk sangka dengan Alister. Sekejam apa pun sikapnya, dia masih tetap seorang manusia. Jelas hubungan baik harus tetap terjaga.” “Aku hanya berbicara realistis. Hanya ketua tim kalian yang bersikap seperti ini pada bawahannya. Aku jadi penasaran apa yang membuat dia menjadi seperti itu,” gumam Yuni mengembuskan napasnya panjang. Ketika ketiga rekan kerja itu nyaris berdebat panjang, tiba-tiba pintu ruangan terbuka pelan membuat Yuni menoleh cepat. Gadis dengan wajah cemas itu langsung berlari menghampiri Jenny yang terlihat basah. “Astaga, Jenny, lo hujan-hujanan?” tanya Yuni dengan nada meninggi tidak percaya. “Iya, tadi kehujanan pas sampai ke sini,” jawab Jenny mengembuskan napasnya pendek, kemudian menoleh ke belakang memastikan seorang lelaki yang menemaninya tadi baik-baik saja. Sedangkan Akhtar yang mengikuti arah pandangan Jenny hanya mengernyit bingung, dan melangkah mendekati ketua timnya. Lelaki tampan itu tengah memeras kemeja yang tampak sangat basah hingga bisa diperas seakan baru diangkat dari mesin cuci. “Alister, kenapa jadi basah kuyup?” tanya Akhtar kebingungan, lalu menatap ke arah Jenny dan Alister secara bergantian dengan pandangan penuh selidik. “Sebenarnya, kalian berdua itu dari mana?” Belum sempat Jenny menjawab, Ayres sudah menyela lebih dulu, “Tunggu! Gue mencium aroma asam. Dari mana, ya?” Dengan hidung mendengkus-dengkus layaknya tikus, pergerakan Ayres terhenti tepat di hadapan Jenny. Lelaki tampan nan cantik itu menatap penuh selidik, lalu menggeleng tidak percaya menyadari tebakannya benar. “Jangan berpikiran jauh,” cetus Alister setelah terdiam beberapa saat. “Kita berdua cuma makan siang di restoran padang. Tepatnya di depan seberang jalan markas. Mau bawa mobil juga percuma, ‘kan? Jadi, kita berdua mutusin buat jalan kaki. Sampai cuaca kurang bersahabat.” Mendengar penuturan dari Alister, awalnya Yuni yang berburuk sangka pun mulai merasa bersalah. Ia nyaris membuat kebaikan seseorang dibalas dengan tidak adil. Bahkan hampir saja menimbulkan banyak pertanyaan. “Ya udah, Jenny, ayo ganti baju dulu!” ajak Yuni mulai menuntun sahabatnya masuk akibat kedinginan diserang hujan badai. “Lo bawa baju ganti enggak?” “Hah? Kayaknya enggak deh,” keluh Jenny menyadari kebodohannya tidak siap sedia dalam keadaan apa pun. “Jangan ganti, Yun. Biarin aja bajunya gue pakai sampai kering.” Jelas perkataan tersebut tidak hanya didengar oleh Yuni, melainkan ketiga lelaki yang kini berdiri tepat di hadapan kedua gadis itu tampak sesekali menoleh cemas. Terlebih semua ini atas ajakan Alister yang tidak terduga. “Jenny, pakai hoodie saya yang ada di dalam lemari!” titah Alister tanpa diduga sama sekali. Sontak hal tersebut membuat pandangan sahabatnya berubah tidak kalah terkejut. Apalagi Akhtar yang selama ini tidak mengira kalau Alister akan berdekatan dengan perempuan selama berada di luar jam kerja benar-benar dibuat tidak percaya. “Lalu,” jeda Akhtar dengan kening berkerut bingung, kemudian melanjutkan, “lo sendiri pakai apa, Ster? Jangan aneh-aneh, lo cuma bawa baju dikit. Jadi, tetaplah irit sampai lo nemuin penatu dengan mesin yang bisa dicucui sendiri.” “Tenang aja, gue masih banyak pakaian lagi. Lebih baik Jenny ganti sebelum sakit. Gue enggak mau ada anggota tim yang sakit,” balas Alister berusaha meyakinkan gadis di hadapannya. Yuni mengembuskan napasnya singkat, lalu menatap ketua tim yang terlihat mencemaskan Jenny. Membuat ia merasa tidak perlu berpura-pura tegar di hadapannya. Karena keberadaan Alister untuk mengayomi keseluruhan dari mereka. “Ketua Tim, di mana pakaianmu?” tanya Yuni lugas. “Ambil di lemari dekat berkas. Ada di tingkatan ketiga. Itu semua pakaianku,” jawab Alister jujur. Dengan perasaan penuh penasaran, Yuni pun membuka lemari yang dimaksud. Dan nyatanya memang benar, di sana ada sekitar lima sampai enam pakaian yang cukup tebal. Baik itu hoodie, sweater, dan kemeja yang sering dipakai. “Ketua Tim, aku mengambil hoodie merah milikmu!” ucap Yuni menarik salah satu pakaian yang terlipat rapi. “Jangan terlalu keras, Yuni! Kamu bisa menghancurkan pakaian di sana!” celetuk Ayres meremas kepalanya sendiri dengan gemas. “Memangnya kenapa? Ada perbedaan?” tanya Yuni mendadak bingung. Akhtar menggeleng pelan, lalu menjawab, “Kamu akan terkena masalah kalau sampai menghancurkan seluruh lipatan baju yang dilakukan oleh Ketua Tim.” Mendengar hal yang sedikit menyeramkan, Yuni pun meringis pelan dan mulai merapikan pakaian yang sedikit berbelok akibat tenaga kuli bangunan mulai dikeluarkan. Akan tetapi, tidak sampai membuat Alister kesal. Walaupun kedua sahabatnya sangat menakutkan jika memberikan peringatan. Seakan tengah melebih-lebihkan. “Sejak kapan kamu bekerja sebagai ketua tim?” tanya Jenny mendadak menginterupsi seluruh perhatian ketiga lelaki di hadapannya. “Kenapa, Jen?” Yuni berbalik tanya dengan sedikit cemas sahabatnya akan membuat ulah lebih banyak. Sayangnya perhatian yang diberikan oleh Yuni, tidak berfungsi sebagai apa pun. Apalagi Jenny sejak awal terlihat aneh ketika baru saja kembali bersama Alister. Seakan mereka berdua telah terjadi sesuatu sebelumnya. Meskipun tidak mengatakan banyak hal lebih lanjut. “Tentu saja sejak saya menjadi petugas polisi,” jawab Alister jujur. Namun, tanpa diduga sama sekali Jenny menggeleng pelan, lalu meralat, “Kamu sudah bisa memerintah, bahkan sejak masih kecil. Jangan terlalu merendah untuk meroket, karena kamu sama saja mempermainkan banyak orang hanya demi kesenangan pribadi. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, tapi aku minta kamu tetap jujur pada siapa pun. Tanpa berniat menipu sama sekali.” 0o0
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN