5. Kreshna untuk Lakshmi

2587 Kata
Kalau ada yang bisa menyaingi kepadatan dan keramaian Jakarta, mungkin kediaman Soedjatmiko adalah salah satu pesaing terberat. Karena sejak Tari menutup mata sampai membuka kembali, tak pernah gadis itu melihat pelayan yang hilir mudik di rumahnya sekadar menyepi atau tidur. Tari juga tidak pernah berusaha untuk menghitung berapa jumlah karyawan yang ada di rumahnya, maksudnya, kalau bisa diibaratkan, rumah Tari bukannya jadi kediaman Soedjatmiko malahan jadi tampungan pembantu saking banyaknya ART yang dipekerjakan ayahnya di rumahya. Menjadi anak semata wayang jelas membosankan, apalagi ia tak bisa melakukan pekerjaan apapun selain tidur, makan, dan jalan. Semua kerjaannya di rumah diambil alih oleh Mbak Nilam. Mbak Nilam tuh anak dari salah satu pembantu yang dekat banget sama Tari, kabarnya ia akan pulang kampung akhir tahun nanti dan menikah lalu tak akan kembali lagi ke kediaman Soedjatmiko. Gadis itu pula yang mempersiapkan, mendandani, sekaligus jadi temen curhat Tari kala gadis itu tak bisa menemui Lesti. Alasannya memilih Mbak Nilam jelas karena mereka hampir seumuran, meski terpaut selisih usia 2 tahun lebih tua Mbak Nilam, bagi Tari bukan masalah untuk berteman akrab. Pagi itu, Tari yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menghampiri Mbak Nilam dengan kening berkerut-kerut. "Eeett, ini Minggu ngapain coba pake dress kayak gini, nggak mau ah. Dress, gaun, cuma ada di pesta dan perjamuan penting!" Mbak Nilam menoleh, tuan putrinya yang satu ini memang bermasalah sejak kecil dengan barang yang bernama dress, gaun, rok, dan jarik wiron! Kalau ada keturunan ningrat yang tergerus zaman, memang Tari adalah salah satu orangnya. Gadis itu lahir dari keluarga ningrat namun hati merakyat. "Ibu yang minta biar kamu pake ini loh, Tar," sahut Mbak Nilam matanya masih fokus pada beberapa perhiasan rambut milik Tari. Menatap gadis itu saat menemukan satu jepit bunga sakura lalu mendekati Tari. "Kayaknya bakal ada perjamuan besar nih." Tari langsung sewot. "Perjamuan besar apa? Nggak ada acara, memperingati leluhur juga udah lewat." Gadis manis di depan Tari tersenyum. Ia menarik tangan Tari sampai duduk di depan kaca rias. "Menurut Mbak, Abimanyu juga oke lah, Tar. Maksudnya dia tuh ganteng banget loh," puji Mbak Nilam dengan sorot terpukau. Tari memejamkan matanya, mendadak Abimanyu menjadi topik paling memuakkan yang santer di rumah ini selama beberapa hari. Padahal sudah banyak cowok yang dikenalkan Tari, namun baru kali ini ada satu cowok yang namanya bisa bertahan menjadi trending topic sampai membuatnya muak. "Kalo ganteng ambil aja! Lagian ngapain sih ngomongin Abimanyu, dia nggak bakalan kesini lagi. 'Cause he have girlfriend," tutup Tari dengan penjelasan yang terasa dramatis. Bukan seperti yang diharapkan, Mbak Nilam justru melongo sedetik kemudian ia menjitak kepala majikannya itu dengan luwesnya. Tari menoleh tajam, emang bangsad banget pembantunya satu ini. "Nggak bakalan ada yang berani mempermainkan Romo-mu, Tar. Termasuk Abimanyu, kalau dia berani makan bersama dengan keluargamu, itu berarti dia lajang!" peringat Mbak Nilam pada gadis itu. Sudah menjadi peringatan pertama, bila ingin menjalin hubungan dengan putri Soedjatmiko, berarti harus memutus semua hubungan yang tengah dijalinnya dan menjadikan dirinya lajang dulu. Hendra sudah menetapkan hal ini untuk upayanya menghindarkan Tari dari frasa terburuk; pelakor! Dengan penjagaan yang superketat itu, tentu saja nama Tari nggak akan pernah tercemar. Itu adalah alasan kenapa Tari juga pernah melepas Arya untuk orang lain yang mencintai pria itu. Ia juga melaksanakan apa yang diwanti-wanti ayahnya untuk menjaga nama baik. "Abi nggak bakalan kesini buat sarapan, cuma kemaren aja dia bisa makan siang bareng ayah, itu aja sama bokap-nyokapnya." Mendengar itu, Mbak Nilam langsung menyentil telinga Tari. "Terus buat apa Ibu nyuruh aku buat nyiapin dress kalo nggak ada sarapan bareng Abi." "Hah?" Mata Tari melotot. Sarapan bareng Abi? Yang namanya sarapan bareng keluarga Soedjatmiko itu artinya Abimanyu memilih putus dari pacarnya untuk bisa melanjutkan hubungan ini dengan Tari. Gadis itu menoleh pada Mbak Nilam dengan tatapan bertanya serius. "Beneran ini ada sarapan bareng Abi?" Mbak Nilam mengangguk cepat. Mampos! Itu cowok beneran nyari gara-gara dengan Tari, padahal seingat Tari sebelumnya mereka sudah sepakat tidak akan menerima perjodohan ini mengingat Tari yang muak dan Abi sudah punya pacar. 1 alasan dari Abi saja sudah jelas bisa membuat perjodohan ini batal. Tapi— apa yang terjadi? Gadis itu mendesis gemas. Begitu sudah selesai riasan di wajah dan kepalanya, Tari langsung melesat mencari Ibunya yang kebiasaan kalau pagi suka ke dapur buat merusuh minta teh jahe anget. Menemukan Ibu dengan longdress lilac yang membuatnya makin anggun, Ibu tersenyum melihat kedatangan Tari. "Cantik banget, Tar, suka banget sama kerjanya Nilam." "Maksudnya ini apa, Bu? Abi ikut sarapan bareng kita pagi ini? Buat apa?" Tari tak menggubris pujian Ibunya sedikit pun, sudah terlalu panik buat menghadapi situasi ini. Ibu mengerutkan keningnya heran. "Bukannya memang harus ikut sarapan ya, peraturan pertama kalo calon mantu sepakat dengan perjodohan ini." "Sepakat?" ulang Tari, merasakan telinganya agak tuli setelah mendengar kata sepakat menerima perjodohan ini. Sejak kapan Abimanyu menyepakati perjodohan ini? Padahal jelas sekali ... jelas sekali, kemarin mereka sama uring-uringan, apa akal-akalan Abimanyu saja untuk membuat Tari melonggarkan kewaspadaannya pada pria itu. Well, mengingat betapa kejamnya Abimanyu saat masih SMP dulu, agaknya menjadi trauma bagi Tari bisa dekat dengan pria seperti itu. Maksudnya, Abimanyu itu sama dari keluarga ternama, sebab itu lah ia yang terlahir sempurna bisa menjadi rasis populer. Tari nggak pernah suka pria yang bangga karena ia lahir dari keluarga mana. Dan Tari yang dulunya menyembunyikan dengan mati-matian marga di belakang namanya, menjadikannya sebagai salah satu target bullying Abimanyu Rakyan Kreshna! Hal paling nggak bisa dilupakan, itu alasan kenapa kemarin Abi juga terlihat kaget saat melihatnya, meski tidak kentara, cukup membuat Tari tersenyum miring melihat keterkejutan yang berusaha ditutupi Abi dengan memuji pacarnya. "Tapi, Tari dan Abi nggak saling suka, Buuu. Ya ampun harus gimana sih aku jelasinnya," keluh gadis itu memegang kedua sisi kepalanya yang terasa ingin meledak saking puaingnya. Ibu meletakkan secangkir teh jahe di meja makan yang mulai tersusun berbagai menu. Wanita itu memegang kedua pundak Tari dan menatap lurus kedua mata hitam milik Tari. Sebagai seorang Ibu dan wanita yang sudah pernah menjalani dua hal yang ditakutkan oleh Tari, jelas ia harus memberikan beberapa nasihat pada anaknya itu. "Kamu percaya Ibu bisa membaca karakter orang dari matanya saja kan? Ibu liat kesungguhan di mata Abi kemarin. Dia anak baik, setidaknya ketika ia menerima perjodohan ini, Abi juga nggak maksa buat langsung melamar kamu, Tar." Wanita paruh baya itu serius banget saat menjelaskan pada Tari yang kini duduk dengan lesu menumpukan kepalanya pada dua tangannya. Pengecualian kasus ini, Tari benar-benar menyangsikan kemampuan ibunya dalam menilai orang, wong jelas banget kalau Abi tuh muka-muka kriminal sering bully orang, kok! "Aku tau kamu masih butuh waktu buat nerima aku, jadi aku pilih buat pacaran dulu sama kamu, Tar." Suara bariton itu spontan membuat kepala Ibu dan Tari menoleh, mendapati Abi beserta Ayah berjalan mendekat ke arah mereka. "Pagi, Tan." Pria itu menyalami ibunya, lalu menatap Tari dengan senyum yang dirasa menyulut amarah Tari. "Pagi, Tar." Ada raut bangga di wajah Ayah sampai lupa bagaimana ngenesnya anak gadisnya itu kala melihat senyum devil milik Abi. Pria tua itu langsung memulai sarapannya begitu Abi datang. "Pagi ini, nggak usah ke toko kain, Abi nggak ngampus hari ini, kalian bisa jalan-jalan kemana pun. Yang penting akur, biar Ayah adem liatnya," pesan Hendra membuat Tari langsung protes. "Hari ini toko kedua lagi laporan akhir bulan pendapatan, gimana bisa Tari tinggal coba, Yah?" Ayah melongokkan kepalanya untuk melihat Tari yang jaraknya lebih jauh darinya. "Biar nanti dikerjakan Tirto." Tari berdecak! Nggak bisa. Acara jalan kali ini sama saja ia menyetujui dan mencoba untuk melangkah dalam perjodohan ini, Tari memutar otaknya untuk bisa meninggalkan Abi sendirian tanpa bisa mengajaknya jalan kemana pun. "Toko yang selatan, kemarin kehabisan stok dan hari ini bakal ambil barang banyak catatannya ada di Tari," ucap gadis itu. Ayah menaikkan satu alisnya cepat. "Ada Mbak Nilam, kan?" "Yang cabang baru juga kemarin anak-anaknya masih belum paham, biar Tari ajarin dulu mereka, udah janji juga mau kesana—" Braak!! Tari tersentak. Gadis itu langsung terdiam kala melihat Hendra menggebrak meja makan dengan keras. Cukup membuat Tari shock, ibu terdiam keras, dan Abi terdiam kebingungan. Ayah menajamkan pandangannya pada anak semata wayangnya itu. Ada sesuatu yang membuat wajah berkumis itu menegang dan mengerikan kala dilihat, apalagi mata tua itu belum kehilangan ketajamannya dalam mengintimidasi orang. "Semua toko kain, batik itu milik Ayah! Sebelum kamu lulus sekolah dan ambil alih semuanya, sudah ada banyak orang yang menghandle di setiap toko itu. Jadi nggak usah sok sibuk, kemaki, nggaya! Kalo Ayah bilang nggak usah ya nggak usah," sentaknya keras. Ibu di samping pria itu langsung menatap ayahnya dengan sorot menegur. Tari emang keras sejak kecil seperti didikan keluarga mereka. Dan itu bukan salah Tari karena akhirnya bisa sekeras ini saat menolak. Abi yang duduknya tepat di samping Tari langsung mengambil satu tangan gadis itu di meja. Mendapati Tari terdiam lama seperti itu agaknya membuat pria itu sedikit khawatir kalau gadis itu semakin menyiapkan diri buat berontak atau malah bentrok di sarapan lezat pagi ini. "Abi minta maaf, Om. Tapi, Tari memang keras seperti ini, jadi nggak ada salahnya kalo Ki jalanin pelan-pelan, kalo Tari pengen ke toko biar Abi yang antar," ucapnya menghibur dan membuat telinga Tari serasa disambar geledek. Gadis itu menoleh dengan mata melebar dan mulut mendesis. Mengantar? "Nggak perlu, kamu pulang aja. Aku bisa pake mobil," desisnya pelan masih melotot pada pria itu. Abi tersenyum kecil. "Jangan buat Om Hendra marah, Tar." Tari berdecak mendengar alasan itu. Ayah di ujung sana cuma bisa mengurut pangkal hidungnya masih dengan Ibu yang mengusap pundak pria itu dengan perhatian. Tangan Ayah melambai pada Abi. "Kamu urus saja Tari, Bi. Om bisa darah tinggi lagi ngurus Tari." Dan terjadilah acara jalan itu. Demi Tuhan, kalau ada yang ingin dilakukan oleh gadis itu saat ini, maka menikam cowok di sampingnya adalah hasrat terkuat selain menemui Lesti. Cowok yang terlihat girang memutar setir Fortuner hitam milik pria itu tak menggubris wajah Tari yang bete setengah mampus! Alasan sibuk di toko sudah basi kalau acara jalan ini terjadi, kali ini yang ia inginkan hanyalah jalan! Jalan versi cewek yang bisa bikin kaki Abi lumpuh dibuat muter mall seharian. "Bukannya kamu bilang nggak suka sama aku? Terus kenapa malah setuju sama perjodohan ini hah?" tanya Tari langsung ngegas. Gadis itu nggak bisa lagi diajak basa-basi, masalah mereka sudah berada di titik parah dan butuh pertolongan. Diujung tanduk! Abi mengerling di sampingnya, dengan wajahnya yang pengen ditonjok oleh Tari saat itu juga. "Setelah aku pikir-pikir, kenapa nggak dicoba, lagian kamu juga cantik, seksi, dan, ck— aku nggak bakal nolak lagi perjodohan ini." Tari menggertakkan giginya, merasa gemas dengan pria di sampingnya itu. "Yaaa, terus gimana sama Grace yang katanya lebiu seksi itu hah?" "Putus lah!" jawabnya enteng. Seenteng saat ia menyetujui perjodohan kali ini mungkin, dan pria sarap ini beneran harus memikirkan persetujuannya dua kali saat ia memilih Tari. Gadis itu tak akan bisa diinjak untuk kedua kalinya oleh pria bangke kayak Abi ini. "Nggak usah ke toko!" tegas Tari membuat Abi menoleh kaget. "Terus kemana, Sayang?" tanyanya menggoda. Gadis itu menulikan telinganya pada panggilan Abi kepadanya. "Kita ke mall, bete!" ketusnya membuat Abi tergelak. Abi mengangguk cepat. "Oke, kita ke mall!" *** Abimanyu nggak akan pernah melupakan kejadian ini seumur hidup, bahkan kalau pun harus dibayar impas, maka Tari menjadi istrinya itu adalah imbalan paling impas saat seharia itu kakinya terasa kram hebat. Kebanyakan berjalan, memilih barang, dan lebih banyak nggak jadi belinya membuat Abi pengen lumpuh di tempat. Sedangkan gadis di depannya masih saja berjalan cepat, kadang menarik lengan Abi buat lari kecil ke toko untuk sekadar melihat sepatu, tas, baju, dan berakhir tidak beli. Selama 5 jam jalan, cuma 4 paper bag yang akhirnya bisa diusung Tari sampai di depan Sushi Tei. Nggak sekalipun Abi lihat gadis itu kehilangan separuh dari semangat paginya. Benar-benar ya, CEWEK! Abi langsung duduk meluruskan kakinya begitu masuk ke Sushi Tei, sementara Tari menyungging senyum sinis yang membuat pria itu berdecak kesal. "Kamu kalo pengen baju, tas, sepatu, sebelumnya di list dulu, biar nggak keluar masuk toko akhirnya juga nggak jadi," komentar pria itu sembari mengatur napasnya yang serasa habis dicabut satu-satu. Tari menatap menu di depannya sebelum akhirnya memesan beberapa makanan. "Nggak pernah jalan bareng sama Grace ya? Baru ke mall doang lemah!" Wait— apa dia bilang? Lemah? Wah, ini anak emang nyari gara-gara sama Abi. Beruntung pria itu tengah kelelahan dan nggak berminat buat menganiaya korban di tempat. Kalau enggak, Tari yang cantik dan seksi itu sudah habis diciumnya di tempat seumum ini. "Grace nggak pernah aku temenin sekalipun ke mall," desis Abi gemas. Tari melipat dua lengannya untuk dijadikan tumpuan kepala. Lalu ia menatap Abi yang berkeringat. "Berarti cuma aku yang bisa bikin kamu berkeringat kayak gini?" kekehnya sinis. Ini balas dendam Tari namanya. Merasakan nada tak sedap dari Tari, Abi mencondongkan wajahnya, menatap wajah gadis itu lamat-lamat seolah meneliti dengan cermat wajah mulus Tari. "Iya cuma kamu. Dan alangkah baiknya, kamu juga bisa bikin aku berkeringat di keranjang nanti!" Spontan gadis itu menggeplak kepala Abi untuk menjauh. "Sialan! Cowok bangke lo!" umpat Tari seketika. Abi tertawa renyah. Melupakan sejenak capeknya begitu melihat wajah Tari yang cukup membuatnya terhibur. Pria itu melirik keempat paper bag yang tergeletak di ujung kaki Abi. Melihat dari barang yang dibeli Tari, agaknya gadis itu tengah mempersiapkan sesuatu, entah untuk siapa. "Kalo nggak salah liat, kamu beli dress panjang berselendang buat apa? Udah nyiapin baju buat lamaranku nanti?" Pertanyaan itu berhasil mendapat pelototan Tari lagi. Dan Abi nggak akan pernah bosan menggoda wajah ayu di depannya, permainan cukup menghiburkan, apalagi seorang Tari yang gampang banget dipancing sampai wajah marahnya terlihat lucu. "Jangan ngarep! Aku beli baju ini buat Mbak Nilam, dia bakal nikahan akhir tahun nanti!" Kening Abi berkerut, tidak asing dengan nama Nilam yang notabenenya adalah asisten pribadi Tari di kediamannya. "Kamu beliin baju buat pembantu?" tanya Abi dengan kernyitan jelas di wajahnya. Wajah Tari langsung nyolot. "Kenapa? Nggak boleh? Apa salahnya dengan pembantu." Well, Abi juga nggak mempermasalahkan apapun perihal pembantu, tapi perilaku Tari ini terlalu berlebihan bukan sih? "Itu cuma pembantu, Tar. Harus banget ngasih kado kayak gini?" Tari langsung menurunkan sushi di depannya, gadis itu berdecak kesal. "Meskipun cuma pembantu, dia yang ngerawat aku dari kecil. Lagian pemikiran kayak Tuan Muda Abimanyu ini sungguh bertentangan denganku yang terlalu menghargai rakyat rendahan." "Kamu tuh keturunan Soedjatmiko loh, harusnya bisa tau dengan siapa saja bergaul." "Oh ya?" Tari membulatkan matanya dengan lagak bosan. "Terus aku harus kayak kamu waktu SMP? Buat geng biar bisa bully rakyat biasa gitu?" Abi mau tak mau tertohok dengan ucapan Tari yang memukulnya akan kejadian masa lalu. Ia memang tidak tahu siapa Tari saat itu, gadis itu benar-benar mengecohnya, menutup semua identitas sampai tak ada seorang pun yang tahu bahwa Tari seorang ningrat kecuali Lesti tentunya. "Buat apa manusia dibilang makhluk sosial, kalo interaksi sesama manusia saja harus dibatasi. Aku nggak suka dengan pemikiran alot kayak gitu, mau dia ningrat, rakyat biasa, kaya, miskin, semua manusia. Dan semuanya dapat perlakuan yang sama. Itu yang bener!" tandas Tari lalu kembali berjibaku pada sushi-sushi di depannya. Segelas ocha diteguk Abi dengan keterdiaman yang memukau. Gadis di depannya menjelma menjadi gadis cantik luar dalam. Abi bahkan terkesan dengan Tari yang jutek mempertahankan pendapatnya kali ini. Dan itu belum ditemukan pada Grace, Liora, Belle, dan sederet mantan cantiknya yang jelas terlahir dari keluarga konglomerat juga. Mentari Lakshmi kali ini bahkan bisa membuat Abi terus-terusan berharap untuk bisa makan berdua seperti ini. "Bawain semua barangku, aku capek jalan," keluh gadis itu meninggalkan Abi begitu saja di Sushi Tei. Abi tersenyum kecil. Baiklah, nggak dapet hatinya sekarang, setidaknya bisa diawali pendekatan jadi porter angkat-angkat belanjaan juga nggak apa-apa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN