“Apa saja yang kaukatakan pada Naya?” desis Noah tajam dengan rahang mengencang di kedua sisi.
“Kenapa? Apa kau takut dia mengetahui sesuatu yang kau sembunyikan di balik ingatannya yang menghilang?” Sedikit pun Arfa tak merasa ketakutan pada tatapan dingin dan kemarahan yang melapisi kulit wajah Noah. Kakak iparnya itu sungguh sangat lihai bersandiwara.
“Kami bahagia seperti ini. Jangan coba-coba ikut campur dalam permasalahan kami.”
“Bahagia?” cibir Arfa. “Kebahagiaan macam apa yang kauberikan pada kakakku, Noah? Saat ingatan kakakku kembali, aku yakin satu-satunya hal yang ingin ia lakukan adalah pergi dari sisimu. Merasa malu karena pernah mencintai orang seberengsek dirimu.”
Noah pasti sudah menyarangkan satu tinjunya ke wajah Arfa jika tak mengingat siapa pemuda ini bagi Naya. Naya akan bertanya-tanya siapa yang telah membuat wajah Arfa hancur dan menemukan dirinya sebagai pelaku di mata Naya akan membuat wanita itu terluka dan membenci dirinya. Sudah cukup Naya membencinya atas kesalahan di masa lalu. Dan sudah cukup ia mencekik Ralia di hadapan Naya hingga membuat Naya ketakutan pada dirinya. Ia tak perlu menambah ketakutan Naya terhadap dirinya, membuat wanita itu menjauh dari hidupnya untuk kedua kalinya. “Aku tak akan membiarkannya pergi. Tak akan pernah.”
“Lalu, kauingin menyekap kakakku di apartemen mewahmu? Sampai kapan kau akan mempertahankan kebohonganmu ini?”
‘Bila perlu’, jawab Noah dalam batinnya. Jika ingatan Naya kembali dan Naya berniat meninggalkannya sekali lagi. Dengan atau tanpa paksaan, ia akan tetap membuat Naya di sisinya. Dengan atau tanpa kerelaan wanita itu.
“Aku tahu apa yang kausembunyikan, Noah. Kau mengkhianati kakakku, bukan? Itulah sebabnya kak Naya meminta bercerai darimu dan datang pada Banyu. Dan aku yakin pengkhianatan itu sangat tak termaafkan. Apa kak Naya memergoki perselingkuhanmu?”
Noah memastikan tak ada segurat ekspresi pun melintasi wajahnya akan tuduhan yang dilontarkan Arfa, tapi kalimat terakhir Arfa adalah pilihan yang buruk. Ia tak pernah tak terusik dengan nama Banyu yang selalu dihubung-hubungkan dengan Naya. “Aku tak pernah mengkhianati Naya dengan cara rendah seperti itu,” balas Noah dengan bibir menipis tajam.
Arfa mendengkus dengan jawaban Noah. Ia hanya menduga, tapi tak mengira dugaannya akan setepat itu. Hari itu, kakaknya menangis dengan pedih. Tentu saja satu-satunya hal yang bisa membuat seorang wanita begitu terluka adalah pengkhianatan. Penyangkalan Noah hanya membuatnya semakin membenci pria itu. “Kau benar-benar tak termaafkan, Noah. Aku tak akan membiarkan kakakku kembali ke neraka bersama iblis sepertimu.”
“Dia mencintaiku,” tandas Noah lebih tajam. Menekankan peringatan itu pada Arfa dalam-dalam.
“Katakan itu pada dirimu sendiri,” cibir Arfa benar-benar akan muntah.
“Ancamanmu tak akan membuat langkahku mundur sedikit pun. Naya akan tetap menjadi istriku sampai kapan pun.”
“Lalu, bagaimana jika aku mengatakan pada kak Naya bahwa kaulah yang membuatnya hilang ingatan? Kecelakaan itu, kaulah yang membawa mobil itu, bukan? Atau bahkan kau memang berniat bunuh diri dengan membawa mati kakakku?”
“Jaga ucapanmu!” Noah tak tahu sebanyak apa yang telah diketahui oleh Arfa tentang pertikaiannya dengan Naya. Mengetahui bahwa dirinya juga ada di mobil yang sama dengan Naya, sudah jelas Arfa mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya anak kecil itu tahu.
“Kau menyeretnya dengan paksa keluar dari apartemen kak Banyu. Menurutmu, apa yang akan dilakukan kakakku tentang hal ini meski ingatannya belum kembali?”
“Maka pikirkan apa yang akan kulakukan pada Naya sebelum kau melakukan niatmu, Arfa.” Noah tak akan membiarkan Arfa memegang ekornya. Pria itu harus tahu siapa yang dihadapi dan sadar diri.
Mata Arfa melebar. Kegelapan yang tersirat di manik Noah menunjukkan seberapa serius ancaman pria yang sialannya adalah kakak iparnya sendiri. Seseorang yang tak pernah ia sangka akan ia benci karena pria itu adalah satu-satunya sumber kebahagiaan kakaknya. Dulu.
Seringai licik Noah mengejek kepercayaan diri Arfa yang langsung mengendap. Ya, keberadaan Arfa sangat berbahaya untuk ketenangan dalam rumah tanggannya dengan Naya. Mampu membuatnya merasa tersudut dan was-was di setiap detiknya ketika berada di dekat Naya. Noah tak bisa membayangkan akan terus-terusan merasakan keresahan tiada akhir seperti itu. Seakan rumah tangganya berada dalam kuasa adik iparnya itu.
Akan tetapi, saat kau merasa sangat terancam antara hidup dan mati, sisi gelapmu akan muncul untuk bertahan hidup. Melindungimu dari ancaman besar yang muncul. Jika dulu Arfa mengenalnya sebagai anak bengkel yang mudah terbakar emosi dan hanya memiliki tangan untuk meluapkan segala kemarahannya. Maka sekarang ia memiliki kekuasaan yang jauh berada di atas Arfa dan ia tak perlu mengotori tangannya sendiri.
“Kau tahu, dengan kekuasaanku, kaupikir apa saja yang bisa kulakukan terhadap kau dan Naya hanya dengan jentikan jariku. Bahkan aku bisa membunuhmu sekarang juga dan mengatakan pada Naya bahwa itu hanya sebuah kecelakaan. Dengan seorang ibu dan kakak yang hanya bisa membuatnya menderita, lalu kehilangan adik yang sangat disayangi. Kaupikir siapa satu-satunya orang yang akan dia miliki selain aku?”
Mata Arfa mengerjap sekali. Menyadari kesalahan besar yang baru saja ia lakukan. Ia melupakan fakta besar yang ada dalam genggaman Noah. Kekuasaan pria itu tak banyak bicara tapi ia tahu apa saja yang bisa dilakukan Noah hanya dengan satu perintah. Noah Samudra bukan hanya sekedar nama. Pria itu adalah aturan yang memegang hidup kakak dan dirinya.
“Beberapa jam lalu, aku hampir membunuh seorang wanita karena tak bisa menjaga lidahnya di depan Naya. Naya melihatnya. Meskipun ia terkejut, ia tetap menyambutku dengan senyum manisnya ketika aku datang. Kau lihat, kan. Dia sangat mencintaiku dan akan memaafkan semua kesalahku. Jadi, jangan mengusikku lebih jauh lagi, Arfa. Pikirkan itu jika kau masih ingin melihat wajah kakakmu. Untuk kebaikan dirimu sendiri.”
Rahang Arfa mengeras menyembunyikan kepalan tangan di sisi tubuhnya. Ia tak bisa bertindak gegabah atau Noah akan membuatnya tak bisa bertemu dengan kak Nayanya lagi. Noah yang dulu berbeda dengan Noah yang sekarang. Kekuasaan pria itu hampir meliputi seluruh kota. Apa pun yang berdiri di belakang Noah bukan hanya sekedar nama besar.
Tinggg ...
Pintu lift terbuka. Arfa dan Noah masih saling pandang dengan ketegangan yang semakin meningkat selama beberapa saat.
“Kembalilah ke atas. Aku bisa mengurus urusanku sendiri.” Arfa menahan pintu lift yang hendak tertutup karena mereka hanya diam di tempat saling melemparkan kebencian.
Noah mengabaikan penolakan Arfa. Mengikuti Arfa keluar dari lift dan bahkan merangkulkan satu lengannya di pundak Arfa yang tegang menahan emosi terhadap dirinya. Berbeda dengan dirinya yang merasa sudah menguasai keadaan. Dengan nada lebih riang, ia berkata, “Aku sudah berjanji pada Naya untuk mengantarmu, adik ipar. Aku harus menepati janjiku pada istri tercintaku.”
***
Naya masih tertegun cukup lama menatap pintu lift yang sudah tertutup tanpa sedikit pun menaruh kecurigaan terhadap interaksi dua pria yang sangat disayanginya itu. Meskipun Noah dan Arfa terlihat kaku satu sama lain, setidaknya mereka berdua mencoba saling nyaman untuk dirinya. Dan ia sangat menghargai sikap Noah yang berusaha mengakrabkan diri dengan Arfa.
Sambil mendekap jas dan tas kerja Noah, Naya berbalik. Membuka pintu ganda dan melewati ruang tamu menuju kamar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak henti-hentinya muncul di kepalanya ketika teringat pembicaraannya dengan Arfa. Merasa terlalu sulit memercayai apa yang telah ia lakukan. Pada Noah. Pada pernikahan mereka.
Kenapa ia menandatangani surat perceraian? Pertengkaran apa yang ia dan Noah ributkan sehingga memilih berpisah? Apakah masalah mereka sebesar itu hingga ia memutuskan untuk berpisah? Dan masalah apa yang tengah menerjang pernikahan mereka?
‘Ya, aku mendengar tentang kecelakaan kalian. Tapi separah apa kecelakaan itu menimpamu dan Noah, aku sungguh tak tahu.’
Ralia, wanita itu juga mengatakan tentang kecelakaannya dengan Noah? Menggunakan kata ‘kalian’ yang merujuk pada dirinya dan Noah. Apakah Noah juga ada di dalam mobil bersamanya? Lalu kenapa Noah menyembunyikan hal tersebut darinya? Haruskah ia menanyakan hal tersebut pada Noah? Meminta Noah menceritakan apa pun yang terjadi sebelum kecelakaan yang menimpanya.
Masih dengan pikiran yang melayang sepanjang perjalanannya menuju kamar tidur. Naya meletakkan tas Noah di meja, dan tanpa sengaja menyenggol tas miliknya yang ia geletakkan di pinggiran meja secara asal-asalan tadi pagi hingga jatuh ke lantai. Noah tersentak dan menunduk ke bawah. Penutup tas itu terbuka dan lembaran-lembaran foto mencuat keluar dari dalam kantong tas hitam tersebut. Naya terheran karena barang itu bukanlah miliknya. Lalu kenapa bisa ada di dalam tasnya? Kemudian Naya meletakkan jas Noah di meja, membungkuk memungut lembaran-lembaran tersebut bersama dengan tasnya.
Saat ia membalik entah sepuluh atau mungkin lebih lembaran foto-foto yang bertumpuk tersebut. Mata Naya menyipit dan mendekatkan foto teratas ke matanya karena gambarnya yang tak terlalu jelas. Keseluruhan gambar itu dipenuhi warna gelap. Dua sosok yang saling b******u di antara keremangan, tapi Naya cukup jelas mengenali kedua tubuh yang saling menempel tersebut. Betapa terkejutnya dia bahwa dua tubuh itu adalah benar-benar Noah dan Ralia. Jantungnya seakan dicengkeraman dengan sangat keras dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
Berpuluh pertanyaan berjumbal di kepalanya. Mengejarnya dengan pertanyaan yang sama. ‘Apakah Noah berselingkuh dengan Ralia?’
Naya menggelengkan kepalanya dengan keras. Tak mampu menemukan jawaban dan di saat yang bersamaan ia juga tak sanggup menghadapi jawaban tersebut. Hingga napasnya saling berkejaran, ketika gambar-gambar itu kini bukan hanya ada di matanya. Melainkan di dalam ingatannya juga. Berputar membentuk pusaran-pusaran yang seolah-olah akan menelannya hidup-hidup.
‘Kau mengkhianatiku.’
‘Aku sudah menandatangani surat perceraian.’
‘Arfa, mungkin kakak akan menyusulmu.’
‘Tidak, Banyu. Aku tidak bisa tinggal di sekitar Noah.’
‘Maafkan, ibu sayang. Ibu tak bisa memberimu kasih sayang keluarga yang utuh, tapi ibu berjanji akan selalu mengusahakan yang terbaik untukmu.’
Suaranya saling bersahutan-sahutan. Penuh luka yang dalam dan sayatan itu tak hanya ada dalam kepalanya. Melainkan dalam hatinya saat ini. Air mata mengucur tanpa ia inginkan, membasahi seluruh wajahnya dengan deras.
Apa ini?
Ingatan macam apa ini?
Naya ingin mengambil palu dan menghantamkan palu itu ke kepalanya. Agar semua keperihan itu berhenti menusuk-nusuk kepalanya.
Foto-foto dalam genggaman tangannya jatuh berhamburan dilantai ketika ia menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram dadanya yang teriris pilu. Dan semakin menghujam-hujam dadanya karena kini Naya merasa dikelilingi oleh pengkhianatan dengan tangkapan-tangkapan gambar itu yang memenuhi seluruh pandangannya di lantai sekitar.
Naya terhuyung mundur, kakinya menabrak pinggiran ranjang dan membuatnya tersungkur di lantai. Seluruh tubuhnya bergetar akan reaksi keterkejutan yang tak sanggup lagi ia tanggulangi. Wajahnya yang basah meringis, menahan rasa sakit yang datang hujaman demi hujaman. Ingatan Naya meronta hendak menumpahkan apa pun yang bisa dikeluarkan tanpa memedulikan ketidaksiapannya.
Berlari liar karena akhirnya mendapatkan kebebasan yang selama ini ia inginkan, tak peduli dengan luka-luka yang ikut dibawanya. Lebih besar dari yang sanggup Naya terima.