Flashback enam bulan yang lalu ...
Plaakkk ... tamparan keras itu membuat pipi Naya didera rasa perih yang membuat kepalanya pusing. Lalu, jambakan di rambut bagian belakang kepala menyusul menambah siksaan itu. Membuat Naya hampir kehilangan kesadaran karena ketidak siapan.
Ia baru saja pulang dari cafe tempatnya bekerja dan bahkan salah satu kakinya belum sempat menginjak lantai rumah. Mendadak sang kakak muncul ketika ia membuka pintu, menarik lengannya dengan kasar dan menyeretnya masuk sebelum membanting pintu di belakangnya dengan sangat keras.
“Dasar saudara tak tahu diri!” murka Meisya di depan wajah Naya. Matanya terbakar oleh amarah yang meluap-luap, melotot hingga hampir keluar.
Kepala Naya masih berputar, tarikan di rambut kepala yang semakin erat seolah hampir mengelupaskan kulit kepalanya. Naya mengerang keras. Kedua tangannya memegang tangan kakaknya di belakang kepala untuk mengurangi tekanan pada tarikan tersebut. Tetapi amarah kakaknya yang terlalu besar membuat Naya menyerah. Bahkan ia tak tahu kesalahan apa yang telah diperbuatnya hingga mampu membuat kakaknya semurka ini.
Apa uang yang ia berikan pada kakaknya kurang? Meski kakaknya selalu mengeluh dengan nominal yang ia berikan setiap minggu, kakaknya tak pernah semurka ini. Ditambah, minggu ini kakaknya bahkan merampas hampir semua isi dompetnya karena ingin membeli hadiah untuk Banyu. Pria yang disukai kakaknya dan akan segera menjadi kakak iparnya.
Lalu, kesalahan apa yang telah Naya lakukan? Naya tak bisa mendapatkan jawabannya karena terlalu sibuk mengaduh dan meringis kesakitan.
“Ada apa ini?” Devisha muncul dan terkejut menemukan salah satu putrinya merundung putrinya yang lain. Meskipun pemandangan seperti ini sudah biasa, ia merasa kesal karena pertengkaran kakak beradik itu mengganggu telpon pentingnya dengan ibu Banyu. Membahas tentang pesta ulang tahun pernikahan tuan dan nyonya Atmadja.
“Banyu melakukan semua ini dan tanpa perasaan mengatakan menginginkan Naya. Sudah jelas Naya pasti menggoda Banyu di belakangku, Ma,” rengek Meisya, jambakannya di rambut kepala Naya semakin keras dan hampir mengelupaskan kulit kepala Naya.
Naya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lemah. Rasa sakit yang masih berkutat di kepala membuatnya tenggorokannya tersekat tanpa mampu berkata-kata lagi.
“Hentikan, Meisya!” Devisha memahami ucapan putri pertamanya kemudian menarik genggaman tangan Meisya di rambut Naya dan merasa kesal dengan luka lecet di sudut bibir Naya yang berdarah Ia bahkan bisa melihat bekas telapak tangan Meisya di pipi kiri Naya. “Apa kau yang memberikan luka ini?”
Meisya membeliak tak percaya dengan sikap mamanya yang seolah membela Naya. Selama ini, mamanyalah yang selalu mendukung rencananya untuk dekat dengan Banyu. Dan dengan sambutan mengecewakan ini atas kegagalannya sudah tentu membuat Meisya merasa terkhianati. Mamanya seolah mengkhianati dirinya karena dengan begitu mudahnya berpihak pada Naya.
“Banyu sudah menentukan pilihannya, Meisya! Kau harus menerima keputusannya dengan lapang dada.” Devisha merapikan rambut Naya, menangkup wajah putrinya dan mengamati luka di sudut bibir Naya lebih dekat. Satu dua hari luka itu akan hilang dan tak berbekas.
“Ma!!” rongrong Meisya dengan pembelaan mamanya terhadap Naya. Bahkan mamanya kini memperlakukan Naya seperti guci mahal yang rapuh.
“Ambilkan kotak obat!” perintah Devisha yang membuat Meisya semakin meradang.
Setelah tatapan tajam mereka beradu selama beberapa detik, dengan langkah kaki terhentak di lantai, Meisya terpaksa menuruti perintah mamanya. Pelototan mata mamanya terasa lebih mengerikan ketimbang sakit hatinya. Tak sampai tiga menit, Meisya sudah kembali dengan kotak obat di tangan. Ia membanting kotak berwarna biru muda itu ke meja kayu di depan Naya dan mamanya duduk.
Kecemburuan semakin membakar hatinya melihat mamanya kini sibuk memperhatikan wajah Naya seolah kecantikan sempurna yang dimiliki adiknya adalah sebuah karya seni. Apa pun tentang adiknya memang selalu membuatnya iri. Bahkan kepolosan adiknya itu sekarang berhasil merebut pria pujaan hatinya dengan begitu mudahnya. Susah payah ia menarik perhatian seorang Banyu Atmadja hingga bisa mendekati dan merayu pria kaya itu, dan sekarang kerja kerasnya terbuang sia-sia gara-gara Naya.
Meisya menghempaskan pantatnya dengan kasar di kursi seberang. Tak lupa memberikan tatapan sengitnya ketika pandangan Naya terarah padanya.
“Jadi, apa kau tertarik dengan Banyu?” Devisha mengoleskan obat merah di cotton buds dan mulai mengobati sudut bibir Naya.
“Ma??” rengek Meisya yang duduk di seberang sofa. Baru saja ia kehilangan pria incarannya dan sekarang dengan mudahnya mamanya malah menanyakan perasaan Naya tentang Banyu di hadapannya. Ia tahu mamanya memang tak pernah memedulikan perasaan siapa pun, tapi tetap saja ia merasa sangat kesal luar biasa. Lalu, pelototan Devisha membungkam protes yang hendak keluar dari bibirnya.
“Asalkan Banyu menjadi menantu Mama, tak penting kau atau Naya yang akan menjadi istrinya. Benar, kan?” Devisha menekan suaranya dalam-dalam.
Bibir Meisya terkatup rapat. Mulai menimbang-nimbang keputusan mamanya dan mengalah adalah satu-satunya jalan yang diberikan untuknya. Meskipun hatinya masih begitu tak rela dan dongkol terhadap Naya, jika Banyu bisa melimpahi keluarga mereka dengan kekayaan pria itu, tak masalah dirinya atau Naya yang akan menyandang gelar Nyonya Atmadja. Ide mamanya benar-benar cerdas.
“Ap ... pa maksud mama?” tanya Noah tak mengerti dengan ucapan mamanya yang mengatakan akan menjadikan dirinya sebagai istrinya Banyu. Apa ia tak salah dengar?
Baru saja Banyu membuat kakaknya patah hati, dan sekarang mamanya berniat akan menjodohkannya dengan Banyu.
“Naya sama sekali tidak menggoda Banyu di belakang kak Meisya, Ma.”
“Kalau begitu, mulai sekarang kau harus dekat dengan Banyu. Tidak masalah jika kau sedikit menggodanya agar dia tak berpaling darimu.”
“Tapi, Ma. Naya sudah punya kekasih.”
Devisha terpaku sejenak. “Siapa?”
“Noah.”
“Nama belakangnya?”
“Noah Samudra.”
Mata Devisha membeliak takjub. “Noah Samudra yang itu?”
“Noah Samudra putra tunggal Willy Samudra?” Meisya yang tadinya begitu uring-uringan dan dengan bibir mencebik duduk di seberang memindah pantatnya di samping Naya.
Naya merasa tak nyaman dengan binar yang memenuhi kedua mata kakak dan mamanya. Kemudian ia menggeleng perlahan dengan sedih. Ia tahu telah meruntuhkan harapan terlalu tinggi yang membuat kedua wajah itu terkagum karena nama kekasihnya. Noah Samudra bukan Noah Samudra seperti yang mamanya pikir. “Tapi Noah orang yang baik, Ma. Dan kami saling mencintai,” lanjut Naya berusaha meyakinkan mamanya.
Bibir Devisha terlipat ke bawah dan Meisya menggerutu sambil menjauhkan duduknya dari Naya penuh kecewa.
“Apa pekerjaannya?” Meski tahu jawaban Naya tak akan memuaskannya, Devisha tetap bertanya.
“Noah?”
“Kaupikir?” sentak Meisya tak sabar.
“Dia ... dia punya beberapa pekerjaan paruh waktu. Tapi dia tinggal di bengkel ...”
“Apa?!!!” Meisya kembali menegakkan punggungnya memotong kalimat Naya. Ia tak butuh mendengarkan lebih lanjut sampah yang keluar dari mulut adiknya itu. “Kau benar-benar menyedihkan, Naya. Meski aku tak menyukaimu karena sejujurnya kau memang lebih cantik dari aku, aku tak tahu kalau otakmu benar-benar tumpul. Dengan wajahmu, kau bisa mendapatkan pria mana pun yang bisa membuat kantongmu menebal dan menyejahterahkan keluarga ini. Bukan malah membuang waktumu dengan seorang pecundang,” papar Meisya penuh kepuasan telah mengabsen jajaran dosa Naya terhadap dirinya.
“Tapi, Kak. Naya mencintainya.”
“Temui dia besok dan putuskan hubungan kalian baik-baik. Selanjutnya jangan pernah temui dia lagi.” Devisha menyela dengan raut tegas. “Berurusan dengan orang miskin tidak pernah berakhir dengan baik. Mereka tak tahu diri dan hanya bisa melukai reputasi kita. Jadi, mulai sekarang kau harus dekat dengan Banyu.”
Manik Naya melebar. Selama ini, mama dan kakaknya memang sibuk dengan mengurus perjodohan Banyu dengan kakaknya dan tak ingin tahu urusan atau pun kehidupan percintaannya dengan siapa pun. Lalu, saat tiba-tiba perjodohan itu gagal dan menimpakan semua beban dan kesalahan itu padanya serta meminta pertanggungjawaban. Naya benar-benar tak mampu berkata-kata.
“Itu bayaran karena kau telah menggoda Banyu di belakangku,” tambah Meisya.
“Naya bersumpah tak pernah menggoda Banyu seperti yang kakak tuduhkan.”
Meisya berdecak sinis. Menyilangkan kedua tangannya di d**a dan melirik ke arah Naya dengan sengit. “Apa kau masih tak tahu apa kesalahan terbesarmu, Naya?”
Naya menggeleng dengan polos.
“Kecantikanmu, itu satu-satunya kesalahan terbesar yang kaumiliki sejak dilahirkan di dunia ini. Kau merebut semua kebahagiaan kakak sejak kau lahir. Jadi, turuti permintaan kami dan buat kami bahagia dengan harta Banyu yang akan diberikan untukmu. Apa kau mengerti?”
“Keadaan kita baik-baik saja, Kak. Naya masih mampu menghidupi kalian dengan pekerjaan Naya saat ini.”
“Ck, kaupikir kami hanya butuh makan?! Kita butuh tempat tinggal yang lebih luas dari gubuk tua ini. Mama dan aku juga butuh baju, sepatu, dan perhiasan yang bagus untuk bersenang-senang di luar sana. Kami juga butuh keliling dunia.”
“Naya berjanji akan mendapatkan uang lebih banyak untuk membahagiakan kalian.”
“Kapan? Sampai kapan kami akan menunggu? Bahkan jika kau berhenti kuliah dan menggunakan waktu dua puluh empat jammu untuk bekerja, kau tak akan mampu membahagiakan kami sampai kami sudah mati.”
“Tapi, Kak. Naya tidak bisa kehilangan Noah.”
“Cinta cinta sialan, perasaan semacam itu hanya bualan, Naya. Pria itu hanya menipumu karena wajahmu dan aku benar-benar tak menyangka kau sebodoh ini.”
“Kakk ...”
“Lebih baik kau duduk manis menjadi Nyonya Banyu Atmadja dan memberikan kami kemewahan tanpa bersusah payah. Itu lebih efisien. Okey?”
Naya menoleh ke arah mamanya, meminta dukungan dengan menyentuh kedua lengan Devisha. “Ma, Mama merestui hubungan Naya dan Noah, bukan? Hanya dia kebahagiaan Naya.”
Devisha diam sesaat. Mengangkat tangan dan membelai rambut hitam dan lembut Naya yang tergerai saat berkata dengan senyum yang datar. “Kakakmu benar, Naya. Kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali.”
“Naya mencintai Noah, Ma.”
“Mama akan melupakan kesalahanmu satu ini. Dan Meisya,” Devisha menoleh ke arah putri sulungnya. “Hubungi Banyu dan buat janji makan malam dua hari lagi dengan Naya.”
Meisya mengangkat bahunya tak masalah.
“Ma?” lirih Naya lemah dan putus asa.
Devisha berdiri, mengabaikan rengekan Naya yang memanggilnya.
“Anggap saja kau membayar sakit hatiku padamu. Besok aku akan mengantarmu ke salon langganan kami dan membelikan beberapa gaun cantik untukmu.”
“Kakkk ...”
“Dan sepertinya kau harus segera berhenti kuliah. Semakin cepat kau menikah dengan Banyu, akan semakin baik.” Meisya berdiri. Meninggalkan Naya dengan tenang tanpa memedulikan kehancuran dan kepedihan yang tengah melanda adiknya.
***