Kali ini Naya tercengang selama beberapa saat yang lama ketika mencerna berkali-kali kalimat Arfa lebih dalam, tapi kemudian ia tetap bertanya lebih lanjut dengan suaranya yang kering. “Bertengkar? Tinggal di apartemen Banyu?” Kelebatan kata-kata Banyu tadi pagi di restoran kembali muncul di ingatan Naya. Jadi, ia bertengkar dengan Noah dan membawa barang-barangnya ke apartmen Banyu. Apakah pertengkarannya dan Noah sangat hebat hingga ia meningalkan apartemen? Masalah sebesar apa hingga ia memilih meninggalkan Noah? Ke tempat pria lain. Apakah hubungannya dengan Banyu sedekat itu hingga ia datang kepada pria itu?
Lalu, pindah ke Australia? Sebenarnya permasalahan apa yang mereka hadapi hingga Naya benar-benar ingin berpisah sejauh itu dengan Noah? Kenapa Noah tampak baik-baik saja saat ia bangun dari kecelakaan? Semua kebaikan, kehangatan, dan sikap lembut Noah masih sama seperti terakhir kali ia mengingat Noah. –Kecuali kejadian tadi pagi- itu satu-satunya sisi gelap Noah yang tak pernah Naya ketahui.
Noah memang sempat mengatakan hubungan mereka yang sempat merenggang karena kesibukan pria itu, dan sangat tak masuk akal jika ia marah dan meninggalkan Noah dengan alasan yang sepertinya sudah menjadi bumbu dalam hubungan mereka sejak awal. Saat mereka berpacaran, ia dan Noah selalu disibukkan oleh pekerjaan paruh waktu mereka, dan semua itu bukan masalah besar. Mereka selalu menyempatkan diri untuk berkencan. Jadi tak mungkin ia meninggalkan pernikahan sakral mereka karena hal itu. Memgingkari janji untuk saling bersama di hadapan Tuhan karena masalah kecil yang sepertinya sudah menjadi bumbu dalam sebuah pernikahan.
“Tinggal bersamamu?” ulang Naya dengan suara tercekatnya.
Arfa mengangguk mantap. “Waktu itu Arfa juga sempat berbincang dengan kak Banyu untuk membujuk Kakak membatalkan niat pindah ke sana. Tapi Kakak bersikeras tak ingin merepotkan kak Banyu.”
“Kenapa kakak ingin pindah ke sana?”
Arfa mengangkat bahunya. Ia ingat kakaknya yang menangis ketika menelponnya tapi tak mengatakan apa pun kecuali bahwa Naya begitu merindukannya dan hanya dia satu-satunya keluarga yang dimiliki. “Kakak juga sempat menyinggung soal surat perceraian yang sudah kakak tanda tangani.”
Naya semakin dibuat terpaku. Hatinya mencelos tak percaya. Telak di pusat hatinya. “Surat perceraian? Aku? Kenapa kami akan bercerai?”
Alasan apa yang membuatnya hingga menandatangani surat perceraian? Naya memeras otak mencari jawaban, tapi lagi-lagi kepalanya mulai terasa berdenyut dan nyeri. Merasa kakinya tak sanggup lagi berpijak di lantai, Naya terduduk di kursi.
“Apa kakak sudah menyelesaikan masalah kalian?” Arfa sedikit berbasa-basi melihat keterkejutan yang sangat besar menyebar ke seluruh wajah kakaknya. Kakaknya tak akan mengambil keputusan sebesar itu tanpa alasan yang kuat. Dan apa pun yang dilakukan Noah pada kakaknya, pria berengsek itu pasti telah memanipulasi ingatan kakaknya dengan cara curang. Sehingga kakaknya dengan rela kembali ke pelukan pria itu. Melupakan semua permasalahan rumah tangga di belakang mereka begitu saja.
Naya masih begitu terpukul. Pertanyaan Arfa memberi Naya tekanan di d**a dan kepala di saat yang bersamaan. Lagi, Naya berusaha mengingat, menggali lebih dalam apa pun yang terkubur di kepalanya meskipun rasa sakit dan pusing itu semakin tak terkendali, hingga menyakiti dirinya sendiri.
“Kak?” Kepanikan melintasi wajah Arfa dengan wajah kakaknya yang berubah pucat dalam sekejap. Bahkan kakaknya tampak menahan rasa sakit sambil menunduk dan menyentuh kepala. “Apa Kakak baik-baik saja?”
Naya menggoyang kepalanya, tak sanggup mendapatkan apa pun setelah semua pertahanan dirinya menyelami rasa sakit demi satu ingatan pun. Menyerah, Naya mengusir keresahan yang datang dan mencoba menenangkan pikirannya kembali. Ia hanya perlu bersabar dan tenang dan membiarkan ingatan itu kembali datang dengan sendirinya. Semakin ia memaksakan diri, seolah ingatan itu semakin menjauh dari jangkauan tangannya. Satu-satunya jalan, sepertinya ia hanya butuh bersabar.
“Kak Naya?” panggil Arfa lagi sambil menjulurkan tangan menggapai tangan Naya.
Kepala Naya terdongak lalu mengangguk. “Ya, kakak baik-baik saja. Ingatan kakak belum kembali, jadi kakak tidak bisa mengingat semuanya dengan benar.”
“Maaf, Arfa tak bermaksud membuat kakak kesakitan,” sesal Arfa.
“Tidak, mungkin karena ini Noah belum menceritakan semuanya pada kakak. Karena takut kakak akan kesakitan seperti ini.” Pemikiran semacam itu terasa meringankan beban yang menghimpit d**a Naya. Noah pasti punya alasan tidak menceritakan semua permasalahan mereka. Ia baru saja mengalami kecelakaan, Noah pasti takut akan melukai dirinya. Benar, kan? Naya berusaha menutup segala keraguan yang mulai menggerogoti hatinya. Memercayakan seluruh dirinya pada Noah.
“Apa kauingin makan?”
Arfa mengangguk setelah beberapa saat. Ia tak lapar, tapi menyibukkan kakaknya dengan membuat makanan mungkin akan sedikit meredakan sakit dikepala kakaknya. Ia sudah mengatakan apa yang ingin ia katakan setelah Noah memutus kontaknya dengan kakaknya. Pasti hal inilah yang tidak diinginkan Noah. Bukan demi kakaknya, melainkan demi keegoisan pria itu sendiri.
Apa pun, akan ia lakukan untuk membuat kakaknya bahagia. Termasuk jika berpisah dengan Noah dan perceraian satu-satunya jalan kebahagiaan kakaknya.
Noah pasti sudah menyakiti hati kakaknya sangat dalam, dan kakaknya yang tak sanggup menderita lebih lama lagi, tak bisa memaafkan kesalahan Noah kemudian menggugat cerai pria itu. Noah yang egois, memanfaatkan ingatan kakaknya yang hilang untuk mempertahankan kakaknya.
Kesalahan besar apa yang telah dilakukan Noah? Ia harus mencari tahunya dan membeberkan semua itu pada kakaknya. Agar kakaknya tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahan mereka. Dan memisahkan keduanya.
***
Malam itu, Noah pulang tepat jam enam seperti biasanya. Mengabaikan berkas yang menumpuk di meja hanya karena khawatir dengan keadaan Naya setelah kejadian tadi pagi. Berharap keberadaan dan kedekatannya dengan Naya akan mampu melunturkan segala prasangka buruk yang membuat kepala Naya bertanya-tanya dan menelisik masa lalu mereka. Namun, semua usaha dan harapan itu sia-sia. Ketika Noah membuka pintu apartemennya dan seluruh tubuhnya menegang, melihat satu-satunya sosok yang ia hindari dan tak seharusnya berada di sini. Di sekitar Nayanya. Bersantai di sofa ruang tengahnya dengan layar televisi yang mempertontonkan salah satu reality show. Tertawa dengan istrinya sambil sesekali melahap camilan ringan di meja.
“Arfa?” Noah berkedip sekali, masih tak memercayai pemandangan di depannya. Ia dan Naya baru saja mendapatkan masalah karena Ralia, butuh waktu lebih lama sebelum masalah satu ini datang dan menyerangnya di saat yang bersamaan.
“Noah, kau sudah pulang,” sambut Naya. Bangkit mendekati Noah dengan senyum manis menyambut kedatangan suaminya.
Noah mengangguk dengan kaku, tatapannya tak lepas dari sosok Arfa yang kini ikut mengalihkan perhatian untuknya. Kemarahan tersembunyi sangat baik di balik wajah manis dan tampan yang sama persis dengan wajah Naya dalam bentuk lebih maskulin. Adik laki-laki Naya, satu-satunya orang selain dirinya yang akan melakukan apa pun demi kebahagiaan Naya sekaligus bisa menjadi pisau bermata dua bagi dirinya. Ia tahu adik iparnya itu tahu cukup banyak permasalahan rumah tangganya dan Naya, sebelum memutuskan bahwa dirinya tak layak bagi Naya dan patut di singkirkan.
Karena saat Naya menganggap dirinya adalah kebahagiaan Naya, Arfa akan melakukan segala cara agar ia bisa bersama Naya. Namun, saat Arfa menganggap dirinya adalah sumber penderitaan Naya, Arfa pun akan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan Naya dari cengkeramannya. Tapi Arfa tidak tahu, bahwa ia bukanlah lawan yang seimbang untuk pria itu.
“Arfa datang tadi siang,” beritahu Naya mengambil tas Noah. “Tepat ketika kau mengantarku pulang.”
Noah merangkul pundak Naya dan mendaratkan kecupan singkat di dahi Naya tanpa mengalihkan sedikit pun tatapannya dari Arfa. Rangkulannya di pundak Naya semakin mengetat seolah takut Arfa akan merebut Naya dari pelukannya.
Arfa menyadari keberadaan dirinya yang begitu mengejutkan dan mengusik Noah. Dengan seringai tipisnya, ia menarik tas di sampingnya. Kemudian tatapannya turun ke arah tangan Noah yang seolah memegang erat-erat kakaknya. Menikmati keresahan pria itu yang ditimbulkan karena dirinya. “Hai, kak Noah,” sapanya dengan ketulusan yang palsu.
Noah memaksa satu senyuman tipis dan datar melengkung untuk Arfa. Genderang perang di antaranya dan Arfa sudah bertabuh. Dan ia bersumpah akan memastikan kemenangan itu miliknya.
“Sepertinya Arfa harus kembali.” Arfa menyangkutkan tali tasnya di pundak dan beranjak. Melangkah mendekati Naya dan Noah hendak berpamit.
“Ke mana?” tanya Naya dengan heran. Sejak kedatangan Arfa, adiknya itu memang tak mengatakan apa pun tentang tempat bermalam. Karena Arfa mengatakan langsung datang ke apartemen ini begitu turun dari pesawat, Naya pikir adiknya akan bermalam di apartemen ini dan menunggu Noah untuk meminta ijin lebih dulu. Meskipun ia tahu hal itu tak perlu dilakukan karena sudah pasti Noah akan membiarkan adiknya tinggal di sini untuk sementara.
“Arfa sudah menyewa tempat dengan bantuan seorang teman. Tak jauh dari sini,” jelas Arfa seolah menekan kalimat terakhirnya. Mengatakan pada Noah bahwa ia akan selalu berada di sekeliling kakaknya dan pria itu sebaiknya waspada.
“Kau bisa menginap di salah satu kamar kami. Benar, kan, Noah?”
“Ya,” jawaban Noah singkat dan terdengar penuh kebohongan di telinganya. Keberadaan Arfa tak baik untuk ingatan-ingatan Naya yang berusaha Noah kubur dalam-dalam. Sebaiknya pria itu tak menjadi musuhnya jika masih ingin melihat wajah Naya.
Arfa memasang raut bersalah. Tawaran yang menarik, tapi ia tak ingin diawasi oleh Noah. “Arfa punya beberapa urusan dengan seorang teman.” Arfa beralasan.
“Aku akan mengantarmu.” Suara Noah dalam, memaksa, dan mengunci tatapan Arfa.
Arfa mengangguk. Ia memang perlu bicara berdua dengan Noah di belakang kakaknya. “Baiklah. Terima kasih.”
Noah mengurai rangkulannya. Melepaskan jas dan memberikannya pada Naya beserta dasinya. Kemudian menunduk sedikit dan mendaratkan kecupan ringan di bibir Naya. Menunjukkan pada Arfa bahwa rumah tangganya dan Naya dalam keadaan baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja sampai kapan pun. Kemesraannya dan Naya tak pernah berubah sedikit pun. Begitu pun cintanya. Lalu berjalan ke arah pintu lift lebih dulu.
“Sampai jumpa, Kak.” Arfa menunduk, mengecup pipi Naya dan berjalan mengikuti Noah.
Noah menahan kepalan tangannya hingga lift membuka. Keduanya menampilkan senyum palsu untuk Naya yang melambai pada mereka dari pintu apartemen. Hingga pintu lift tertutup, senyum itu lenyap tak berbekas. Dan tabuhan perang ditunjukkan secara terang-terangan.
“Jadi, kau memanipulasi ingatan kakakku?” dengus Arfa merasa kemenangan telah berada dalam genggaman tangannya. Noah tampak begitu resah dan tertekan dengan keberadaannya, sudah jelas pria itu ingin menyingkirkan dirinya dari hidup kakaknya.
***