Bab 15. Jalan Keluar

1022 Kata
Aya mengetik di depan laptopnya dengan sedikit bertenaga. Bahkan saat menekan enter, lumayan keras. Kemudian ia mendesah kasar. Menandakan kalau hatinya tidak tenang. "Penulisnya pasti tidak melakukan riset saat membuat novel." "Kalau penulis perempuan, pasti dia sangat malas dan jarang berkomunikasi juga sering menyendiri." Terlintas kalimat Nathan yang diucapkan padanya tadi siang. Aya kembali menggebrak meja dengan laptopnya dengan setengah kencang. Rasanya ia masih sangat kesal. "Kenapa dia bisa menilai seenaknya seperti itu?!" gerutu Aya berbicara sendiri. "Memang dia pikir siapa dia berani menilaiku?!" tambah Aya masih berbicara dengan kesal. Aya sudah sering mendengar olokan tentang dirinya soal suaminya atau hal lain soal keretakan rumah tangganya. Itu tidak membuatnya sangat kesal seperti sekarang. Aya kemudian mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi baca tulis yang ada dari Dane Publisher. Aya berniat untuk segera menghapus novelnya. Aya masih kesal dan ia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Ketika baru membuka aplikasi, tiba-tiba Aya mendengar suara keras dari luar. Seperti sesuatu yang yang terjatuh di lantai. Membuat Aya terkejut dan segera ingin melihatnya. Aya buru-buru berdiri dari duduknya. Ia segera berlari ke luar kamarnya. Ingin melihat apa yang terjadi baru saja. Saat Aya baru membuka pintu kamar, betapa terkejutnya Aya. Ia melihat bapaknya tergeletak di lantai. Aya langsung berlari ke arah bapaknya dengan berteriak.. "Bapak!" teriak Aya sambil menolong bapaknya. *** "Bapak! Kak Aya!" Aya menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Aya yang sedang bersama bapaknya di dalam kamar pasien itu, menoleh ke arah pintu masuk. Prisa masuk melalui pintu masuk tersebut. "Bagaimana keadaan bapak?" Prisa setelah berjalan mendekat ke arah bapaknya dan ayahnya menungguinya di samping. "Bapak tidak apa-apa," jawab bapaknya. "Ada apa dengan bapak? Kenapa tiba-tiba pingsan?" "Kata dokter, bapak pingsan karena tekanan darahnya kurang," jelas Aya. "Kenapa bapak tidak bilang?!" tanya Prisa masih dengan nada khawatir. "Bapak tidak apa-apa, kok. Sekarang bapak sudah boleh pulang," kata bapaknya lagi. "Nala dan Nadia bagaimana?!" "Tadi sudah aku titipkan ke bude. Mereka tahu kalau kakeknya pingsan," jawab Aya. Kemudian Aya menoleh ke arah bapaknya. "Bapak istirahat dulu, ya. Aku mau membeli makanan dulu," pamit Aya. "Iya," ucap bapak Aya. "Aku akan menemani bapak di sini, Kak," tawar Prisa. Aya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Kemudian, ia berjalan ke arah luar kamar pasien. Lagi pula, bapaknya juga sudah banyak membaik. Aya yang sudah di luar, menutup kembali pintunya. Kemudian, ia melihat dari kaca bagian luar. Lalu Aya menjauh dari kaca. Aya tidak langsung pergi untuk membeli makanan seperti apa katanya. Ia duduk di depan pintu, kamar pasien dengan lemas. "Bapak Anda sedang sangat stres. Beliau merasa kelelahan dan tertekan, jadi memicu beberapa syarat otaknya dan badannya tidak kuat menahannya." Aya terlintas kalimat dokter yang dijelaskan padanya tadi. Membuat Aya memikirkan bapaknya. Kira-kira, kenapa bapaknya stres hingga pingsan seperti tadi? Akhirnya Aya bertanya pada bapaknya. "Bapak. Memiliki hutang yang cukup besar. Besok, bapak juga harus segera melunasinya." "Bapak kenapa tidak bilang padaku?" "Mana mungkin bapak merepotkanmu?!" "Berapa hutang bapak? Aku akan membayarnya." Setelahnya percakapan singkat antara Aya dan bapaknya. Tentu saja, Aya tidak tinggal diam. Ia sudah melunasi semua hutang bapaknya. Aya membayarnya dengan hasil tabungan dari menulis. Masalahnya sekarang, tabungan Aya hanya tersisa sangat sedikit. Aya menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia menghela nafas beratnya. Kenapa kehidupannya sangat berat dirasa? Sekarang, ia bingung apa yang harus ia lakukan? Padahal, tabungan itu memang untuk biaya cerai dan kebutuhan anak-anaknya. Tiba-tiba, ponsel Aya berdering. Membuatnya terhenyak sesaat. Aya pun mengambilnya dari dalam saku. Ketika Aya melihat layar ponselnya, ia menautkan kedua alis. Di sana tertulis Rendy, dari Dane Publisher. Aya jadi berpikir. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk mengangkat panggilan dari Rendy tersebut. Kira-kira, kenapa Rendy tiba-tiba menelponnya? Tapi, tanpa pikir panjang, Aya mengangkatnya. "Halo?" sapa Aya yang ragu-ragu. "Halo, Aya?!" Rendy balik menyapa dan kedengarannya cukup antusias. "Iya?" "Aya. Masih ingat denganku, kan? Aku Rendy." "Iya. Tentu saja ingat." "Aya. Aku minta maaf sekali atas kejadian beberapa waktu lalu. Aku benar-benar minta maaf. Aku harap, kamu tidak memasukkannya ke dalam hati." "Sebenarnya, Anda tahu, bukan Anda yang bersalah, kan? Justru, saya berterima kasih pada Anda, karena kalau Anda tidak menelfon dengan pengeras suara waktu itu, saya tidak akan pernah tahu kalau ternyata n****+ saya sejelek itu," kata Aya terdengar malas. "Bu ... bukan begitu! Jangan berpikir begitu! Sejujurnya novelmu sangat bagus! Bahkan, atasan kami pun juga setuju kalau kamu yang jadi pemenangnya!" Aya menautkan kedua alisnya heran mendengar ungkapan Rendy. Mendadak, hatinya seolah ada letupan-letupan kecil dari rasa senang. Membuatnya diam dan memberikan kesempatan untuk Rendy berbicara. "Tolong, apa kamu bisa datang lagi ke sini untuk tanda tangan kontrak?" tanya Rendy lagi. Butuh waktu beberapa detik untuk Aya menjawabnya. "Sebenarnya, saya mau-mau saja. Tapi, bukankah orang yang bernama Nathan itu tidak menyukai n****+ saya? Bahkan sepertinya, dia juga tidak menyukai saya?" "Ini semua hanya salah paham! Tolong, mengertilah. Nathan, hanya membaca bagian sekilas. Bahkan di bab satu saja dia belum selesai! Jadi, dia memang tidak tahu ceritanya!" "Benarkah?" "Saat aku menyuruh membaca keseluruhan novelmu, dia juga sependapat denganku dan bahkan dia sampai menangis karena novelnya sangat bagus!" "Kalau begitu, kenapa bukan Nathan itu saja yang menelpon untuk meminta maaf?" "Dia sedang sangat sibuk. Aku mewakilinya untuk minta maaf. Nanti, kalau kamu sudah ke sini dan bertemu dengannya, dia juga akan meminta maaf padamu." Aya kembali berpikir. Sebenarnya, saat ini dia tidak punya pilihan lain. Aya, memang harus bekerja sama dengan perusahaan itu, karena dia memang butuh. Kalau tidak, ia akan kesulitan untuk menemukan pekerjaan dalam waktu cepat. "Baiklah. Aku bisa mengerti. Aku akan segera ke sana secepatnya." "Terima kasih. Kalau begitu, aku tutup dulu teleponnya." Rendy menjauhkan ponsel dari telinga. Setelah mematikan panggilan, ia langsung mengambrukkan badannya di kursi depan meja kerjanya sambil menghela nafas beratnya. "Apa yang kau lakukan?!" Suara Nathan dengan nada jengkel ke arah Rendy. "Apa lagi?! Berusaha menyelamatkan karir kita!" jawab Rendy. "Apa yang kau bicarakan dengan penulis tadi! Aku belum membaca novelnya?! Apa?! Menangis?! Bukankah kau keterlaluan?!" Nathan dengan meninggikan nada bicaranya dengan kesal. "Tan! Mengertilah dengan perempuan. Mereka senang dibujuk dan lebih senang kalau kita mengalah. Nyatanya berhasil bukan? Aya mau tanda tangan! Lagi pula, ini semua salahmu. Jadi, bersabarlah sebentar." Rendy menepuk pundak Nathan beberapa kali. Nathan pun hanya bisa menghela nafas panjangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN