Bab 14. Saling Menduga

1096 Kata
Prisa terkejut menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka dari luar. Aya membuka pintu rumah bapaknya dengan sangat kencang. Membuat Prisa yang masih belum berpikir panjang, menyambutnya. "Kak Aya sudah pulang?!" sambut Prisa senang. Aya tidak menjawab. Ia terus melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah muram. Sampai Aya duduk di sofa dan Prisa masih memperhatikannya. "Kenapa Cepat sekali?" tanya Prisa lagi yang mulai bingung. Prisa mencoba memahami bahasa tubuh kakaknya. Sedangkan Aya, terus diam dengan setengah memanyunkan bibirnya ke depan. Membuat Prisa heran. Prisa pun akhirnya duduk di samping Aya. "Kak Aya kenapa? Sepertinya Kak Aya marah? Bukannya seharusnya Kak Aya senang bisa tanda tangan kontrak dengan Dane Publisher?" "Aku tidak jadi menandatangani kontrak itu!" kata Aya dengan nada kesal. "Kenapa, Kak?" Aya pun menceritakan kejadian yang baru saja ia alami. Prisa diam mendengarkan dengan saksama. Setelah bercerita kejadian, barulah Prisa paham. "Astaga, Kak. Jadi, Kakak mendengar sendiri langsung?" "Iya! Aku tidak masalah dengan yang namanya Rendy. Tapi yang namanya Nathan itu, membuatku jengkel." "Wah, kalau aku di posisi Kak Aya, tentu saja aku juga marah." "Tidak masalah kalau aku dibatalkan menjadi pemenangnya. Tapi dia tidak seharusnya menjelek-jelekkan karyaku. Dia bahkan juga berkata kasar padaku!" Aya berbicara dengan memberikan penekanan pada kalimatnya. "Kamu tahu apa yang dia katakan? Dia bilang, hanya dengan membaca novelku, dia bisa tahu kalau penulisnya adalah orang yang malas. Sulit berkomunikasi dengan orang dan suka menyendiri! Dia juga mengira aku tidak melakukan riset saat menulis. Enak saja menghakimi orang atas karya yang tidak ia suka?!" lanjut Aya nampak semakin kesal. "Sabar, Kak. Sabar." Prisa mengusap pundak Aya dengan pelan. "Mungkin dia memang tidak menyukai novelku. Tapi bukan berarti pembaca juga tidak menyukai novelku, bukan? Buktinya banyak pembaca yang mengikuti novelku sampai sekarang!" lanjut Aya lagi. "Tenanglah, Kak. Dia bisa berkata jujur seperti itu kan, karena dia tidak tahu ponselnya di loud speaker?" "Tapi, tetap saja dia tidak tahu diri! Bisa-bisanya dia men-judge orang hanya dengan menilai satu karya saja?!" "Benar juga, ya. Dia berbicara kasar hanya dengan satu karya. Mengesalkan juga orang seperti itu. Siapa tadi namanya?" "Nathan!" ucap Aya kelihatan tidak ikhlas. "Dari namanya, kelihatannya tampan." "Tampan apanya?! Nama seperti itu sangat pasaran di mana-mana!" Kali ini, Aya menyedekapkan kedua tangannya. "Aku akan terus mengingat namanya. Nathan Danendra," kata Aya dengan tatapan kemarahan. *** Nathan berjalan melewati pintu masuk kantornya. Saat itu, Rendy yang sedang fokus pada laptop mendengar suara langkah kaki masuk. Ketika Rendy menoleh, ia langsung terhenyak dan berdiri berjalan ke arah Nathan. "Tan! Apa yang kau lakukan?!" ujar Rendy segera dengan nada setengah kesal. Tanpa menyambut Nathan. Nathan masih tidak menjawabnya. Ia hanya terus berjalan ke arah mejanya. Rendy terus mengikutinya sambil mengomel. Nathan langsung duduk di meja kerjanya dengan ekspresi datar. "Katakanlah sesuatu?! Kenapa kau bisa setenang itu saat ini?!" Rendy terus saja berbicara memenuhi gendang pendengaran Nathan. "Apa yang harus aku katakan?" "Kau baru saja mengacaukan semuanya! Kenapa tiba-tiba kau berbicara sekasar itu pada penulisnya?!" "Siapa yang tahu kalau ternyata kau menggunakan pengeras suara? Lagi pula, kenapa kau memilih pemenang tanpa memberitahuku dulu? Kau pikir dengan keputusan sepihak mu aku langsung setuju?" "Kapan kau tidak setuju dengan keputusanku? Selama kita menyelenggarakan lomba berupa artikel, makalah, opini atau esai, semuanya kau selalu sependapat denganku." "Selama ini tulisan yang kau pilih adalah karangan yang bersifat informasi pasti. Tentu saja, penilaiannya juga pasti." "Lalu apa bedanya dengan n****+ yang aku pilih?!" "Tentu saja itu tidak pasti." "Justru itu! Penilaian n****+ memang subjektif. Mana ada n****+ yang berisi informasi pasti?! n****+ adalah karya hasil dari imajinasi!" "Maksudku, paling tidak ada makna yang harus diambil dari sebuah bacaan." "Memangnya kau sudah membacanya?!" "Sudah bab tiga awal. Aku tidak tertarik. Menurutku n****+ itu tidak bagus." "Kalau tidak bagus, kenapa bisa digemari pembaca?! Dengar! Aku sudah memilihnya sebagai pemenang. Dan tidak mungkin dibatalkan begitu saja! Aku juga jadi merasa tidak enak dengan penulisnya." "Dia sendiri juga membatalkan kontraknya kan? Kenapa kau yang bingung? Kau hanya tinggal menjelaskan pada atasan kalau novelnya tidak layak setelah mengetahui isinya." "Enak saja bicaramu! Justru karena aku sudah melihat isinya itu, aku jadi memilihnya sebagai pemenang. Lagi pula, banyak sekali pembaca yang menyukai novelnya. Bahkan, dia masuk ke daftar n****+ populer bulan ini." "Yang populer belum tentu yang bagus." "Apa yang harus aku katakan pada pak Aris nanti?!" "Kalian membicarakanku?" Tiba-tiba, suara seorang laki-laki terdeteksi dari arah luar, dekat pintu kantor. Membuat Rendy dan Nathan terhenyak. Mereka langsung melihat ke arah pintu, dan atasan mereka muncul begitu saja. "Silahkan masuk, Pak," kata Rendy. "Ren. Kau sudah menentukan pemenangnya kan? Seharusnya hari ini tanda tangan kontrak sudah dilakukan, bukan?" tanya pak Aris. Rendy dan Nathan terdiam dan tidak langsung menjawabnya. Mereka kebingungan bagaimana menjelaskan masalah teknis seperti ini. Membuat pak Aris bingung melihat mereka. "Ada apa dengan kalian? Apa ada masalah?" tanya pak Aris kembali. "Maaf, Pak. Sebenarnya, saya belum tanda tangan kontrak hari ini." "Kenapa?! Apa penulisnya tidak mau? Bukankah itu juga menguntungkannya?! Lagi pula, kemarin kau mengatakan kalau dia mau saat kau menelponnya, kan?" "Untuk hari ini, masih belum bisa, Pak." "Apa dia tidak mau?" "Bukan begitu, Pak." "Begini. Aku juga setuju kalau penulis yang kau pilih ini akan tanda tangan kontrak. Melihat novelnya sangat digemari, itu akan sangat membantu pemasaran kita ke depannya. Lagi pula, dia adalah penulis tetap Dane Publisher." "Iya, Pak." "Kabari aku kalau dia sudah tanda tangan, ya. Aku butuh berita kalian secepatnya." Setelah mengatakan itu, pak Aris kembali berbalik dan keluar kantor. Meninggalkan Rendy dan Nathan yang bersikap kikuk itu. Setelah pak Aris pergi, Rendy langsung kembali fokus pada Nathan. "Lihat! Kau benar-benar membuat semua ini jadi berjalan tidak mudah!" "Apa masalahnya? Gampang saja, bukan? Panggil lagi dia ke sini dan katakan kalau dia memang menang." "Kau ...." Rendy kehabisan kata-kata. Ia tidak habis pikir dengan sikap Nathan. Bagaimana bisa dia sesantai ini sekarang? "Kau sama sekali tidak mengerti wanita, ya! Dia perempuan yang terlihat lembut. Tadinya dia sangat senang, sampai kau mengatakan hal yang tidak berguna. Tentu saja saat ini, dia sedang marah dan sakit hati! Bahkan dia mengancam akan menghapus novelnya itu!" tukas Rendy. Nathan hanya bisa diam. "Tanganilah masalah ini! Kau yang membuat masalah, kau yang harus memperbaikinya. Bujuklah penulis itu untuk mau kembali menandatangani kontrak perjanjiannya! Aku tidak mau tahu!" Setelah itu, Rendy segera keluar begitu saja. Meninggalkan Nathan di sana. Tidak memberikan Nathan kesempatan untuk berbicara. Nathan pun juga setengah berpikir untuk menyelesaikan masalah ini. Nathan akhirnya membuka ponsel. Ia kembali melihat n****+ pilihan Rendy yang sudah dipilihnya. Sekilas melihat-lihat n****+ yang sudah ditulis oleh penulis itu. "Aya Haninda?" ujar Nathan membaca nama penulisnya. Nathan menghela nafasnya. "Memang, seperti apa orangnya?" tanya Nathan dengan mengira-ngira.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN