Bab 13. Dua Pemikiran

1499 Kata
"Halo, Aya Haninda? Apa anda masih mendengar saya?" Suara Rendy yang masih berbicara dengan Aya melalui telepon. Ia heran karena Aya hanya diam dan tidak menjawab. Sehingga ia menjadi heran dan bingung. "I ... iya. Maaf. Saya hanya terkejut," jawab Aya dengan cepat. Laki-laki tadi tertawa sebentar. "Itu memang reaksi dari para pemenang biasanya," jawab laki-laki tadi. "Terima kasih. Saya tidak menyangka kalau n****+ saya akan menang. Tapi, bukankah pengumumannya masih besok?" "Secara jadwal memang masih besok. Tapi, kami tim penyelenggara sudah menentukan dari sekarang." "Terima kasih. Sekali lagi terima kasih!" seru Aya sangat senang. "n****+ kamu, menang karena memiliki retensi pembaca bagus dan sesuai syarat, kamu adalah penulis terkontrak di Dane Publisher sejak hampir dua tahun terakhir. Kebetulan. Kami memang mencari penulis tetap untuk Dane Publisher." "Jadi, apa yang harus saya lakukan selanjutnya?" tanya Aya. "Karena ini adalah kontes n****+ yang akan dijadikan buku cetak, apa kita bisa bertemu untuk membicarakan alur yang tepat? Meskipun n****+ ini menang, tapi masih harus ada revisi yang dikerjakan. Apa kamu bisa?" "Tentu saja saya bisa." "Kalau begitu, aku akan menentukan waktu selanjutnya untuk kita bisa bertemu di kantor Dane Publisher. Apa kamu tahu alamat kantor Dane Publisher?" "Iya. Saya tahu, Pak. Ah! Maaf, tadi apa benar dengan Pak Rendy?" tanya Aya memastikan nama laki-laki itu. "Sebenarnya, saya masih muda. Hahaha ...." Rendy tertawa untuk mengusir kecanggungan. "Tapi, untuk profesional, silahkan saja. Betul. Namaku Rendy. Jadi, saat di kantor Dane Publisher, kamu bisa langsung bilang pada resepsionis kalau sudah membuat janji denganku." "Baik, Pak." "Kalau begitu, tunggu kabar dariku selanjutnya, ya." Panggilan terputus. Aya menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia lalu melihat layar ponsel untuk kembali mengusap kursor berwarna merah. Setelah itu, Aya meletakkan ponsel di sofa sampingnya dengan ekspresi datar. "Kyaaaaa!" Setelah sekian detik, Aya menjerit, namun dengan suara berbisik. Sambil menutup mulut dengan girangnya. Seolah meluapkan rasa bahagia dan senangnya. Ini bagaikan sebuah kebanggaan tersendiri baginya, karena ia masih tetap berprestasi meski hanya menjadi single mom yang mengurus anak di rumah. *** Aya memarkir motornya di tempat parkir yang sudah disediakan. Setelah itu, ia mematikan mesin motor dan turun dari motor dan melepas helmnya. Kemudian, Aya melihat ke arah depan. Dane Publisher. Itulah nama gedung yang Aya baca tepat di depan ia berdiri di sebuah bangunan. Tentu saja Aya sudah membuat janji dengan laki-laki penyelenggara n****+ yang menghubunginya waktu itu. Aya pun berjalan masuk dan melewati pintu utama gedung tadi. Aya memperhatikan gedungnya lumayan besar. Meskipun Aya selalu bekerja untuk Dane Publisher selama ini, tapi baru kali ini ia datang ke gedung ini. "Permisi?" tanya Aya pada seorang resepsionis setelah sudah sampai. "Iya? Bisa saya bantu?" Resepsionis bertanya balik. "Saya Aya Haninda. Saya mencari pak Rendy. Kami sudah membuat janji." "Oh, baik. Silahkan langsung ke kantor beliau. Di lantai dua, nanti belok ke kanan dan ruangan pertama," jelas resepsionis tadi. "Baik. Terima kasih," jawab Aya. Aya pun berjalan menjauh dan menuju ke tempat yang ditunjukkan resepsionis tadi. Sejujurnya, Aya sangat gugup. Sudah lumayan lama juga ia tidak bertatap muka di dunia perkantoran. Selama ini ia juga hanya bekerja dari rumah. Tidak membutuhkan waktu lama Aya sampai. Ketika sudah berada di depan ruangan Rendy, Aya melihat seorang pria, yang duduk membelakanginya. Pasti itu yang namanya Rendy. Aya menarik nafas panjangnya, membuat tubuhnya rileks. Ia kemudian mengetuk pintu beberapa kali. Laki-laki yang ada di dalam pun segera menoleh ke arah pintu. "Permisi, saya Aya Haninda," ujar Aya. "Oh! Silahkan masuk!" pinta Rendy nampak antusias dan langsung berdiri. Aya tersenyum dan mengangguk sopan, dan langsung masuk ke dalam kantor. "Silahkan duduk. Aku sudah menunggumu," ujar Rendy. Aya sekali lagi hanya mengangguk sopan dan ia duduk sesuai perintah. "Ngomong-ngomong, kita belum kenalan secara resmi, kan? Kenalkan, aku Rendy. Penyelenggara lomba n****+ ini." Rendy mengulurkan tangan pada Aya. "Aya," ucap Aya membalas jabat tangan Rendy. "Maaf, aku langsung berbicara normal padamu karena aku lihat usiamu di data pribadi masih dua tahun lebih muda dariku. Tidak masalah kan?" tanya Rendy lagi. "Tentu saja tidak masalah." "Kita langsung membahas n****+ kamu, ya. Di n****+ kamu, pada bab awal, sudah rapi. Porsi narasi dan percakapan sudah tepat. Diksi kamu juga menarik dan simpel. Mudah dipahami," jelas Rendy yang kembali fokus pada percakapan mereka. Mendengar penjelasan dari Rendy itu, membuat Aya berbunga-bunga. Ia masih tidak menduga jika ia yang dulu kuliah di jurusan ilmu eksak, bisa jadi pemenang menulis n****+. Meskipun memang hobinya sejak SMA adalah menulis, tapi tetap saja itu menjadi kebanggaan tersendiri. "Di sini, aku akan menjelaskan soal kelanjutan novelnya. Seperti yang kamu tahu, n****+ yang menang, selain mendapat hadiah uang tunai, akan dicetak. Serta bisa di filmkan." "Iya," jawab Aya. Aya benar-benar menahan sebuah luapan emosi bahagia ketika mendengar hal itu. "Sebelumnya, aku ingin tahu apa kegiatan sehari-hari kamu selain menulis n****+?" "Saya, di rumah mengurus dua anak saya." "Kalau begitu, untuk kelanjutannya, n****+ ini akan mengalami beberapa revisi. Jadi, nanti kamu akan terikat kontrak dengan kami dan akan sering datang ke kantor ini. Apa kamu bersedia?" "Ya! Tentu saja saya bersedia!" "Baiklah. Sekarang, seperti kataku tadi, sebelum kamu menandatangi kontraknya, aku akan menjelaskan sedikit. Nantinya, kamu akan terus berhubungan dengan rekan kerjaku. Namanya Nathan." "Nathan?" ulang Aya. "Ya. Nathan Danendra. Dia yang akan mengerjakan kelanjutan n****+ ini seperti mendesain cover, membuat visual dari hasil desain, dan hal-hal lain. Nanti sore, dia akan kembali dari luar kota," jelas Rendy lagi. Mendengarnya, Aya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Begini saja. Aku akan menelpon dan memperkenalkannya untukmu." Rendy segera mengeluarkan ponselnya. Ia mengusap kursor ponsel sebentar. Kemudian ia meletakkan ponselnya di depan meja yang membatasi Aya dengan Rendy. "Aku akan menggunakan pengeras suara, agar kamu bisa langsung berbicara dengannya setelah aku," tambah Rendy. Aya sekali lagi hanya mengangguk dan tersenyum. Terdengar suara dering ponsel yang keras. Mereka berdua menunggu. Sampai terdengar suara dari seberang sana, jika orang yang dihubungi sedang mengangkat panggilan. "Halo, Ren?" suara orang dari dalam ponsel. "Tan! Apa kau sibuk?" . "Tidak." "Aku ingin membicarakan soal pemenang n****+ kontes itu. Kau sudah melihatku memilih pemenangnya, kan?" "Ya." "Nah, sekarang ...." "Kenapa kau memilih pemenangnya tanpa aku?!" Tiba-tiba saja Nathan memotong kalimat Rendy yang belum sempat menjelaskan apapun. Membuat Rendy langsung terdiam. Aya pun juga masih di sana. "Aku sama sekali tidak setuju! Kau pikir novelnya bagus? Hingga kau langsung memutuskannya?!" lanjut Nathan. Rendy terkejut mendengar ungkapan tidak terduga dari Nathan. Apa lagi Aya yang juga bisa mendengarnya dengan jelas. Rendy pun langsung panik dan melihat ke arah Aya dengan tatapan kikuk. Aya hanya diam dan seolah ia berpura-pura tidak mendengar. "Tan. Sebenarnya ...." "Gaya tulisannya biasa saja. Dan menurutku, ceritanya sangat jelek. Lebih jelek dari sinetron biasa di televisi," potong Nathan sekali lagi. Rendy semakin panik. Tidak sadar, jika ia mengeluarkan keringat dingin mendengar kalimat Nathan itu. Sedangkan Aya, hanya terdiam. Mendadak, ia jadi merasa kesal. Rendy yang melihatnya, melayangkan senyum amat canggung. "Enak saja dia mengatakan ceritaku jelek?!" gerutu Aya dalam hati. "Aku pikir, penulisnya ini menulis n****+ tanpa riset dulu. Kalau penulisnya perempuan, pasti dia sangat minim ilmu pengetahuan. Dia juga pasti jarang berkomunikasi dan lebih senang menyendiri." Aya mendengus kesal kali ini. Bahkan, Rendy pun bisa melihatnya. Rendy jadi bingung dan ia segera ingin mematikan pengeras suara di ponselnya. Namun, Aya mencegahnya. Membuat Rendy terkejut dibuatnya. "Penulisnya laki-laki atau perempuan?" tanya Nathan dari dalam telepon, yang tidak tahu apa-apa. "Kalau dia perempuan, pasti dia sangat malas dan mungkin saja dia memiliki temperamen yang buruk." Cukup. Aya tidak tahan lagi. Ia yang tadinya diam itu, tanpa memikirkan apapun juga, ia segera menyambar ponsel Rendy dan mendekatkan ke arahnya. Aya ingin langsung membalas pernyataan Nathan untuknya. Rendy pun hanya diam menciut di sana. "Ya. Aku memang perempuan! Tapi aku tidak malas seperti katamu!" kata Aya menahan sebuah luapan emosi. Terdapat jeda waktu agak lama dari dalam suara ponsel tadi. "Siapa ini?" Suara Nathan terdengar setelah beberapa detik kemudian. "Aku. Aya Haninda. Penulis yang sedang kau bicarakan dengan sangat kasar tadi!" kata Aya yang mulai tidak bisa mengontrol emosinya. "Kenapa bisa ...." "Ya. Aku memang suka menyendiri karena membuat waktuku lebih efektif," potong Aya lagi yang tidak mau memberikan kesempatan pada Nathan. "Tapi, aku selalu melakukan riset sebelum menulis. Dengar! Meski kamu tidak setuju aku menang, tapi paling tidak kamu tidak bisa memperlakukan karya orang lain dengan buruk! Dan lagi, kalimatmu untuk menjadi seorang penyelenggara terdengar sangat kasar! Aku bahkan akan berpikir berulang kali kalau aku harus bekerja sama denganmu!" Setelah itu, Aya langsung mematikan ponsel Rendy, untuk memutus panggilan begitu saja. Tidak memberikan Nathan kesempatan menanggapinya. Membuat Rendy yang masih di depannya, melongo keheranan. Aya bisa sampai semarah itu. Sedangkan Aya, terdiam dan mencoba mengatur nafas karena emosi yang kacau. "Aya. Maaf, sebenarnya ...." "Aku tahu apa yang akan kamu katakan!" potong Aya. "Aku tidak jadi menang dalam kontes ini, karena orang yang bernama Nathan itu, tidak setuju." "Aya. Bukan begitu. Aku ...." "Aku juga tidak akan menandatangani kontaknya. Tenang saja. Novelnya pasti akan aku hapus dari aplikasi." Setelah mengatakan hal itu, Aya langsung berdiri. Kemudian ia pergi begitu saja. Rendy pun semakin kebingunganmo dibuatnya. Ia hanya bisa berdiri membeku melihat Aya yang keluar dengan sangat marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN