Bab 3. Hamil Lagi

1128 Kata
Aya menggedor pintu rumah bapaknya dengan sangat keras di pagi petang. Perjalanan dari luar kota membutuhkan waktu kurang lebih empat jam. Meskipun ia sudah sampai di rumah dengan aman, tapi rasa ketakutannya masih belum hilang. Pintu dibuka dari dalam. Aya melihat bapaknya membukakan pintu untuknya. Tentu saja, ayahnya sangat terkejut melihat putrinya menggendong cucunya di pagi buta seperti ini. "Aya?! Kenapa kamu bisa ...." Bapak Aya terhenti berbicara karena kebingungan sendiri. Aya tidak mengatakan apapun juga. Ia langsung masuk ke dalam rumah dengan menggendong Nala, dan langsung duduk di sofa ruang tamu dengan lemas. Tentu saja ayahnya sangat kaget, seperti melihat sosok hantu. Aya yang tadinya tinggal di luar kota, tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan apa-apa. Dan lagi, putrinya itu, tidak membawa barang sama sekali, kecuali hanya menggendong cucunya. "Kok, tiba-tiba pulang tanpa kabar? Di mana Abian?" tanya bapak Aya dengan masih celingukan melihat ke arah luar. Aya yang sudah duduk di sofa itu, masih tidak menjawab. Ia menurunkan Nala yang sudah bangun di sampingnya. Kemudian, bapak Aya pun menggendong Nala dengan masih kebingungan. "Ada apa ini?! Kenapa denganmu?!" Aya meringkukkan kepalanya. Membenamkan di dalam pelukannya. Ia juga menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Semakin membuat bapaknya kebingungan. "Aya? Apa yang terjadi sebenarnya?!" tanya bapak Aya yang semakin tidak mengerti. "Pak," panggil Aya. "Aku ingin bercerai," lanjut Anggun dengan suara seraknya. *** Aya lamat-lamat membuka kedua matanya yang masih terasa berat. Ia menatap langit-langit dan mengumpulkan seluruh kesadarannya. Saat semua nyawanya sudah terkumpul, ia merasa lega karena ia sudah berada di rumah orang tuanya. Aya melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul delapan malam. Ia lalu melihat ke arah sampingnya. Nala sudah terlelap. Aya menghela nafas beratnya. Mungkin ia terlalu lelah, hingga ia ikut ketiduran saat menidurkan Nala tadi. Bagaimana tidak lelah? Hampir semalaman, ia tidak tidur hanya untuk melarikan diri. Aya memang merasa aman ada di rumah orang tuanya, tapi ia tidak pernah bisa tenang untuk sementara waktu. Rasa trauma itu masih membekas di memorinya. Jika saja ia tidak lari tadi malam, apa ia bisa bernafas kali ini? Aya lalu bangun dan duduk di ranjangnya. Ia memegangi bagian samping dahinya dengan kepalanya. Merasa sangat pusing sekali. Aya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Masih sangat jelas betapa mencekamnya kejadian tadi malam itu? Aya adalah seorang yang takut kegelapan, tapi dia memberanikan diri dan nekat mengambil tindakan berlari di malam hari. Aya membuka kedua tangannya. Saat itu, tepat ia melihat jaket dari laki-laki yang menolongnya untuk mengantarkan ke terminal bus tadi malam. Jaket itu ada di atas meja dekat ranjangnya. Aya pun berdiri, berjalan mendekat ke arah jaket tersebut. Ia mengambil jaket itu dan memandanginya. Jaket ini, yang menyelimuti Nala selama perjalanan di bus waktu itu. Melindungi Nala dari dinginnya angin malam. "Pakaikanlah untuk putrimu." Aya terlintas kalimat dari laki-laki itu padanya. Andai saja, ia tidak bertemu laki-laki itu, entah apa yang akan terjadi pada Aya malam itu? Aya juga berpikir, bahkan laki-laki lain yang tidak ia kenal saja masih peduli padanya dan anaknya. Sebaliknya, suaminya justru ingin membunuhnya hanya karena soal cemburu yang berlebihan. Aya lalu mengambil jaket itu dan menaruhnya di hanger dan meletakkannya di dalam lemari. Sebelum menutup lemari, Aya memandangi jaket itu. Sebenarnya, saat menunggu di dalam bus, Aya mengetahui jika laki-laki itu memberikan uang pada kondektur bus. Setelah itu, bus baru berjalan. Aya tahu, laki-laki itu menolongnya, agar tidak terlalu lama menunggu di bus. Andai saja, suaminya adalah laki-laki itu. Pikirnya. "Terima kasih," ucap Aya berbicara pada jaket itu. Seolah ia benar-benar berbicara pada laki-laki yang menolongnya waktu itu. "Kalau diingat, aku bahkan belum mengucapkan terima kasih malam itu," kata Aya berbicara sendiri. Setelah itu, barulah Aya menutup lemarinya kembali. Aya lalu berjalan kembali ke arah ranjangnya. Ia membenarkan selimut Nala. Kemudian ia mencium pipi Nala yang sudah pulas itu. Aya berposisi setengah menunduk untuk mencium kening putrinya. Kemudian, ia berdiri kembali. Tiba-tiba saja, Aya merasa sangat pusing. Sampai-sampai di sekitarnya terlihat berkunang-kunang. Aya sampai menutup kedua matanya. Ia juga lemas. Sejak tadi, ia terus merasa mual. Aya paham, mungkin ia masuk angin. Siapa yang akan tahan dengan tidak tidur semalaman setelah dicekik, dan tidak menggunakan jaket dengan terus terjaga untuk menggendong balita empat tahun, dalam perjalanan luar kota? "Padahal aku tadi sudah minum obat," gumam Aya lagi-lagi berbicara sendirian. Aya duduk di ranjangnya. Ia masih menutup kedua mata rapat. Berhenti sejenak, mengistirahatkan kepalanya. Semoga saja, pusingnya segera hilang. Namun, bukannya hilang, pusing itu justru semakin bertambah banyak. Aya masih merasa mual-mual. Ia bahkan ingin muntah beberapa kali dengan terus menutup mulutnya. "Astaga. Masuk angin ini benar-benar sudah parah," kata Aya lagi. Aya masih duduk untuk menghentikan reaksinya. Setelah sekian detik, ia sudah lebih baik. Aya lalu ingin kembali mengambil obat yang ada di dalam laci yang tadi diberi ayahnya. Saat Aya membuka lacinya, ternyata obatnya sudah habis. Hanya tinggal bungkusnya saja. Padahal sekarang Aya merasa sangat lemas sekali. Aya memutuskan untuk beli saja. Aya kemudian keluar dari kamarnya. Di luar, televisi ruang tamu sedang menyala. Di sana, ia mencari bapaknya tapi tidak ada. Mungkin bapaknya sedang keluar sebentar. Aya lalu berjalan mendekat ke arah pintu keluar. "Kamu mual-mual terus dari kemarin. Jangan-jangan, kamu hamil?!" Suara dari salah satu drama di televisi itu, membuat Aya terhenti. Ia tercekat dan membalikkan tubuhnya ke hadapan televisi. Saat itu juga, Aya seolah sedang menyadari sesuatu. *** Aya baru saja keluar dari kamar mandi. Bersamaan dengan itu, bapaknya baru masuk ke dalam rumah. Aya dan bapaknya saling tatap sebentar. "Bapak dari mana?" "Dari rumah pak Ega. Ya, kenapa pintu terbuka? Kamu dari luar?" "Ee ... i ... iya, Pak. Aku tadi beli obat." "Kamu masih sakit?" "Sedikit." "Lain kali, kalau sudah masuk dan kamu ke kamar mandi, tutup pintunya. Kenapa tidak menunggu bapak pulang? Bapak bisa membelikanmu obat. Untung saja Nala tidak bangun." "I ... iya, Pak," jawab Aya kikuk. Aya lalu berjalan cepat ke arah kamarnya. Tanpa membalas kalimat bapaknya lagi. Bapaknya hanya melihat Aya dengan setengah heran. Saat berada di dalam kamar, Aya menutup pintu kamarnya perlahan. Ia melihat Nala yang memang masih terlelap. Aya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebenarnya, selain membeli obat, tadi ia juga membeli tes kehamilan. Saat pulang, karena Aya merasa gemetar karena bingung, ia masuk ke kamar mandi dan lupa menutup pintu ruang tamu. Aya menunggu hasil tes kehamilan keluar. Selagi menunggu, mana bisa pikirannya tenang? Kalau diingat, Aya sudah sangat telat tidak haid dari bulan lalu. Aya juga berpikir, akhir-akhir ini ia merasa pusing dan lemas. Selama ini, ia hanya mengira kalau dirinya itu hanyalah stres. Untuk membuktikan itu semua, ia harus melihat apa hasil dari tes kehamilan itu. Aya membuka penutup kepala test pack itu. Ia melihat jelas ada dua garis merah yang terpampang di sana. Aya langsung merasa seolah jantungnya lepas dari tempatnya. Untuk sekian detik, ia terhenti bernafas sejenak. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya hamil lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN