Bab 4. Surga dan Neraka

1096 Kata
Aya menemani Nala bermain di ruang tamu. Bapak Aya ada di kebun, sehingga saat ini mereka berduaan saja di rumah. Tiba-tiba, pintu depan terbuka, membuat Aya menoleh ke arah pintu. Dari balik pintu, terlihat seorang perempuan. Setelah tahu siapa, Aya melebarkan senyumnya. Ia langsung berdiri untuk menyambut perempuan tadi. "Prisa?!" panggil Aya. "Kak Aya!" Mereka berdua berpelukan. Prisa adalah adik kandung Aya. Prisa, tinggal bersama suaminya, dan begitu mendengar kabar tentang Aya, ia segera ke rumah ayahnya. "Ya ampun! Nala sudah besar!" Prisa berjalan ke arah Nala yang bermain dan mencium pipinya. Setelah itu, ia kembali berada di dekat kakaknya. "Kak, apa yang sudah terjadi padamu?!" tanya Prisa. "Kita duduk dulu," ajak Aya dengan lemas. Mereka berdua duduk di sofa. Aya menceritakan semua kejadian yang sudah menimpanya. Di malam mencekam saat ia melarikan diri dari Abian. "Jadi, apa dia sudah menghubungimu?" tanya Prisa lagi. "Ponselku rusak karena dibantingnya. Jadi dia tidak bisa menghubungiku." "Dasar brengs*k!" umpat Prisa kesal mendengar cerita dari kakaknya. "Apa dia tidak mencarimu?" "Aku tidak tahu? Tapi, kalau pun dia mencariku, dia pasti tidak berani ke sini. Dia pasti tidak berani menghadapi bapak kita." "Benar juga! Aku juga sudah hafal sifatnya yang juga pengecut! Lalu, apa keluarganya tahu?" "Aku juga belum tahu? Bapak bilang, bapak akan menghubungi keluarganya. Memberitahu kalau aku ada di sini, dan tentu saja ingin aku bercerai dengannya." "Itu keputusan yang benar, Kak. Kamu harus meninggalkan orang seperti itu! Benar-benar laki-laki tidak tahu diri!" "Tapi ... ada masalah," kata Aya tiba-tiba dengan suara pelan. "Masalah apa?" "Aku ... hamil." "Astaga! Kakak hamil?! Apa dia tahu?" "Tentu saja belum! Aku sendiri bahkan baru tahu tadi malam. Aku baru sadar, kenapa akhir-akhir ini aku mual-mual terus. Makannya tadi malam aku membeli tes kehamilan, dan hasilnya positif." "Apa, Bapak tahu?" "Belum. Aku, takut memberitahu bapak," jawab Aya dengan menundukkan kepalanya. Prisa pun melihat Aya dengan tatapan nanar. "Bapak pasti mengerti, Kak," ujar Prisa menenangkan kakaknya. Aya menganggukkan kepalanya. "Nanti malam, aku akan mengatakannya pada bapak." *** Aya duduk menundukkan kepalanya dalam di sofa. Bapaknya pun hanya terdiam dan masih belum berbicara apapun. Malam yang sunyi itu, terasa sangat panjang. "Jadi, kamu hamil?" tanya bapak Aya setelah beberapa menit mereka berdua hanya diam. "Maaf, Pak," kata Aya dengan masih menundukkan kepalanya. "Lalu, apa rencanamu?" tanya bapak Aya, yang sama dengan pertanyaan adiknya tadi. Aya pun juga tahu apa masalahnya. Proses cerai tidak sebentar. Harus mendaftar, dan antri sampai dipanggil untuk menggugat. Selama itu pun, perut Aya juga akan semakin besar. Sehingga, pengadilan akan menolak perceraian jika mengetahui Aya hamil. "Aya?" panggil bapaknya lagi, karena Aya terus diam dan tidak menjawab. Membuat Aya menoleh ke arah bapaknya. "Aku, belum tahu, Pak," jawab Aya yang kembali menundukkan kepalanya. "Ya sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Sekarang, fokus saja dulu dengan kehamilanmu," ujar bapak Aya. Bapak Aya lalu berdiri. "Sebentar, ya. Bapak mau arisan ke rumah pak lurah dulu," kata bapak Aya yang berjalan ke arah pintu. "Iya, Pak," jawab Aya. Bapak Aya keluar melalui pintu. Meninggalkan Aya yang sendirian di rumah bersama Nala yang sudah tidur di dalam kamar. Aya menjadi di rumah sendirian. Di sofa, Aya terdiam merenung sendirian. Aya menyandarkan badan di atas sofa. Ia memejamkan kedua matanya. Rasa sesak menyeruak dalam hatinya. Padahal, dulu sebelum menikah dan masih bekerja meniti karir, Aya adalah anak kebanggaan bapaknya. Ia lincah dan memiliki banyak prestasi saat kuliah. Bahkan, setelah lulus kuliah, Aya mendapatkan pekerjaan di perusahaan ternama. Sampai saat ia bertemu dengan Abian di tempat kerja. "Mas Abi menjemputku? Hujan-hujan begini? Kalau Mas Abi sakit bagaimana?" "Yang penting bukan kamu yang sakit." "Kamu, adalah perempuan yang sangat berarti di hidupku." "Terima kasih sudah menerimaku apa adanya. Aku berjanji, akan membuatmu bahagia." "Aku sangat mencintaimu. Hanya kamu perempuan sempurna yang pernah aku temui." Aya terlintas semua kalimat Abian, saat mereka masih berpacaran dulu. Abian bilang, ia sangat mencintai Aya. Namun, begitu menikah, kenapa rasa cinta itu bisa berubah sangat cepat? "Naluri seorang suami itu minta dilayani. Seharusnya kamu paham itu!" "Dek! Galonnya datang! Cepat angkat dan pasang sekalian sana!" "Kamu belum masak seharian?! Apa saja yang kamu lakukan?!" "Dek! Nala jatuh sampai menangis! Masak ngurus gitu saja tidak becus?!" "Dek! Nala mengompol di kasur! Gimana sih?! Kenapa tidak dibereskan?! Baunya pesing!" Inikah gambaran perbedaan surga dan neraka ketika di dunia? Kenapa perlakuan Abian saat pacaran dan menikah, terlihat sangat berbeda? Aya selalu dibuat bingung jika memikirkan masa pacaran dan menikah dulu. Aya menarik nafasnya dalam-dalam. Tidak terasa, ia merasa air menggenang di kelopak matanya. Meskipun sebenarnya, Aya sudah cukup lama mati rasa pada suaminya, namun rasa sakit yang menumpuk selama ini, belum bisa hilang semuanya. Apalagi jika sikap cemburu dari Abian datang. Aya bahkan tidak tahu harus bagaimana menghadapi suaminya? Karena ia sering tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan apapun. Yang sering terjadi juga, penjelasan apapun dari Aya, sama sekali tidak mempan untuk membuka pikiran suaminya itu. "Kamu berpakaian bagus karena mau bertemu Toni, kan?!" "Astaga, Mas! Kita mau kondangan! Jelas saja kita harus berpakaian yang pantas dan sopan!" "Halaaah! Jangan suka cari alasan! Aku tadi melihat kalian saling lirik! Kau bermain mata dengannya, kan?!" "Ya ampun, Mas! Kapan?! Kalau pun memang iya, sudah pasti itu tidak sengaja!" "Atau malah jangan-jangan kamu sudah janjian dengannya, kan?! Mengaku saja!" "Mas! Kenapa kamu tidak percaya padaku?! Toni hanya tetangga. Terus sekarang mau kamu apa?! Kamu mau aku tidak bersosialisasi dengan tetangga?! Kamu mau mengurungku di rumah se —" "Diam!" Tangan Abian melayang begitu saja mengenai wajah Aya. Membuat Aya terhenti berbicaraku dan terpelanting juga kaget. "Jangan banyak bicara! Kenapa kamu tidak mengaku saja!" Sekali lagi, Abian menampar pipi istrinya. Kali ini bahkan sampai berwarna merah. Membuat Aya ketakutan dan mundur beberapa langkah. Abian terus maju dan siap untuk tamparan yang ketiga kalinya. "Maaf, Mas! Maafkan aku!" Aya langsung bersujud di bawah kaki Abian. "Aku janji tidak akan mengulanginya lagi! Tolong jangan pukul aku! Nala sedang melihat kita!" Suara Aya bercampur isak tangisnya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar dari arah luar. Membuyarkan memori Aya pada masa-masa kelamnya. Aya pun menoleh ke arah pintu yang diketuk itu. Aya menyeka air matanya cepat. Takut jika bapaknya melihatnya menangis seperti ini. Ia kemudian duduk dari sandaran sofa, dan menegakkan badannya. Lalu, Aya berjalan ke arah pintu. "Kenapa bapak kembali sangat cepat? Padahal tadi katanya mau arisan?" gumam Aya berbicara sendiri. Ketika Aya sudah sampai di depan pintu, Aya membuka pintunya dari dalam. Betapa terkejutnya Aya ketika pintu dibuka. Yang berdiri di depannya adalah Abian, suami yang baru saja terlintas di kepalanya. Jantung Aya seolah terhenti memompa dalam sekian detik. Ia membelalakkan kedua matanya mendapati suaminya sudah berdiri di hadapannya. Abian, melihat Aya dengan wajah suramnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN