Izin dari Bapak.

1527 Kata
Hari pernikahan Reno dan Devi tiba, dari jauh-jauh hari Dimas selalu mengingatkan Khanza bahwa jangan lupa kalau harus datang. Seperti saat itu, dia telah ngechat kembali kalau tepat habis isya akan menjemputnya. Khanza sendiri sebenarnya merasa males harus datang ke acara tersebut, sudah dia bayangkan jika nanti Devi melihatnya datang pasti akan ngebullynya lagi. Namun, jika tidak sudah pasti Devi pun akan menganggap dia lemah. Sungguh pilihan yang sulit. Dia berpikir keras kiranya baju model apa yang cocok dia pakai untuk menghadiri pesta malam hari. Dia pun membuka lemarinya, melihat-lihat gaun koleksi pribadinya di sana tapi, semua telah pernah dia pakai. Matanya terpaku pada salah satu gaun yang merupakan pemberian Reno saat Kakanya menikah. Hati dia perih kala teringat kembali kata-kata Reno yang juga akan segera mempersunting dirinya. Reno telah mempersiapkan segalanya, bahkan rumah pun sudah dia siapkan untuk di tempati mereka berdua. Reno juga yang meminta pada Khanza untuk memilih desain rumah, hingga isinya sesuai selera Khanza. Kini semuanya hanya tinggal kenangan. Khanza keluar dari kamar, dia ingin meminta izin pada Ibunya kalau mau keluar sebentar untuk mencari baju yang akan di pakainya nanti malam. Setelah mendapat izin, dia pun langsung berangkat menuju toko baju dengan mengendarai motornya. Selesai membeli baju yang di inginkannya dia pun pulang kembali kerumah, dia ingin cepat-cepat pulang karena entah kenapa tiba-tiba rasa kantuk menyerang dirinya. Mungkin efek akhir-akhir ini pola tidurnya yang tidak baik. Selepas ashar Khanza baru terbangun, itu juga karena di bangunkan Ibu. Dia melirik jam di dinding kamarnya memang sudah menunjukan jam empat sore. Meski bermalas-malasan akhirnya dia pun bangun juga, dan langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. "Za, Khanza, kamu udah bangun, Nak?" terdengar suara ibu dari balik pintu. "Iya, Bu, sudah," jawab Khanza. Gegas dia pun membuka pintu dan terlihat bidadari surganya tengah berdiri di depan pintu sambil tersenyum. "Sebentar Khanza sholat ashar dulu, ya, Bu." "Iya, Nak. Ibu, kira belum bangun. Habisnya, Ibu, panggil-panggil dari tadi kamunya nggak nyahut-nyahut. Ya, sudah kalau mau sholat dulu, nanti keburu habis waktunya," ucap Bu Mila. Dia pun berlalu menemui lagi sang suami. Sehabis menunaikan kewajibannya, Khanza gegas menemui kedua orang tuanya, mungpung Bapaknya sudah pulang dari sekolah dia ingin membahas tentang keinginannya bekerja di Ibu Kota. Nampak kedua orang tua Khanza tengah duduk di kursi ruang tv sambil menonton acara kesukaan mereka, pasangan suami istri itu selalu terlihat harmonis. Khanza mendekat dia pun duduk di sebelah Pak Rahman sang Bapak, seperti biasa memang sudah jadi kebiasaan Khanza kalau dekat Bapaknya itu suka gelendotan. "Bapak udah pulang? Kok, Khanza baru lihat? " tanya dia sekenanya. Mendengar pertanyaan yang tak berbobot dari sang anak, Pak Rahman hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Ya, jelas baru lihat. Lah, kamunya juga baru bangun. Dasar kamu Khanza," ujar Bu Mila. Beliau tampak gemas pada anaknya itu. "Oh, iya, ya, Bu. Khanza, lupa. Pantesan baru ketemu sekarang sama Bapaknya, emang dari tadi Khanzanya tidur, ya." Khanza menjawab dengan cengirannya. "Dasar, anakmu ini, Bu, Bu. Pantesan di tinggal nikah sama pacarnya, kelakuannya masih kaya bocah gini," ungkap Bapak. "Iisshh, Bapak. Tahu dari mana kalau Khanza di tinggal nikah?" tanya Khanza sambil cemberut. "Tahu, lah,Za. Kan, Ibu yang ngasih tahu. Kenapa kalian sampai bisa putus?" tanya Bapak. Dia mengelus kepala anaknya itu penuh sayang. Khanza mendongak, dia tatap mata Pak Rahman. "Mas Reno selingkuh sama Devi, Pak. Mereka kepergok sama Khanza tengah melakukan hubungan terlarang di kantornya. Karena, Khanza tak terima jadi Khanza putusin dia aja." Pak Rahman menghela napas kasar, sebagai bapak beliau pun merasakan pesakitan anak gadisnya. Apalagi penghianatan itu di lakukan oleh pacar dan juga temannya sendiri. "Kamu, nggak usah sedih, Za. Harusnya kamu bersyukur laki-laki itu tidak baik untuk kamu. Lebih baik di perlihatkan dari sekarang daripada nanti sudah menikah itu, jauh akan lebih sakit apalagi kalau kalian sudah mempunyai anak," ujar Pak Rahman. Dia usap air mata Khanza yang mengalir di kedua pipinya. "Iya, Pak. Alloh masih sayang sama, khanza. Dengan membongkar semua kebusukan mereka, Khanza jadi tahu sekarang. Namun, tetep hati Khanza sakit," cicitnya. "Manusiawi itu mah, Za. Tinggal kamunya saja yang harus bisa menyikapinya, jadikan ini pengalaman dan jangan kamu lakukan hal bodoh seperti mereka itu," ucap Pak Rahman kembali. Sesungguhnya hati beliau pun tercabik mendengarnya, tapi sebagai bapak beliau bisa menutupi perasaannya itu. "Sudah, sudah jangan bahas lagi masalah mereka, lebih baik kamu menata hidupmu kembali, Za. Katanya kamu sudah move on," ucap Ibu, sambil tersenyum hangat. "Hehehe. Iya, Bu. Bapak, sih, pake nanya-nanya mereka lagi, Khanzanya jadi mewek lagi, 'kan." Khanza berucap sambil mengerucutkan bibirnya. "Lah, Bapak kan cuma mau tahu ceritanya dari kamu, Za. Masa nanya begitu aja tidak boleh, kamunya aja yang lebay cowok modelan gitu di tangisi melulu. Udah lupakan cari lagi yang baru mungpung stok di dunia ini masih banyak," ujar Pak Rahman sembari terbahak. "Oke, Pak. Kali ini Khanza mau nyari laki-laki yang kaya dan tampan melebihi Mas Reno. Biar si Devi tahu rasa, kalau Khanza pun bisa mendapatkan yang lebih segalanya dari Mas Renonya itu," ucapnya berapi-api. "Huss, jangan asal tampan dan kaya saja, tapi harus soleh juga, Za. Kalau cuma tampan dan kaya saja gimana kalau kaya Reno lagi, kan bahaya harus ada solehnya juga, ingat itu!" ucap Bu Mila mengingatkan. "Yah, berat dong, Bu. Di mana ya, nyari orang kaya, tampan dan juga soleh itu. Apa masih ada ya, stok di dunia ini. Kalau ada di Apk online, Khanza beli, deh tiga, sekalian buat cadangan," ujar Khanza sambil cekikikan. "Bener itu, Za. Kamu cari aja di Apk online, siapa tahu dapet. Kalau di sana kamu bisa pilih, sesuai selera," ucap Ibu sambil tergelak. "Huss, ngawur aja kalau ngomong kalian itu, mana ada cowok di jual di Apk online, Ibu sama anak sama aja pada ngaco semua," ujar Bapak terlihat dongkol mendengar candaan kedua orang terkasihnya itu. "Hihihi. Bercanda, Bapak. Kan, Ibu cuma menghibur, Khanza aja. Iya, kan, Bu?" tanya Khanza pada sang Ibu. Ibu hanya mengangguk, dia menahan tawa melihat sang suami yang kelihatan dongkol mendengar candaan putri dan dirinya. "Oh, iya, Za. Kata Ibu, kamu mau kerja di Jakarta, apa itu benar?" tanya Pak Rahman kembali ke mode serius. "Iya, Pak. Bolehkan, kalau Khanza kerjanya di Jakarta? Khanza mau nyari pengalaman dan juga biar bisa melupakan kenangan pahit itu, " melasnya. Semoga dengan memasang muka melas Bapak mau mengizinkan. Pikir Khanza. Pak Rahman menghela napas panjang dan berat, merasa takut dan bingung dengan keputusan Khanza yang ingin bekerja ke Jakarta. Ia tahu bahwa Jakarta adalah kota yang besar dan penuh dengan tantangan, dan ia takut Khanza tidak akan mampu menghadapinya. Ia juga takut bahwa Khanza akan terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik di Jakarta. "Za, Bapak takut kalau kamu kerja di Jakarta kamu akan terbawa dengan gaya hidup mereka, kita ini hanya orang kampung pergaulan dan juga lingkungannya pun berbeda. Apa kamu tidak mau, kalau mengajar saja di sekolahnya Bapak? Kamu bisa berkesempatan menjadi PNS seperti Bapak. Mungpung Bapak yang masih menjadi kepala sekolahnya, kamu bisa Bapak masukin. Gimana kamu mau, 'kan?" tanya Pak Rahman penuh harap. Khanza menggeleng dia tak setuju dengan ide Pak Rahman yang harus mengajar. Betapa tidak, sudah dia bayangkan bagaimana rumitnya harus mengajar anak-anak abg dengan berbagai macam-macam tingkah dan karakter. Baru membayangkannya saja kepala Khanza sudah pusing, apalagi jika dia benar-benar jadi mengajar. Pasti kepalanya akan keleyengan tiap hari. "Nggak mau ah, Pak. Mengajar bukan bidangnya Khanza. Khanza takut nanti nggak bisa nahan emosi, kalau ada murid yang nakal. Apalagi mengajar anak-anak SLTA seperti yang di sekolahannya Bapak, ih Khanza nggak bisa bayangkan. Kalau Khanza ikut Bapak pun ke sekolah mereka sudah berani godain apalagi nanti kalau Khanza jadi gurunya, bisa-bisa Khanza yang di buat nangis sama mereka. Anak - anak jaman sekarang kan, nakal-nakal dan juga pada berani. Apalagi kalau gurunya cewek, mana Khanza itu cantik lagi. Udah pasti mereka ngerjain terus," jawabnya panjang kali lebar dan juga percaya diri abis. "Astagfirulloh, Bu, anakmu ini tingkat kepedeannya minta ampun, pake ngatain dirinya cantik lagi tapi, benar juga ya, anak Bapak itu cantik. Pastinya, karena Bapaknya pun ganteng iya, 'kan, Bu?" tanya Pak Rahman sambil menaik turunkan kedua alisnya. "Bapak, ingat umur jangan keganjenan, sudah pasti Bapak itu ganteng pada masanya, sekarang udah lewat, Pak. Yang ada sekarang tuh, udah aki-aki," ucap Bu Mila sambil terkikik. "Yah, memang, Bu, itu pakta. Aki-aki ganteng, hahaha," jawab Pak Rahman tak mau kalah. Melihat kedua orang tuanya yang malah asik dengan dunia mereka, Khanza sewot. "Ih, Bapak sama Ibu, pada ngomongin apa, sih? Kan, tadi Khanza nanya sama Bapak boleh nggak Khanza kerjanya di Jakarta. Itu perusahaan besar, loh, Pak. Dan kesempatan ini tidak datang dua kali." "Sebenarnya Bapak, berat melepas kamu, Za. Namun, Bapak harus mencobanya, asal kamu bisa jaga diri dan juga nama baik keluarga, Bapak izinkan. Dengan satu syarat." "Apa itu, syaratnya, Pak? Jangan yang aneh -aneh, ya," ucap Khanza harap-harap cemas. "Kamu, tinggalnya harus di rumah Nuri, anak wa Yudi. Gimana kamu setuju?" tanya Bapak. Khanza terdiam, menimang- nimang syarat dari Bapak. Setelah dia pikir-pikir tidak buruk juga syarat dari Bapaknya itu, jadi dia pun mau menerima. Iya, Pak. Khanza setuju, kalau harus tinggal di rumah teh Nuri." Khanza merasa bahagia, ternyata Bapaknya mau mengizinkan dia kerja di Jakarta. Meski harus dengan syarat tinggal di rumah Nuri anak dari kakak Ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN