Undangan pernikahan Reno dan Devi

1519 Kata
Dua minggu berlalu sejak kejadian yang membuat hidupnya takaruan, hari-hari Khanza di lalui hanya dengan membuat dan memasukan lamaran kerja ke perusahaan - perusahaan. Dia bertekad mencari pekerjaan di Jakarta, demi untuk melupakan tentang kenangan pahitnya itu. ' Bismilah semoga ada yang berjodoh dengan aku ' gumamnya. Dia buka ponselnya siapa tahu ada email masuk, yang memberitahu kalau dia keterima di salah satu perusahaan yang ada di Ibu Kota tersebut. Sedang dia melihat-lihat ada notif masuk dari emailnya, mata dia melotot tak percaya. Dia cubit lengannya sendiri, ' aww' jeritnya. Ternyata itu nyata bukan mimpi, seperti anak kecil Khanza pun guling-guling di atas kasurnya saking senangnya. Bu Mila, ibunya Khanza sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah sang anak yang seperti anak kecil. "Za, kamu itu kenapa? Ibu panggil- panggil dari tadi kamu nggak jawab." Mendengar suara sang Ibu Khanza kaget, dia tak menyangka kalau ibunya ada situ. "Ibu, ngagetin aja. Ngapain berdiri di situ? Sini masuk, Bu. Khanza, ada kabar baik," ucapnya. Dia bangkit dan duduk di tepi kasur. "Za, ini ada undangan pernikahan dari Reno dan Devi. Devi, yang di maksud di sini yang teman kamu itu bukan? Terus ini, apa Reno pacar kamu, atau Reno yang lain?" tanya Ibu. Sepertinya beliau sangat penasaran. Khanza tersentak, dia merasa kaget ternyata dua laknat itu akhirnya menikah juga. Namun, dia tak menyangka akan secepat itu, atau mungkin memang mereka telah merencanakan jauh-jauh hari saat Reno masih bersama dirinya. Ah, sudahlah ngapain juga dia mikirin mereka lagi, nggak ada gunanya. "Coba lihat, Bu. Masa iya, sih!" ucapnya sambil mengulurkan tangannya untuk menerima undangan tersebut. Setelah di lihat, memang benar kalau dua laknat itu akan menikah. Di undangan tersebut ada foto prewedding mereka berdua yang tengah tersenyum bahagia. Hati Khanza mencelos, meski dia telah coba menerimanya tapi, tetap sakit melihat kenyataan itu. "Iya, Bu. Mereka memang Devi dan Mas Reno, rupanya mereka jadi juga menikah. Ibu, dapet undangan itu dari mana?" tanya Khanza sebab dia merasa penasaran. "Jadi, benar itu mereka. Tadi, ada kurir yang ngantar. Terus kan, Reno itu pacar kamu, kok bisa menikahnya sama Devi?" tanya Bu Mila. Dia merasa aneh dengan semua itu. Khanza tersenyum masam, mendengar pertanyaan Bu Mila. "Bisalah, Bu. Mereka 'kan, penghianat! Mereka ada main di belakang aku, sampai Devi hamil. Terus, terpsksi kali mereka harus menikah," ungkapnya. "Hah, kamu tahu mereka menghianatimu? Terus kamu merelakan mereka bersatu? Kamu, hebat, Za. Ibu, bangga meski hatimu sakit, tapi, kamu biarkan mereka bahagia. Eh, tapi, kamu udah putus, 'kan, Za?" tanya Bu Mila kembali. "Iya, Bu. Kami udah putus dua minggu yang lalu. Itu undangannya untuk siapa?" Khanza bertanya kembali. "Untuk, kamu. Kamu tidak akan kecewa 'kan, Nak? Apa kamu berencana datang untuk menghadiri acaranya?" Bu Mila masih penasaran akan sikap anaknya itu, dia pun masih bertanya kembali. Helaan napas panjang terdengar dari mulut Khanza, dia tersenyum masam pada sang Ibu. "Mungkin kecewa iya, sih, Bu. Namun, untuk apa lagi semuanya telah usai bagi Khanza, biarkan mereka menikmati hidupnya dan Khanza pun akan coba move on, Bu. Entahlah, Bu. Khanza belum yakin untuk bisa datang ke acara mereka." Bu Mila manggut- manggut, beliau tak ingin membahasnya lagi karena merasa kasihan pada putrinya itu. Beliau tak ingin melihat Khanza terluka kembali, jika terus membahas tentang Reno dan Devi. "Oh, iya, katanya tadi kamu ada kabar baik, apa itu? Kelihatannya kamu bahagia banget," ucap Bu Mila memancing mood putrinya biar kembali ceria. Jitu memang pancingan Bu Mila, kini Khanza tersenyum semringah, wajah yang tadi kusut berseri kembali. "Bu, kalau aku kerja di Jakarta boleh, 'kan? Ini kesempatan aku untuk meraih mimipi. Alhamdulilah, ada panggilan kerja dari perusahaan ' Narendra group'. Itu perusahaan besar loh, Bu." Khanza sangat bersemangat ngomong sama ibunya itu. Bu Mila tersenyum, dia bahagia jika putrinya itu sudah bisa ceria lagi. "Kalau Ibu, terserah kamu saja, Za. Mau di manapun bekerja asal kamunya benar Ibu izinin, tapi, nggak tahu dengan Bapak, kamu ngomong dulu minta izin padanya." "Iya, Bu. Itu pasti, Khanza minta izin sama Bapak. Nanti setelah Bapak pulang dari sekolah, Khanza mau langsung ngomong. Mudah-mudahan Bapak ngizinin, karena ini impian Khanza bisa masuk di perusahaan besar itu. Khanza, pasti senang dan juga bangga karena tidak semua orang mendapat kesempatan seperti Khanza ini. Katanya mau masuk ke perusahaan itu susah,loh, Bu. Para pegawainya pilihan, alhamdulilahnya Khanza dapat panggilan semoga bisa keterima, doain ya, Bu." "Itu sudah pasti, Za. Tanpa di minta pun Ibu selalu mendoakan anak, Ibu. Aamiin. Semoga kamu keterima, biar nanti Ibu bantu ngomong sama Bapak," ucap Bu Mila. "Iya, Bu, makasih. Kalau iya, keterima rasanya Khanza bahagia banget, deh. Impian Khanza sebentar lagi akan terwujud," ucapnya sambil senyum-senyum sendiri. Dia membayangkan bagaimana nanti, jika betul keterima pastinya akan bangga dan teman-temannya akan pula memuji dirinya. Bu Mila mengangguk, setelah di rasa cukup berbicara dengan Khanza, dia pun keluar dari kamar anaknya itu, meninggalkan Khanza yang masih senyum-senyum sendiri. *** Sepeninggal Bu Mila, Khanza yang tengah berhayal membayangkan dia sudah bekerja di perusahaan itu, bagaimana nanti dia bergaul, terus teman- temannya seperti apa, dapat gaji besar, dan bisa jalan- jalan kemanapun yang dia mau, tiba-tiba di kejutkan dengan suara dering ponselnya. ' Huh, siapa sih, yang nelpon? Gangguin orang berhayal aja, nggak tahu orang lagi senang, apa? ' gerutunya. Meski malas-malasan tapi, dia angkat juga telponnya itu. [Ya, hallo. Ada apa, Dim? Tumben kamu nelpon aku,] ucap Khanza pada orang di sebrang sana. [Za, apa kabarnya kamu? Kamu baik- baik saja, 'kan? Aku, sangat mengkhawatirkan kamu, Za. Sejak peristiwa itu, kamu susah banget aku hubungi. Apa, kamu marah juga sama aku?] cerocos Dimas. Ya, yang menelpon Khanza itu, Dimas. Khanza menarik napas kasar, di pikirannya kenapa, di saat hatinya tengah bahagia ada aja yang bahas tentang masalah itu lagi. [Aku, baik-baik saja, Dim. Memangnya kenapa? Aku, akhir-akhir ini sibuk membuat surat lamaran kerja. Aku, mau kerja, Dim. Kamu, nggak usah khawatir yang berlebihan,] jawab Khanza jujur. [Kamu, mau kerja di mana? Kenapa, nggak melamar di tempat aku kerja aja, Za? Biar kita bisa sama-sama.] [Di tempat kamu kerja, Dim. Big No! Sama aja, aku melemparkan diri ini untuk di olok-olok atau mungkin di hina oleh si laknat itu. Aku, nggak mau apalagi sekarang mereka akan menikah, pastinya dia akan besar kepala karena telah menjadi nyonya Reno pewaris perusahaan itu. Kamu, paham, 'kan?] ucap Khanza sedikit ngegas. [Iya, Za. Aku, lupa. Ngomong- ngomong kamu nanti mau datang di acara pernikahan mereka nggak?] tanya Dimas kembali. [Nggak tahu lah, Dim. Aku, pikir- pikir dulu, kalau memungkinkan aku pasti datang. Lihat kondisi aja, tapi, kalau nggak datang pasti kelihatan banget ya, kalau aku benci sama mereka. Menurut kamu, aku harus gimana, Dim?] tanya balik Khanza. [Kalau menurut aku, lebih baik kamu datang tunjukan pada mereka kalau kamu itu, baik- baik saja tak terpengaruh dengan penghianatan mereka berdua. Biar nanti kita datangnya barengan, aku akan mendampingimu, Za. Tenang aja,] saran Dimas. Dia ingin Khanza datang bareng dirinya, dan menunjukan kalau Khanza itu wanita hebat dan tegar. [Oke, deh, Dim. Aku, ikut saran kamu. Asal kamunya jemput aku kesini, soalnya aku males kalau datang sendirian.] [Oke. Kamu, tunggu aku jemput, ya. Eh, tapi, kamu harus dandan yang cantik, kalau perlu kalahkan tuh pengantin wanitanya, biar Pak Reno nyesel telah menghianati kamu dan malah memilih Devi si cewek matre,] geram Dimas. Sungguh dia kesal sama Devi meski dia itu teman sekolahnya juga tapi, dari dulu dia tak pernah suka sebab Devi itu, terkenal angkuh. [Nggak usah dandan pun aku mah udah paling cantik, Dim. Apalagi kalau dandan nanti banyak cowok yang klepek- klepek termasuk kamu juga,] kelakar Khanza di iringi dengan cekikikan karena merasa geli sendiri, telah percaya diri banget. Mendengar perkataan Khanza, Dimas tergelak dia merasa di todong oleh temannya itu, sebab sesungguhnya jauh di lubuk hatinya yang paling dalam dia pun menaruh hati pada Khanza. [Za, tebakanmu tepat sasaran, sebenarnya kalau kamu mau aku siap untuk menggantikan posisi Pak Reno di hati kamu. Gimana kamu mau, Za, sama aku?] tanya Reno di akhiri dengan kehkehan. [Emoh, ah. Aku sama kamu, Dim. Kamu, kan orangnya jorok banget, lagian kamu tuh teman sejatinya aku nggak bakalan aku jatuh cinta sama kamu,] jawab Khanza sambil cengengesan. [Iya, Za. Aku tahu, itu. Mana mungkin kamu mau sama aku, siapalah aku ini, jauh kalau di bandingkan sama Pak Reno. Tadi, aku hanya bercanda aja,] jawab Dimas sendu. Tadinya dia iseng siapa tahu Khanza mau sama dirinya, tapi, jawaban Khanza begitu ya, sudahlah dia mundur. Mendengar nada bicara temannya kecewa, Khanza kaget tadinya dia hanya bercanda pada, Dimas. Bukan maksud apa-apa, buru- buru dia pun minta maaf. [Dim, maaf banget bukan maksud aku begitu, tadi itu hanya bercanda jangan di masukin ke hati, ya. Aku, nggak bermaksud menghina kamu, itu hanya candaan aja. Karena untuk sekarang aku lagi nggak mau menjalin hubungan dengan siapa pun, maaf, ya. Kamu, pasti akan mendapat wanita yang lebih segalanya dari aku,] ucap Khanza tulus. [Iya, Za. Nggak apa- apa, kok. Aamiin, semoga aku bisa. Udah dulu, ya, aku tutup telponnya. Nanti kalau udah waktunya, aku jemput ke rumahmu.] [Oke. Makasih, ya, Dim. Aku tunggu,] balas Khanza. 'Huft... rasanya sekarang aku lega, berasa beban di hati ini sirna, kamu memang teman terbaik, Dim. Kamu, selalu ngertiin aku ' gumam Khanza.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN