Pembelaan Damar

1653 Kata
"Jangan pernah berani-beraninya kamu menyentuh Mentariku, satu kali saja tanganmu menyentuh kulitnya tak segan akan kupatahkan tangan kurusmu ini!" desis lelaki yang mencekal tangan Devi sambil menghempaskan tangan itu ke bawah. Bola mata Devi melotot seakan ingin keluar dari kelopaknya saking kaget dan menahan marah. Dia tak percaya jika lelaki bule nan ganteng yang ada di hadapannya itu, membela musuhnya. Devi berusaha menahan amarahnya dia tidak ingin di hari bahagianya itu akan rusak oleh ulah dirinya. Namun, dia gagal karena melihat para tamu yang datang tengah menatap penuh cemooh pada dia. Api amarahnya pun semakin terbakar hingga dia tak sadar beberapa kali mengeluarkan umpatan-umpatan kasar. "Siapa kamu, hah? Berani sekali membela perempuan jalang ini." Devi menunjuk Khanza dan tega mengatainya jalang di depan umum. "Tidak perlu tahu siapa saya, yang terpenting di sini yang harus kamu ingat jangan pernah kamu mengusik Mentariku, camkan itu!" peringat sang pemuda. Senyum miring Devi layangkan, dia merasa aneh dengan sikap pemuda tampan yang ada di hadapannya. Dalam otaknya menduga-duga ada hubungan apa sebenarnya antara pemuda tampan itu dan Khanza. Sampai-sampai pemuda tersebut membela Khanza segitunya. Dan dia menyebut Khanza dengan sebutkan Mentariku. Mungkin kah mereka pasangan, otak Devi semakin pusing memikirkan semuanya. Betapa tidak pusing laki-laki yang berada di depannya itu, bertampang macho dan gagah juga bule makin menawan di bandingkan dengan Reno suaminya tentu kalah. Hatinya semakin panas ternyata Khanza tetap saja masih mengalahkan dia. Khanza merasa geram pada mantan sahabatnya itu, yang telah menuduh dirinya sebagai perempuan jalang. Padahal di sini siapa yang jalang, Devi sendiri. Dia rela menyerahkan tubuhnya sendiri demi untuk merebut Reno dari Khanza. Sekarang di depan umum malah ngomong sebaliknya. Khanza ingin berteriak memaki wanita licik yang ada di hadapannya itu, atau jika bisa mencekik lehernya saja agar tidak bisa mengeluarkan kata-kata kotor lagi. "Sorry, Dev. Apa nggak salah kata-kata luh, itu? Menuduh gue perempuan jalang padahal siapa yang jalang di sini? Luh sendiri. Luh, rela menyerahkan tubuh hanya demi ingin bersama dengan Mas Reno." Khanza berucap dengan suara bergetar dan mata memerah menahan tangis karena di permalukan di depan umum di sebut perempuan jalang. Masih dengan muka angkuhnya Devi membalas perkataan Khanza. "Gue bukan perempuan jalang, kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Mungkin Mas Reno merasa ketagihan makanya terus berlanjut, bukan salah gue juga, 'kan?" ucapnya tak tahu malu membuka aib sendiri di depan umum. Mendengar omongan Devi, Reno langsung menegur istrinya itu dan meminta maaf pada semua tamu yang hadir atas ketidak nyamanannya. Termasuk pada Khanza dan juga bule yang bersama Khanza, meski hatinya panas di bakar api cemburu karena bule itu begitu melindungi mantan yang masih di cintainya itu. Hati Devi semakin kesal terlebih Reno suaminya berani menegur dirinya di depan umum. Namun, tak berani membantah dia pun diam dengan muka memerah menahan amarah. Tak mau ambil pusing dan berlama-lama di situ, Khanza pamit undur diri pada orang tua Reno meski pun dia belum menikmati hidangan yang tersedia. Dia enggan untuk berlama-lama di sana terlebih dari tadi dia tak menemukan Dimas sahabatnya. Dimas menghilang sejak dia tadi sedang bersalaman, entah di mana Dimas sekarang Khanza pun bingung. Kakinya melangkah di lorong hotel menuju lift untuk keluar, tiba-tiba langkahnya terhenti karena tangannya di tarik paksa oleh seseorang. Badan Khanza memutar menghadap orang tersebut dan betapa dia kaget ternyata orang itu adalah Reno sang mantan. Reno langsung membawa Khanza ke dalam pelukannya tapi, Khanza berontak dia merasa jijik di peluk Reno terlebih itu bekas Devi. "Za, Mas minta maaf tolong sekali ini saja kamu izinkan Mas memeluk kamu, Mas janji tidak akan mengganggu kamu lagi asal kamu izinkan Mas meluk kamu walaupun sebentar." Reno memelas, sungguh dia sebenarnya tidak mau kehilangan Khanza tapi, karena ego dirinya dia kehilangan gadis yang ada di pelukannya sekarang. Khanza masih berontak tapi, pelukan Reno makin terasa erat hingga membuat d**a Khanza engap. Karena merasa tak nyaman di peluk Reno, Khanza berinisiatif untuk menggigit lengan Reno agar terlepas dan terbukti pelukan Reno mengendur Khanza pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk lepas dari pelukan Reno. Reno meringis mendapat gigitan dari Khanza dia tak menyangka Khanza akan melakukannya. "Za, kenapa kamu malah menggigit, Mas? Padahal Mas, hanya ingin memeluk saja tidak lebih," ucap Reno sambil menatap Khanza nanar. "Siapa suruh main peluk-peluk orang sembarangan, udah tahu punya istri masih saja genit. Jadi, ya rasakan gigitanku, itu pun tidak lebih sakit dari luka yang kau torehkan di hatiku," ucap Khanza begitu sinis. "Maafkan, Mas, Za. Waktu itu Mas khilap, tergoda bujuk rayu Devi. Sekarang Mas sadar kalian itu sangat jauh, Mas menyesal. Mas, masih sangat mencintai kamu, Za." Reno berbicara dengan mata berkaca-kaca. "Sudah lah, Mas, semuanya sudah basi terima lah, Devi sebagai satu-satunya ratu di hatimu. Kisah kita sudah usai bersama penghianatanmu jangan ucapkan kata sesal karena itu sudah menjadi pilihanmu," ujar Khanza sambil berlalu pergi dari hadapan Reno. Reno tidak mengejar lagi Khanza karena dari ekor matanya dia menangkap kehadiran Devi istrinya. Reno tidak ingin Devi mengetahui jika dia masih mencintai Khanza dan menyesal telah meninggalkannya. "Mas, lagi ngapain kamu diam di situ sendirian? Aku cari-cari ternyata kamu di disini. Aku kira kamu sedang bersama wanita itu tapi, ternyata kamu sendiri." Devi berucap sambil tersenyum lebar. Dia merasa senang karena suaminya tidak sedang bersama Khanza. Reno hanya menatap sekilas istrinya itu, tak banyak bicara dia mengajak Devi kembali ke dalam untuk melanjutkan acaranya karena tamu undangan masih ada yang datang. *** Khanza terus berjalan keluar hotel, dia celingukan masih mencari-cari keberadaan Dimas. Namun, nihil orang yang di cari tak juga menampakan batang hidungnya. Suara dering telpon dari dalam tas genggamnya mengagetkan Khanza, buru-buru dia membukanya dan ternyata layar ponsel itu menampilkan panggilan dari kontak bernama Dimas. Bibirnya melengkung membentuk senyuman, ternyata orang yang tengah di cari yang menelpon. Di usapnya layar ponsel itu dan langsung ingin menyemprotkan protesan karena telah meninggalkannya sendirian. [Hallo, Dim, Kamu di mana? Aku dari tadi nyari-nyari kamu tapi, kamunya menghilang begitu saja. Kamu tega Dim ninggalin, tadi aku dikata-katain Devi di depan umum.] Khanza berucap dengan begitu kesal. Dia ingin mengadu pada Dimas sahabatnya. [Maaf, Za, tadi aku dapet telpon dari pihak rumah sakit kalau adik bungsuku kecelakaan, aku buru-buru kerumah sakit karena khawatir terjadi apa-apa pada adikku. Aku tidak sempat pamit saking kagetnya malah langsung pergi. Iya, tadi samar aku sempat dengar kamu di kata-katain Devi tapi, aku lega karena tadi aku lihat ada yang membela kamu. Kamu mengenal orang itu, Za?] [Hah! Adik kamu kecelakaan terus sekarang bagaimana keadaannya? Apa tidak ada yang parah? Pantesan aku cari-cari kamu tidak ada. Hmm, iya, aku mengenalnya dia Damar.] Dimas menghela napas berat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Khanza. [Adik aku cuma luka ringan tapi, orang yang di tabraknya mengalami luka serius. Sekarang juga aku mau membereskan kasus ini dulu ke kantor polisi, tadi aku ingat sama kamu pulangnya sama siapa untuk itu aku telpon. Oh, jadi, namanya Damar, ya.] [Iya. Oh, iya, nggak usah khawatirkan aku, Dim. Aku tuh gampang bisa naik taksi, yang terpenting sekarang urus saja adik kamu sampai masalahnya selesai. Aku minta maaf belum bisa jenguk.] [Tapi aku nggak enak sama kamu, Za. Tadi kamu datang ke sana sama aku masa iya, sekarang harus pulang sendiri. Lagian aku malu sama Ibu dan Bapakmu seperti laki-laki yang tidak bertanggung jawab.] ujar Dimas di akhiri kehkehan. [Nggak usah ngomong gitu, Dim. Mereka juga akan ngerti nanti aku ceritakan pada mereka. Udah ya, Dim, aku mau pulang mau pesan taksi dulu takut kemalaman.] Khanza minta izin mengakhiri sambungan telpon pada Dimas karena ingin segera pulang. [Kamu benar tidak apa-apa nggak aku antar? Atau gini aja aku balik lagi ke situ anterin kamu pulang nanti setelahnya baru ke kantor polisi. Aku takut kamu kenapa-napa, Za. Boleh, ya?] Mohonnya. Ada nada khawatir di dalam ucapan Dimas. Dia benar-benar takut terjadi hal-hal yang tidak di inginkan pada Khanza. Terdengar kehkehan dari mulut Khanza, dia merasa lucu atas sikap dari sahabatnya itu yang terlalu mengkhawatirkan keadaan dirinya. Padahal dia itu orang dewasa bukan anak kecil lagi. [Udah nggak perlu, Dim. Aku bisa pulang sendiri kok, kamu tenang aja nggak usah khawatirkan aku. Telponnya aku tutup, ya.] [Baiklah kalau itu maumu, hati-hati aja, ya. Nanti kalau kamu udah sampai kabari aku biar tenang. Jangan lupa, ingat itu!] peringat Dimas karena dia tahu sahabatnya itu pelupa. Telpon mereka akhiri, Khanza membuka kembali ponselnya dan ingin segera memesan taksi. Namun, belum juga tangannya menemukan aplikasinya suara klakson mobil terdengar nyaring di telinga. Dia menoleh ke arah sumber suara keningnya mengkerut sebab tak mengetahui pemilik mobil tersebut. Kaca mobil terbuka di dalamnya nampak seseorang di balik kemudi tengah tersenyum hangat padanya. Dia memberi kode pada Khanza untuk segera masuk. Namun, Khanza malah diam mematung memandang dirinya. Sedetik dua detik hingga satu menit berlalu Khanza masih tetap bergeming. Damar merasa gemas pada Khanza yang malah terpaku di tempatnya. Dia pun gegas keluar untuk menemui Khanza. "Hei, Mentari malah bengong ayo masuk." Damar berkata sambil menarik tangan Khanza untuk masuk ke dalam mobil sportnya. Mata Khanza mengerjap dia baru tersadar dari keterkejutannya. "Damar, lepaskan, ih. Ngapain kamu narik-narik tangan aku segala. " "Pake nanya lagi, ya pulang lah, ayo masuk aku antarkan kamu pulang." Damar berkata sambil menuntun tangan Khanza untuk segera masuk. "Apaan, sih kamu, Dam. Siapa juga yang mau di antarkan, aku tadi udah pesan taksi, kok. Jadi silakan pulang saja duluan." Damar tersenyum dia sudah bisa menebaknya gadis kerasa kepala yang ada di hadapannya itu pasti akan menolaknya. Namun, dia tak putus asa sebuah ide muncul di otaknya untuk menakuti Khanza agar mau ikut bersamanya. "Oke. Namun, apa kamu yakin dengan keputusanmu itu? Coba lihat ke sebrang jalan itu," tunjuk Damar dengan dagunya. Khanza mengikuti arah tunjuk Damar, matanya melotot dia pun menelan salivanya sendiri. Dia begidik ngeri melirik ke arah Damar yang tengah tersenyum jahil. Sekelompok pemuda dengan gaya brandal tengah mengamati Khanza dari sebrang jalan. Mereka tertawa lepas setelah saling sikut dengan temannya. Khanza di lema, antara takut dan gengsi. "Gimana kamu mau ikut denganku atau nunggu taksi datang?" tanya Damar sambil menaik turunkan alisnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN