Si Pencuri First Kiss

1722 Kata
Sekian lama menunggu dan tak ada jawaban dari mulut Khanza, Damar menghela napas berat. Mau tak mau Damar mengambil keputusan sendiri, karena tidak ingin memaksakan kehendak pada gadis keras kepala yang ada di hadapannya. "Baik lah Mentari, jika kamu tidak ingin ikut bersamaku terserah saja. Aku pulang duluan, selamat malam." Damar berlalu mengitari mobilnya untuk masuk ke dalam. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti karena mendengar teriakan Khanza. "Damar, tunggu! Jangan tinggalkan aku. Aku ikut pulang bareng kamu." Khanza memohon dengan membunuh egonya sendiri. Dia merasa takut sebab para pemuda brandal itu semakin intens memperhatikan dirinya. Senyum tersungging di bibir Damar, antara ingin tertawa dan kasihan melihat muka Khanza yang pucat pasi. Padahal para pemuda itu tidak melakukan apa-apa, mereka hanya berkerumun dan juga ngobrol biasa. Hanya saja tadi dia sengaja menakut-nakuti Khanza agar mau di antar pulang dirinya. Modus emang si Damar ini. Damar berbalik badan di tatapnya gadis cantik yang ada di hadapannya, lekas dia kembali ke samping pintu mobil sebelahnya. Dia mengambil remote mobil yang ada di saku jasnya untuk membuka pintu mobilnya. Tangannya terulur ke depan untuk mempersilakan Khanza naik duluan. "Silakan Tuan putri, Anda bisa menaiki mobilnya sekarang. Namun, hati-hati naiknya, ya." Damar berkata sambil mengerlingkan mata senyum tipis pun dia sunggingkan. "Damar, ih. Ngapain bersikap seperti itu? Aku jadi tambah malu, tahu!" Khanza memukul tangan Dimas yang masih terulur menirukan gaya seperti pelayan yang mepersilakan Tuannya. Bibirnya pun manyun sebab merasa sebal dengan tingkah Damar. Yang di pukul bukannya marah tapi, malah tergelak dia merasa puas sebab bisa menggoda Khanza. Tangannya masih terulur untuk menghalangi kepala Khanza biar tidak terbentur atas pintu mobil. Setelah Khanza duduk di dalam dia tutup pintunya, sungguh manis sekali perlakuan Damar terlihat ingin melindungi. Dia lantas mengitari mobil dan masuk dari arah satunya kemudian duduk di belakang kemudi bersiap untuk pergi dari tempat itu. Sesaat sebelumnya Damar mendekat ke arah Khanza yang tengah duduk bersender di jok. Tangannya terulur ke belakang badan Khanza dan Damar pun kian mengikis jarak di antara mereka, Khanza kaget dengan sikap Damar yang seperti ingin mencium dirinya. Wajah mereka kini semakin dekat napas Damar terasa hangat menerpa wajah Khanza, sampai-sampai Khanza menahan napasnya karena merasa gugup. Namun, yang terjadi berikutnya Damar hanya ingin membetulkan seal bealt Khanza yang kurang pas. Wajah Khanza sesaat merona karena malu telah menyangka yang tidak-tidak pada Damar. Akhirnya mobil pun berjalan perlahan menembus jalanan kota Bandung yang terasa dingin. Hening tercipta di dalam mobil, sebab tak ada satu pun di antara mereka yang mengawali percakapan. Hingga Damar berinisiatif untuk membuka obrolan. "Maaf, Mentari rumah kamu di mana aku bingung harus mengantar ke mana." Damar bertanya sambil melirik Khanza yang tengah menatap lurus ke depan. "Lurus aja, nanti setelah ada pertigaan belok kanan. Rumah aku dari sana sudah dekat." Khanza menjawab dengan pandangan masih lurus ke depan. "Oh, ya, Mentari jadi yang mengadakan pesta tadi itu mantan kamu, ya? Hebat kamu tuh, mau datang ke acaranya mantan, tapi, kenapa waktu itu kamu menangis dan teriak-teriak nggak jelas? Kamu cengeng banget waktu itu, tapi tadi aku lihat kamu berani juga membalas perlakuan kasar ceweknya, " ucap Damar di akhiri kehkehan. Mata Khanza melotot dia tidak suka Damar membahas lagi kebodohannya yang menangisi dua laknat itu. "Damar, pleasa jangan membahas lagi tentang masalah itu, kumohon! Aku ingin melupakan semuanya," mohon Khanza dengan mata berkaca-kaca. "Oke, Sorry. Baik lah, lupakan semua sakitmu mulai sekarang, maaf tadi aku sempat membahasnya. Sekarang bagaimana kalau membahas tentang kita aja,kamu setuju?" tanya Damar ambigu. Kening Khanza mengkerut dia tidak paham dengan apa yang di ucapkan Damar. Namun, dia tidak mau ambil pusing, otaknya sekarang sedang tidak ingin berpikir. Hening sesaat hingga tercipta kecanggungan di antara keduanya. Damar yang tengah fokus ke jalanan dan Khanza yang duduk diam menatap lurus ke depan. Meski mereka berdekatan tapi, pikiran keduanya berkelana entah kemana. Suara Damar kembali memecah kesunyian diantara keduanya. "Mentari sekali lagi aku minta maaf, sebenarnya aku hanya ingin berteman saja dengan kamu. Bukan maksud aku untuk mengganggu ketenangan dirimu tapi, aku sekarang benar-benar butuh teman. Apa kamu mau menjadi teman, aku?" Damar bertanya sambil menoleh ke Khanza. Terdengar helaan napas berat yang keluar dari mulut Khanza, entah mengapa setelah penghianatan yang di lakukan oleh Reno mantan kekasihnya itu,kini Khanza merasa takut dan harus jaga-jaga kalau ada orang yang ingin mendekatinya. "Dam, kamu nggak usah minta maaf terus sama aku. Aku itu tidak apa-apa, hanya saja rasa trauma aku masih terus membayang. Aku di hianati oleh kekasih dan juga sahabatku sendiri semua yang mereka lakukan masih membekas di ingatanku. Seharusnya aku yang minta maaf sama kamu aku itu kadang-kadang suka judesin kamu. Padahal aku tahu kamu itu, tidak punya salah apa-apa. Namun, terkadang hati aku suka egois menyamaratakan orang. Jika kamu mau menjadi teman aku yang nggak modus, aku juga mau menjadi teman kamu," Khanza menjawab pertanyaan Damar sambil membalas tatapannya. Dan tersenyum manis, membuat d**a Damar bergemuruh hebat merasakan gejolak rasa yang selama ini mati. " Really! A-aku sangat bahagia, Mentari. Dari mulai sekarang kamu resmi menjadi teman aku, jadi kamu nggak usah sungkan kalau minta bantuan seperti tadi. Oh, iya, karena sekarang kita udah menjadi teman boleh dong aku minta nomor ponsel kamu. Aku besok mau balik ke Bali lagi, jadi aku butuh nomor ponsel kamu siapa tahu kangen ingin ngobrol seperti ini." Damar berucap dengan mata berbinar seolah dia telah menerima hadiah yang begitu besar. Melihat ada ketulusan di mata Damar dan menimang-nimang baik tidaknya akhirnya Khanza memberikan nomor ponselnya. Damar tersenyum lebar setelah melihat nomor itu terkirim dan masuk ke ponselnya. "Dam, bahagia banget kamu, emangnya sepenting itu ya, nomor aku?" tanya Khanza begitu polos. "Penting banget Mentari, kamu mau lihat aku menamai apa di ponselnya aku ini. Sini coba mendekat," ujar Damar sambil memperlihatkan ponselnya. Khanza menurut dia coba melihatnya bibirnya mencebik. "Kenapa kamu menamai aku itu? Padahal namaku Khanza, Damar. Kamu main ganti nama orang aja," protesnya. Dia heran pada Damar yang keukeuh menyebut dia dengan Mentari. Senyum tipis Damar sunggingkan, dia senang Khanza akhirnya menanyakan kenapa dia menamai dirinya Mentari. "Sebelumnya aku minta maaf, kenapa aku menamai kamu Mentari karena ada alasan khusus yang aku punya. Kamu tahu Mentari itu apa?" tanya Damar pada Khanza yang tengah duduk bersender di jok sambil memandang wajahnya lekat. "Damar, semua orang tahu mentari itu matahari kenapa kamu nanya lagi? Dan apa hubungannya sama aku, memang dari sejak awal bertemu kamu itu aneh." Khanza berucap sambil mengerucutkan bibir. Dia merasa kesal pada teman barunya itu yang jawabannya berbelit -belit. Damar terbahak mendengar jawaban Khanza, dia merasa gemas pada wanita cantik yang ada di hadapannya itu. Andai dia punya kuasa ingin sekali dia melumat bibir tipis yang tengah manyun itu, lalu membawanya terbang ke nirwana untuk sekedar bermanja. "Iya, aku juga tahu jika mentari itu matahari, tapi, maksud aku di sini. Pertama aku nanya siapa nama kamu dan kamunya tidak menjawab. Kedua kamu datang di siang bolong nangis-nangis sampai memaki-maki dan yang ketiga alasan aku menamai Mentari itu, kamu bagi aku ibarat mentari yang datang menyinari hidupku di tengah keterpurukan. Jadi kesimpulannya aku menamai kamu Mentari ya, itu kamu tidak punya nama aku kasih aja namanya Mentari dan kamu datang di siang bolong yang datang untuk menyinari hidup aku." Damar berkata sambil cengengesan. Dia memberi alasan yang tidak masuk akal membuat wanita yang berada di sampingnya menatap jengah. "Jadi jika aku datangnya malam hari kamu akan menamai aku Bulan atau Bintang, gitu? Sungguh alasan yang sangat konyol, Damar. Kamu itu ada-ada aja dasar aneh," ucap Khanza sambil memukul-mukul lengan Damar pelan. Serrrr! Ada desir aneh yang merambat masuk ke dalam palung hati Damar. Ujung bibirnya terangkat ke atas sedikit meski samar tapi, tahu Damar itu sedang tersenyum bahagia. Dia biarkan tangan putih itu terus memukulinya tak ada sedikit pun niatan dia untuk menghindar ataupun menghentikannya, justru dia genggam tangan itu dan cup satu kecupan dia layangkan pada jari-jari lentik milik wanita cantik yang ada di hadapannya. Sontak mata Khanza terbelalak, dia terlalu kaget dengan apa yang baru di lakukan Damar. Damar tersenyum tipis melihat wanita cantik itu melototkan mata, bukannya merasa takut dengan pelototannya tapi di mata dia malah terlihat menggemaskan. Khanza ingin melepaskan genggaman tangan Damar, tapi, dia tak melepaskannya malah semakin erat menggenggamnya. "Dengar ya, Mentari, aku minta izin sama kamu untuk memanggilmu Mentari agar aku bisa mendapatkan kehangatanmu seperti matahari yang selalu bersinar. Biar setiap aku sebut nama itu, aku merasa kamu selalu ada mendekap aku hangat. Please, jangan marah, oke!" Damar berucap sambil menatap manik Khanza lekat. Satu anggukan terlihat samar Khanza lakukan, entah keberanian apa yang mendorong Damar untuk melumat dan menyesapnya lembut bibir Khanza dan entah merasa syok atau memang tidak tahu Damar akan melakukan hal itu, Khanza diam mematung menatap Damar dalam diam. Hingga akhirnya Khanza tersadar dan langsung mendorong tubuh Damar agar menjauh. Khanza usap bibirnya yang terasa basah akibat ciuman Damar tadi, dia menarik tangannya yang ada di genggaman Damar lantas dia tutupi wajahnya dengan tangannya itu. Ada isak tangis kecil yang terdengar datang dari arah samping Damar. Damar menoleh dia mengernyit tak percaya gadis di sampingnya itu, ternyata tengah menangis dengan di halangi tangannya. Damar tarik tangan Khanza lembut lantas dia membingkai wajah cantik itu. Di usapnya air mata yang meleleh di kedua pipi Khanza lembut. "Mentari, kamu menangis, apa aku telah menyakitimu, hmm?" tanya Damar lembut. Khanza menatap Damar nanar, bibirnya bergetar menahan sebak di d**a. "Kamu beraninya melakukan itu padaku, Damar! Kenapa kamu mencuri ciuman pertamaku, hah?!" tanyanya penuh emosi. Damar terkejut mendengar pengakuan Khanza, terdengar aneh bukan. Masa iya, orang yang telah mempunyai mantan kekasih belum pernah di cium. "Benarkah? Oh, sorry tadi aku terbawa suasana. Jadi aku orang pertama yang mencium dirimu." Damar berucap sambil memicingkan matanya. "Ya, kamu telah mencurinya, Damar." Khanza berucap dengan begitu kesal, dia lantas membuka pintu mobil yang memang sedari tadi telah sampai di depan rumahnya. Khanza keluar dan menghempaskan pintunya kasar tak peduli pintu mobil mahal itu rusak saking kesalnya pada si empunya. " Mentari, tunggu!" teriak Damar sambil gegas menyusul Khanza yang telah berlalu ke rumahnya. Tangan Khanza di tariknya hingga dia terdiam saking kuatnya. "Please, maafkan aku, Mentari. A... " Damar tak melanjutkan lagi omongannya karena di potong Khanza. "Sudah lah, lupakan. Anggap saja tak pernah terjadi apa-apa. Aku cape Damar, aku mau tidur." Khanza berucap sambil melepaskan tangannya yang ada dalam genggaman Damar. Tanpa menoleh lagi Khanza pergi berlalu masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Damar yang diam mematung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN