Malam Pertama

1157 Kata
Regan : Yaya bisa saya bertemu dengan kamu hari ini? Sudah satu minggu setelah kepergian Nanta dan Karlo, namun Yaya masih dirundung rasa duka dan tidak ada gairah untuk bertemu dengan orang luar. Tanpa membalas pesan dari Regan, Yaya membuang ponselnya ke segala arah. Pria itu bahkan tidak datang saat acara pemakaman ayahnya, hanya Haris dan Ghania yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Tapi Haris menjelaskan kalau Regan tidak bisa datang karena pria itu harus pergi ke China untuk urusan bisnis. Yaya menjatuhkan kepalanya ke atas bantal. Ia membuang napas panjang sambil memejamkan matanya. Karel sudah kembali ke Singapura satu jam lalu, dan hal itu membuat suasana rumah ini bertambah sepi. Hanya ada Tante dan Om Yaya yang akan menemani Yaya sampai tiga hari ke depan. Tok! Tok! Tok! Pintu kamar Yaya terketuk. Mungkin sebentar lagi akan ada Tante atau Om nya yang muncul dari balik pintu coklat itu. "Yaya, kamu tidur?" tanya Banin, -Tantenya Yaya, sambil berjalan mendekati ranjang Yaya. Perlahan Yaya membuka kedua matanya. “Enggak. Kenapa, Tan?" "Ada cowok nyariin kamu. Ganteng, Ya. Pacar kamu, ya?" tanya Banin menggoda. Sengaja ingin sedikit menghibur keponakannya itu. Kening Yaya mengernyit mendengar penuturan Banin yang sedikit bersemangat. Cowok? Perasaan tidak ada teman Yaya yang mengabari akan datang ke rumah hari ini. "Siapa, Tan?" sambil berusaha untuk bangkit Yaya bertanya. Banin mengangkat pundaknya. "Lupa nanya namanya. Coba kamu temuin dulu." Yaya mengangguk nurut, dengan malas ia membawa langkahnya keluar dari dalam kamar. Begitu sampai di ruang tengah dan mengetahui siapa yang datang, sepasang mata Yaya langsung melebar sempurna. Regan yang sedang duduk manis di atas sofa sontak menaikan alisnya ketika menyadari kehadiran Yaya. Ya, Regan sedikit terkejut dengan penampilan Yaya yang lebih terbuka saat ini. Dengan celana pendek yang mengekspos kaki jenjangnya dan tanktop yang melekat ditubuh mungil Yaya, gadis itu seperti orang yang berbeda. Yaya terlihat manis dan seksi secara bersamaan. Regan berdehem. Membuang pikiran kotor yang menghantui isi kepalanya. "Saya turut berduka cinta atas kepergian Pak Nanta dan Karlo, Ya." kata Regan saat Yaya mendudukkan diri di sebrang sofa. Yaya mengangguk, tangannya bergerak mengambil bantal sofa untuk menutupi pahanya. "Bagaimana keadaan kamu?" kembali Regan bertanya. "Masih belum membaik, sejujurnya." Regan mengulas senyum tipis. Melihat cara Yaya merespon ucapannya, sepertinya kehadiran dirinya membuat Yaya merasa terganggu. "Saya datang karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan, Ya." Sepasang alis Yaya terangkat, raut wajahnya berubah penasaran. Apa Regan akan membahas perjodohan mereka lagi? Apa perjodohan mereka akan dibatalkan karena Nanta sudah tidak ada? "Mungkin waktunya memang tidak tepat untuk dibicarakan sekarang, tapi saya rasa ini juga nggak bisa ditunda-tunda." Yaya membuang napas. “Mas mau bicarain masalah apa?" Suara Yaya terdengar nada jengah. Regan terlalu bertele-tele, sementara Yaya enggan dibuat penasaran. Sebelum menjawab, Regan menarik napas dalam. Sepertinya butuh keberanian untuk mengatakan apa yang akan pria itu ucapkan. "Saya ingin mempercepat pernikahan kita, Ya. Jika kamu bersedia, mau kamu menikah sama saya bulan dep-" "Dipercepat?" Yaya tidak dapat menahan mulutnya untuk tidak memotong ucapan Regan. "Keadaan saya saat ini masih berduka, Mas." sambung Yaya sedikit sewot. Yaya tidak mengerti dengan jalan pikir Regan. Disaat ia sedang tertimpa musibah, pria itu malah mengajaknya menikah dalam waktu dekat ini. "Iya, saya mengerti. Tapi hal ini sudah saya bicarakan dengan Karel dan orang tua saya. Mereka bilang lebih baik pernikahan kita dipercepat agar kamu bisa tinggal bersama saya secepatnya. Mereka khawatir kalau kamu tinggal sendirian seperti ini." Yaya menghembuskan napas pendek, menjernihkan pikirannya sejenak. Apa yang Regan katakan benar. Tapi, apa Yaya siap menikah di saat rasa terpukul sehabis kehilangan Ayah dan Kakaknya masih membekas? "Bagaimana, Ya?" tanya Regan membuyarkan lamunan gadis itu. Yaya hela napas dalam sebelum menjawab. Yaya tahu, jika Nanta masih ada di sini, Ayahnya itu pasti akan sangat setuju bila Yaya menerima ajakan Regan untuk menikah bulan depan. Nanta pernah bercerita sedikit tentang Regan, dari cara Nanta mendeskripsikan Regan sepertinya Nanta sangat menginginkan Regan untuk dijadikan menantu. Sebelum mengambil keputusan, Yaya yakinkan dirinya bahwa ini adalah jalan yang terbaik. "Baik, Mas, saya mau." * * * Hari demi hari berlalu, tidak terasa Yaya sudah sampai di hari pernikahannya dengan Regan. Setelah diberi jeda beberapa minggu guna menyakinkan keputusannya untuk dinikahi Regan, Yaya menuju ujung pada kelabilannya. Hari ini, semua keraguan yang menghantui Yaya akan hilang, ia sudah tidak ada pilihan. Karena beberapa detik lalu baru saja Regan mengucapkan ijab kobul. Yaya sudah sah secara agama dan hukum menjadi istri Regan El Oliver. Resepsi pernikahan mereka terbilang mewah. Tentu saja Haris dan Ghania tidak mau pesta pernikahan anak mereka satu-satunya dirayakan dengan sederhana. Buka soal gengsi, tapi karena ini adalah momen penting yang Haris dan Ghania berharap hanya Regan dan Yaya rasakan satu kali selama seumur hidup. Jujur saja, Yaya tidak pernah membayangkan kalau pesta pernikahannya akan semewah ini. Seandainya sang Ayah dan Karlo masih ada di sini, kebahagiaan Yaya pasti akan terasa lebih lengkap. "Selamat! Akhirnya Bos Egan duduk di kursi pelaminan!" celotehan itu berasal dari mulut Arnold, teman Regan. Regan tak menyahuti ejekan Arnold, pria itu hanya berdecih sambil menahan senyum tipis. "Ternyata ya, Egan diam-diam sukanya sama yang muda-muda." ujar Arnold lagi saat bersalaman dengan Yaya. Pria itu memang paling senang jika mengejek Regan. "Nak Arnold kapan menyusul Egan?" timpal Ghania membuat Arnold langsung merapatkan mulutnya dan berangsur turun dari kursi pelaminan. Pertanyaan horor dari Ghania membuat bulu kuduk Arnold merinding. Jam 4 sore tepatnya. Acara pernikahan itu selesai, Regan langsung membawa Yaya pulang ke Mansion miliknya yang masih di kawasan Ibu Kota. Sejak lulus kuliah Regan sudah keluar dari rumah, meski awalnya tinggal di apartemen kecil, tapi sekarang pria itu memiliki mansion dan beberapa aset bernilai fantastis yang ia beli dari hasil jernih payahnya sendiri. "Mas Arnold kasih kita kado tiket honeymoon ke Jeju Island. Papa sama Mama juga kasih hadiah tiket honeymoon ke Bali. Bang Karel juga nih kasih tiket honeymoon ke Cappadocia. Ada beberapa temen-temen Mas yang-" "Saya sibuk. Nggak ada waktu buat honeymoon." potong Regan sebelum Yaya menyelesaikan ucapannya. Hadiah tiket honeymoon sebanyak ini ditolak Regan karena sibuk? Yaya tidak habis pikir. Ia mengerti Regan memiliki peran penting di Perusahaan, tapi bukankah ini juga momen yang penting di hidup mereka? Menikah tanpa honeymoon rasanya tidak afdol. "Sibuk? Sayang tau Mas tiket honeymoon sebanyak ini dibuang sia-sia," Yaya merengut masam mendengar penolakan Regan. "Kalau kamu mau, kamu saja yang pergi sendiri." sahut Regan dengan sedikit dingin. Ia tidak suka mendengar Yaya merengek seperti anak kecil. Yaya berdecak. Menyesal kenapa dulu tidak melakukan pendekatan lebih intens dengan Regan, habisnya pria itu selalu sibuk setiap Yaya meminta waktu untuk bertemu. Siapa tahu jika sudah mengenal lebih dalam, sikap dingin Regan bisa sedikit mencair. "Kamu tidur duluan saja. Saya akan lembur malam ini, masih banyak kerjaan yang harus saya selesaikan." ujar Regan, kemudian pria itu melenggang pria membawa IPad di tangannya. Meninggalkan Yaya yang terpaku sendirian di dalam kamar. Ayolah, ini adalah malam pertama mereka, masa Regan menyuruhnya untuk tidur duluan? Apa pria itu tidak berniat untuk melakukan ritual malam pengantin baru bersamanya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN