Pertemuan Pertama

1212 Kata
Yaya melihat penampilannya dari pantulan cermin. Satu hal yang dapat Yaya simpulkan, ia biasa saja. Untuk ukuran calon istri CEO, Yaya merasa kurang pantas. Jadi, Yaya pasrah jika nantinya perjodohan ini tidak berhasil. Setelah merasa cukup siap, Yaya keluar dari dalam kamarnya sambil menyelipkan kunci mobil di tangan. Malam ini rumahnya kosong, Nanta sedang pergi bersama Karlo dan Karel, dua kakak kembar Yaya itu kemarin pulang ke Indonesia untuk memperpanjang masa visa mereka. Mungkin lusa akan kembali ke Singapura karena mereka sedang mengejar studi Magister di sana. Yaya memakan waktu hampir setengah jam untuk sampai di kafe yang akan menjadi tempat pertemuan pertamanya dengan Regan. Untunglah Yaya tidak terlambat. Sebelumnya Yaya sudah reservasi meja, jadi ia tidak cemas melihat kafe itu sudah dipenuhi pengunjung. Sambil menunggu Regan datang, Yaya sibuk memainkan ponselnya. Hingga beberapa menit berlalu, seseorang tiba-tiba menduduki kursi kosong di hadapan Yaya tanpa permisi. Perlahan kepala Yaya mendongak, gadis itu tidak bisa berkata-kata saat melihat siapa oknum yang datang, dia adalah pria tampan yang waktu itu berpapasan dengannya di pintu rumah Haris. Ternyata pria ketus itu ternyata calon suaminya?! Tidak ada sapaan dari Regan. Ia hanya membalas tatapan lurus Yaya dengan wajahnya yang senantiasa datar. Meski tidak sedingin hari itu. "Regan?" tanya Yaya ragu. Regan mengangguk. Ia kemudian mengangkat sedikit tangannya untuk memanggil Waitress. Selagi pria itu memilih menu, Yaya hanya bisa terpaku menatapi pesona pria itu. Bahunya yang tegap, rahang tegas serta hidungnya yang mancung. Gila! Bagaimana bisa calon suaminya setampan ini? Apa terlahir sebagai pewaris tunggal Oliver Holdings belum cukup untuk Tuhan merasa puas memberi nikmat sebaik itu hingga Regan juga diberkati fisik yang rupawan? Astaga, wangi parfume Regan bahkan tak kalah mahal dari aura yang saat ini pria bermata legam itu pancarkan. Kalau begini ceritanya, makin menipis rasa percaya diri Yaya. "Kamu mau pesan apa, Ya?" tanya Regan sambil membaca buku menu. Sementara Yaya masih terpaku menikmati pesona memikat milik Regan. Tak mendengar sahutan, Regan mengangkat pandangannya, mendapati Yaya yang sedang memandangnya sambil melamun. "Hei, Yaya!" tegur Regan menghentak lamunan gadis itu. "Hah? Iya, kenapa?" Gelagat Yaya langsung salah tingkah. "Kamu mau pesan apa?" tanya Regan satu kali lagi. Yaya memandang buku menu di depannya, ia lantas memberikan buku itu ke Waitress yang berdiri menunggu di samping meja mereka. "Pesanannya disamain aja, Mbak," ujar Yaya, menarik atensi Regan. "Kalau saya pesan wine, kamu juga mau ikut minum?" tanya Regan, Yaya segera menggelengkan kepalanya. "Kecuali untuk yang itu.” sahut Yaya cepat. Selesai memesan, keduanya kini saling diam. Yaya memainkan kukunya, sementara Regan sibuk dengan ponsel di tangan. "Kata papaku, kamu ingin mengenal saya lebih dalam?" Regan bersuara, namun pandangannya masih bertahan pada layar ponsel. "Iya, walaupun perjodohan ini mendadak. Saya rasa kita harus mengenal satu sama lain lebih dalam, meminimalisir sikap yang bertolak belakang." jawab Yaya tegas. Mendengar jawab itu, Regan spontan mendongak. “Kamu mencari suami yang semua sikapnya satu frekuensi dengan kamu?" Yaya mengangguk. Menimbulkan senyum meremehkan di wajah Regan. "Yang namanya berubah tangga, perbedaan pendapat dan sikap yang bertolak belakang itu sudah lumrah. Pernikahan itu tentang bagaimana kamu bisa menerima sikap baik dan buruknya pasangan kamu." jelas Regan bijaksana. Hal dasar seperti ini saja Yaya tidak tahu, cara berpikir cewek itu benar-benar masih bocah. "Tapi, pernikahan itu seumur hidup. Saya nggak mungkin habisin seumur hidup saya sama seseorang yang nggak setujuan." Meski jawaban Regan membuka pikiran baru untuk Yaya, tapi Yaya masih punya pendapat tersendiri. "Oke. Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk mengenal saya lebih dalam? Jujur saja, saya nggak punya banyak waktu senggang untuk berkencan di setiap minggu." Bukannya kalah debat. Regan hanya tidak mau beragumen dengan anak kuliahan, bukan tandingannya. Dan ya, definisi pernikahan menurut setiap orang memang berbeda-beda. Regan hargai itu. Sebelum menjawab, Yaya melempar senyum paksa. Gadis itu mulai merasa kesal dengan keangkuhan Regan. "Kencan? Saya kira setelah ini kamu nggak mau ketemu saya lagi.” Rasa percaya diri Yaya itu rendah. Melihat banyaknya atensi yang Regan dapatnya dari pengunjung kafe lain saja membuat Yaya ingin buru-buru pulang. Bukannya merasa bangga duduk satu meja dengan pria tampan seperti Regan, Yaya malah merasa malu karena tidak pantas. Penampilan Regan sangat berkelas, walaupun Yaya tidak pernah merasakan kesulitan ekonomi, tapi ia tetap merasa kecil jika harus bersanding dengan Regan. Yaya pikir, Regan juga pasti banyak mengenal cewek-cewek yang lebih cantik dan berkelas daripada dirinya. "Saya nggak mengatakan seperti itu. Bukannya kita akan dijodohkan? Jadi, selanjutnya kita pasti bakal lebih sering bertemu." Yaya diam seribu kata. Dugaannya meleset. Ia tidak salah dengarkan kalau tadi Regan bilang akan ada pertemuan selanjutnya? Jadi, Regan setuju dengan perjodohan ini? Melihat gurat gelisah di wajah Yaya, Regan menarik senyum tipis. Kalau dilihat-lihat, ternyata Yaya lebih cantik dari di foto. Untunglah Haris tidak sembarangan mencarikan calon istri untuknya, walau Yaya berasal dari kalangan orang biasa. Tapi Yaya menjaga penampilannya dengan baik, setidaknya cewek itu tidak akan membuatnya malu saat dikenalkan ke relasinya suatu hari nanti. Baru saja Yaya hendak menjawab perkataan Regan, namun getaran pada ponsel Yaya membuat jeda percakapan mereka. Kening Yaya mengernyit saat mendapati panggilan masuk dari nomor Karel, Abang kedua Yaya. Tanpa menunggu lama Yaya langsung menerima panggilan itu. "Halo, Bang?" "Ya, kamu bisa ke rumah Sakit Akan Sehat sekarang? Ayah dan Bang Arlo kecelakaan." Suara Karel terdengar tergesa. Meski terlihat sibuk dengan ponselnya, namun diam-diam Regan memasang telinga untuk mendengarkan pembicaraan Yaya dengan seseorang di telepon. Beberapa detik diterpa keheningan, Regan perlahan melirik ke arah Yaya, menemukan perubahan pada pancaran mata gadis itu, sepertinya Yaya baru saja mendapatkan kabar buruk. Untuk sesaat, Yaya ngeblank. "Kecelakaan? Keadaan Ayah dan Bang Arlo gimana?" Nada Yaya merendah. Suasana hati Yaya dengan seketika berubah. "Ayah dan Bang Arlo... kritis, Ya..." * * * Di hadapan kuburan sang Ayah dan Kakak tertuanya Yaya tidak dapat menahan tangisnya. Kecelakaan tunggal yang menimpa keluarga Yaya menyebabkan Yaya kembali kehilangan anggota keluarganya, setelah dua tahun lalu sang Bunda pergi karena penyakit kanker yang dideritanya, kini Ayah dan Kakak tertuanya menyusul kepangkuan Sang Ilahi. Usapan tangan Karel tidak lepas sedetik pun dari pundak lemas Yaya, ia mencoba menguatkan adik bungsunya itu. Perasaan mereka sama-sama hancur, tapi Karel berusaha untuk terlihat kuat di depan Yaya. Karena saat ini hanya dirinya yang Yaya punya di dunia. "Harusnya Ayah dan bang Arlo nggak usah pergi kemarin, biar gue aja yang pergi.” Di dalam mobil menuju pulang, Karel menyampaikan penyesalannya. Sebagai satu-satunya korban yang selamat, Karel amat merasa bersalah dan menyesal. Seadainya kemarin ia tidak meminta Karlo dan Nanta untuk menemaninya pergi ke festival musik, mungkin musibah ini tidak akan terjadi. "Abang nggak boleh ngomong seperti itu, ini udah takdir, Bang." ujar Yaya sambil menghapus air matanya. Jika tidak ada Karel, mungkin saat ini Yaya lebih memilih untuk pergi menyusul keluarganya di Surga. Yaya seperti kehilangan arah, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini. Karel memalingkan wajahnya, menghapus air matanya dengan cepat lalu membawa Yaya ke dalam dekapan hangat. "Maafin Abang, Ya, Abang janji bakal jagain Yaya. Abang bakal ada di sini terus nemenin Yaya," Mendengar penuturan itu, Yaya segera menggelengkan kepalanya. "Nggak, Bang. Abang tetap harus selesaiin studi Abang. Itu impian Ayah dan Bunda, 'kan?" Dalam sekejap, hidup Karel berubah. Yang semula berjalan lurus kini harus dihadapkan dengan dua pilihan penting dalam hidunya. Menetap di sini untuk menjaga Yaya, atau melanjutkan Magisternya di Singapura seperti keinginan mendiang orang tuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN