Suami Bermulut Pedas

999 Kata
Yaya menyunggingkan senyum saat membuka matanya dan mendapati pria yang kemarin sudah sah menjadi suaminya itu keluar dari dalam kamar mandi. Dilihat dari rambut Regan yang masih basah dan handuk yang melingkar di pinggang pria itu, sepertinya Regan baru selesai mandi. "Kamu mau ke mana, Mas?" tanya Yaya berusaha untuk bangkit dari ranjang. Ia lantas mengikat asal rambutnya menjadi satu bagian. "Kerja." Regan yang sedang sibuk memilih setelan formalnya di dalam lemari besar itu menjawab pertanyaan Yaya dengan nada malas. Spontan Yaya mendekati Regan, membantu Regan memilih pakaian yang akan dikenakan pria itu ke kantor. "Kamu nggak ambil cuti menikah?" "Nggak. Kamu minggir saja, saya bisa ambil pakaian saya sendiri." Yaya tidak mendengarkan, ia tetap sibuk membantu suaminya memilih pakaian. Sejak status lajang sudah ia lepaskan, Yaya bertekad akan menjadi istri yang baik. Namun sepertinya Regan tidak mendukungnya akan hal itu. "Yaya, saya bisa cari pakaian saya sendiri." tekan Regan satu kali lagi. "Aku bantuin—" "Saya bisa sendiri, kamu dengar nggak?!" tekan Regan dengan emosi yang mendominasi. Hal itu membuat Yaya seketika membatu di tempatnya. Agaknya Yaya terkejut dengan suara Regan yang meninggi. Perlahan langkah Yaya berangsur mundur, kepalanya menunduk menyembunyikan keterkejutannya atas bentakan Regan barusan. Selain dingin, kini Yaya kembali mengetahui satu sifat jelek suaminya, mudah emosi. "Kalau begitu aku permisi mau bikin sarapan.” ujarnya kemudian beranjak ke luar dari dalam kamar. Sebenarnya Yaya ingin menangis. Sakit rasanya dibentak oleh pria yang baru saja menjadi suaminya. Bahkan orang tua dan kakaknya saja belum pernah membentak Yaya. Tapi Yaya harus kuat, mungkin saja tingkahnya tadi benar-benar membuat Regan kesal. Kini Yaya berdiri di depan konter dapur, wajahnya ngeblank memikirkan masakan apa yang akan ia buat untuk sarapan bersama Regan. Bumbu dapur tersedia, bahan makanan pun lengkap, hanya saja Yaya bingung bagaimana cara mengolahnya menjadi makanan yang layak untuk dimakan. Ya, Yaya tidak bisa masak meski ia anak perempuan satu-satunya di keluarganya. Sedari dulu Yaya tidak berminat untuk belajar memasak karena sibuk dengan kegiatan kuliah. Dan sekarang Yaya baru merasa menyesal kenapa dulu dia tidak belajar memasak bersama Bundanya. "Tenang, Ya, banyak tutorial di YT, lo juga bisa nyari resep masakan di Go**le." ujar Yaya kepada dirinya sendiri. Ia membuka ponsel dan mencari video tutorial di platform YT. Dengan lambat dan gerakan yang kaku Yaya mulai memasak dan mengolah bumbu seperti yang ada pada video. Senyuman lebar tersungging di bibir Yaya tatkala harum semerbak masakannya menyeruak di ruang dapur. "Mas, ayo sarapan! Masakannya sudah matang!" teriak Yaya sebab letak kamar utama ada di lantai dua. "Kamu bisa masak?" Regan datang sembari memasang arlojinya. Obsidian legam itu memandang meja makannya yang dipenuhi berbagai macam jenis lauk-pauk. Tapi, bentuknya sedikit aneh. Regan menarik kursi, lalu mendudukinya. "Masak sarapan nggak perlu sebanyak ini, Yaya." "Gakpapa, Mas, nanti bisa diangetin lagi buat makan malam." jawab Yaya mulai menyendokan nasi ke piring Regan. Regan tak menjawab, ia meraih sendok dan garpu, dengan ragu ia memasukan suapan pertamanya. Membuat Yaya memandangnya fokus, menunggu ekspresi yang akan Regan berikan setelah mencicipi hasil masakan pertamanya. "Gimana, Mas?" Yaya menahan senyum, berharap Regan menyukai masakannya. Sayangnya, ekspektasi tak sesuai harapan. Bukannya menjawab, Regan malah meraih tisu dan memuntahkan makanannya kembali. Melihat itu, Yaya terkejut, ia segera memberikan Regan segelas air putih. "Nggak enak!" tanpa sungkan Regan berkomentar kejam. Regan tidak berdusta, masakan Yaya memang aneh rasanya, percis seperti bentuknya. Tidak karuan. Tenggorokannya saja menolak untuk menelan. Raut wajah Yaya seketika menurun, ia menunduk sambil membuang napas panjang. Ia kecewa karena masakannya gagal, tapi lebih kecewa lagi dengan Regan yang tidak bisa menahan kejujurannya. Apa salahnya sedikit berbohong agar tidak menyakiti perasaan istrinya sendiri. Apapun hasilnya, harusnya Regan menghargai Yaya yang sudah berusaha memasak sarapan untuknya, bukan? Regan bangkit dari duduknya, "Saya berangkat. Semua masakan kamu dibuang saja." perintahnya sarkas. Yaya ikut bangkit dengan raut sendu yang tidak bisa ia tutupi. "Nanti aku kasih kucing aja, Mas. Mubazir kalau dibuang." Decihan samar keluar dari bibir Regan. "Ya, semoga aja kucingnya nggak keracunan." Dada Yaya kembali berdenyut nyeri mendengar hinaan itu. Apa rasa makannya seburuk itu hingga bisa menyebabkan binatang keracunan? Lagi-lagi Yaya hanya membuang napas panjang, mentralisir sesak di dadanya. Ia berjalan mendekati Regan, lalu menyodorkan telapak tangannya membuat suaminya kebingungan. "Apa?" tanya Regan bingung. Yaya mengangkat pandangannya, membalas tatapan Regan. "Salim." jawabnya. Dengan ragu Regan mengulurkan tangannya, membuat Yaya segera menyalimi tangan suaminya itu. "Hati-hati di jalan, Mas." Regan berdehem. Entah kenapa ia merasa gugup saat bibir ranum Yaya menyapa kulit punggung tangannya. Tekstur bibir Yaya begitu lembut dan kenyal. "Ya. Saya pergi." * * * "Nggak usah dipikirin, Ya. Sekarang banyak tempat kursus buat belajar masak. Lo juga nikah muda dan dadakan, wajar kalau diri lo kurang persiapan, harusnya suami lo memaklumi sih." Yaya menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Ucapan Mila sedikit membuat perasaannya lega. Benar kata temannya itu, harusnya Regan memaklumi dirinya. Regan sendiri yang memintanya untuk cepat-cepat menikah. Padahal usia Yaya masih sangat muda dan belum mengerti dengan pekerjaan rumah tangga. "Tetap aja gue malu, Mil! Gue udah pede gila masakin suami gue sarapan, nggak taunya rasanya amburadul!" desis Yaya kembali kesal mengingatnya. Mila mengusap pundak Yaya, membuat Yaya semakin menunjukkan wajah nelangsanya. "Lo cuma butuh waktu, lama-lama juga pasti bisa." Tidak bosan-bosan Mila memberi semangat ke sahabatnya yang baru saja mengganti status lajangnya menjadi seorang istri. Yaya menegakkan badannya. "Kasihan ya mas Regan, udah ganteng, tajir, pintar, eh dapat istri malah kayak gue." Nalendra yang sedari tadi fokus pada laptopnya kini menoleh. "Kok ngomong gitu sih, Ya? Harusnya lo bersyukur dikasih jodoh macam suami lo. Masalah suami lo dapat istri kayak lo, ya itu musibah dia." timpalnya membuat Yaya berdesis kesal. "Gue sumpahin lo nggak lulus tahun ini!" sungut Yaya. "Mampus lo, Al. Doa anak yatim piatu mujarab, loh!" sahut Mila. Cowok yang biasa dipanggil Alen itu nyengir, "Bercanda, Ya. Gue do'ain deh semoga rumah tangga lo sama suami lo langgeng terus." "Aamiin." dengan polos Yaya menyahut. "Ngomong-ngomong, gimana malam pertamanya?" Yaya terdiam, berpikir sejenak. Kalau ia mengatakan malam pertamanya belum terjadi sebab Regan lebih memilih bekerja, apa itu hal yang memalukan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN