“Jangan Terlambat!”

1027 Kata
"Cobain ini, Ya. Tante bikin sendiri, menurut kamu rasanya gimana?" Ghania menyodorkan toples kaca berisi cookies berukuran mini ke hadapan Yaya. Mereka baru saja selesai makan malam dan beralih ke ngobrol-ngobrol santai di ruang tamu. Sejauh ini, tidak ada obrolan yang membahas tentang perjodohan Yaya dengan Regan. Hal itu membuat Yaya sedikit lebih tenang meski keterlambatannya membawa masalah. Saat Yaya datang, Regan sudah pergi, pria itu ada urusan mendadak yang mewajibkannya untuk segera pergi. "Enak, Tante. Cocok buat teman nonton TV." jawab Yaya setelah menuruti perintah Ghania untuk mencoba cookies buatan tangan wanita itu. Mendengar pujian Yaya, Ghania langsung tersenyum lebar. "Bisa aja kamu! Tapi, dulu Egan juga suka nyemil cookies tante buat nonton bola." Yaya tersenyum kecil. Disetiap obrolannya, baik Ghania atau Haris terus membawa-bawa nama Egan, sudah pasti Egan adalah anak mereka yang akan dijodohkan dengannya. "Istri saya ini pintar masak loh, Ya. Kamu boleh tuh kalau mau belajar masak sama Istri saya. Siapa tahu nanti Egan bakal suka sama masakan kamu." timpal Haris. Ghania mendengus. “Percuma, Ya. Egan juga jarang makan di rumah. Lebih penting kerjaan dari pada makan bareng orang tua." "Siapa tahu kalau Yaya yang masak, Egan jadi suka makan di rumah, Ma." Haris tak mau kalah. Yaya hanya bisa nyengir canggung saja, belum juga kenalan dengan Egan Egan itu, mereka sudah berkhayal yang tidak-tidak. "Oh iya, Ya, katanya tadi kamu habis bimbingan skripsi? Gimana hasilnya?" tanya Haris lagi mengalihkan topik. "Sejauh ini, baru sampai bab tiga yang sudah di ACC. Bab selanjutnya masih Yaya pikirkan isinya, Om." jawab Yaya dengan tenang. Mulutnya masih sibuk mengunyah santai cookies buatan Ghania. "Gakpapa, Ya. Pelan-pelan aja, Ayah juga nggak nuntut kamu buat cepat wisuda. Yang penting kamu nggak stress." Sebuah usapan hangat di bahu Yaya membuat gadis itu perlahan menolehkan kepalanya ke arah Nanta. Ada getaran haru yang saat ini ingin meruntuhkan pendirian Yaya. "Makasih, Ayah, Yaya enjoy kok ngerjain skripsinya." jawab Yaya sambil meraih telapak tangan Nanta dan menggenggamnya. Haris dan Ghania yang melihat interaksi Yaya dan Nanta kini saling bertukar pandang. Tekad mereka untuk menjadi Yaya sebagai menantunya semakin bulat. Yaya adalah wanita hangat yang pantas untuk menjadi pendamping hidup Regan. "Kalau boleh tau, Ya, apa ayahmu sudah membicarakan perihal perjodohan kamu dengan Egan?" Haris rasa sudah saatnya obrolan mereka mengarah ke inti. Kunyahan Yaya seketika terhenti, bola matanya bergerak resah, sedikit takut untuk membicarakan topik yang satu ini. "Sudah, Om." jawab Yaya, nada suaranya menjadi lebih rendah dari sebelumnya. "Lalu gimana tanggapan kamu, Ya? Apa kamu mau menerima anak saya?" Masih dengan pertanyaan dari Haris. Nanta hanya bisa diam seperti Ghania. Apapun jawaban Yaya nanti, Nanta tidak akan menentang keputusan anaknya itu. Meski sebenarnya besar harapan Nanta untuk Yaya menerima perjodohan ini. Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, bukan? Dan menurut Nanta, Regan pasti bisa menjamin Yaya hidup bahagia dan sejahtera. Dengan semua yang Regan miliki, Yaya tidak akan merasa kekurangan lagi setelah menjadi istri dari pewaris tunggal itu. Bukannya matre, Nanta hanya berpikir realistis. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya diajak hidup susah. Sebelum menjawab, Yaya menarik napas dalam untuk mengumpulkan keberaniannya. Dengan mantap Yaya mendongak dan membalas tatapan Haris dengan lurus. "Yaya belum bisa menjawab sekarang, Om. Apalagi Yaya belum ketemu dan mengenal anak Om. Tapi, jika memang nanti Yaya bersedia, apa Om dan Tante yakin bisa menerima keluarga Yaya?" Kening Haris berkerut, seketika ia dan Ghania saling melempar tatapan. "Tentu saja kami menerima keluarga kamu, Ya. Malah Om berharap kamu mau menerima Egan." * * * Sudah lebih dari satu jam tatapan Regan tidak beralih sedikit pun dari wajah Yasmin yang terlelap. Sudah 3 hari Regan bulak-balik ke rumah sakit untuk memantau kondisi wanita itu, tapi tadi Ario bilang besok Yasmin sudah dibolehkan pulang. "Ini udah malam, Gan, mending lo pulang aja. Yasmin ada gue yang jagain," ujar Ario sambil menepuk pundak Regan. Regan menoleh ke Ario, lalu tersenyum tipis. Sejujurnya Regan ingin bertahan di sini, menemani Yasmin sampai besok pagi wanita itu terbangun. Sayangnya, suara Regan tidak cukup kuat dibandingkan Ario yang notabene suami dari Yasmin. "Tolong jaga Yasmin ya, Yo." mohon Regan sebelum akhirnya keluar dari ruang inap VVIP itu. Rasa cemas Regan masih bersarang, mengkhawatirkan keadaan Yasmin yang sedang melewati masa terburuknya. Tiga hari lalu wanita itu melalukan operasi pengangkatan rahim usai mengalami keguguran saat mengandung anak pertamanya. Katanya, ada masalah pada rahim Yasmin yang mengharuskan Dokter mengambil tindakan operasi demi keselamatan wanita itu. Terlepas dari perasaan Regan ke Yasmin, Regan turut berduka atas musibah yang menimpa wanita cantik itu. Apa lagi Yasmin dan Ario sudah enam tahun menikah dan sangat menanti-nanti buah cinta mereka. Sayangnya, harapan kecil itu harus musnah. Ario bilang, setelah ini Yasmin tidak bisa memberikan keturunan karena rahimnya sudah diangkat. DRT! Baru saja menduduki jok Range Rovernya, Regan menghembuskan napas jengah saat merasakan ponselnya yang bergetar di saku celana. Ranaya : Selamat malam. Apa benar ini Egan? Regan memutar bola matanya malas. Beberapa hari lalu ia sudah mengirim pesan dan mengenalkan diri, tapi tidak ada jawaban dari Ranaya. Dan sekarang cewek itu malah mengirim pesan teks bertanya. Regan : Ya. Saya sudah mengirim pesan beberapa hari lalu. Ranaya : Iya, maaf saya nggak tau kalau itu kamu. Ranaya : Apa besok kita jadi bertemu? Lagi-lagi Regan menggeram kesal. Apa pesannya hari itu masih kurang jelas? Kenapa bertanya lagi? Apa cewek itu kira Regan orang yang tidak konsisten? Regan : Ya. Jangan datang terlambat, saya nggak suka menunggu. Ranaya : OK Regan kira percakapan virtual itu sudah selesai, tapi begitu ia melempar ponselnya ke atas dashboard, benda pipih itu bergetar lagi. Ranaya : apa harus bertemu di Hotel? gimana kalau di tempat makan aja? Kening Regan mengernyit. Apa yang ada dipikiran cewek itu? Isi pesannya seakan merajuk kalau dia berpikir Regan akan berbuat yang macam-macam. Padahal besok malam Regan ada janji dengan seseorang di Hotel itu juga, Regan hanya berniat untuk mengefisienkan waktu. Regan : Kalau kamu nggak nyaman ketemu di Hotel, kamu aja yang nentuin mau ketemu di mana. Tapi waktunya nggak bisa di ubah. Ranaya : OK, besok aku kirim alamatnya. Setelah itu Regan mematikan daya ponselnya. Ia tidak ingin ada pesan susulan dari Ranaya yang membuat percakapan mereka jadi semakin panjang. Buang-buang waktu saja!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN