Papa : Malam ini Papa mengundang Nanta dan Yaya untuk makam malam bersama di rumah. Kamu harus ikut juga.
Regan : aku sibuk, Pa.
Papa : mau pulang sendiri atau dijemput pakai Polisi?
Tanpa pikir panjang dan menunda-nunda, Regan kembali meraih ponselnya setelah membaca balasan Haris dari pop-up, lalu membalasnya. Ia memiliki trauma dengan ancaman Haris dan Polisi.
Meski kejadian memalukan itu sudah beberapa tahun berlalu, tapi tetap saja masih menempel erat diingatan Regan. Waktu itu Regan berniat lembur di kantornya, padahal di rumahnya sedang ada acara makan malam keluarga besar dan Regan sudah diwanti-wanti untuk datang dari dua hari sebelumnya. Memiliki firasat Regan tidak akan datang, Haris mengirim empat anggota Polisi untuk menjemput anaknya itu di kantor. Regan bahkan masih malu jika mengingat kejadian itu. Beruntung tidak ada pegawai yang mengetahuinya selain security kantor.
Melepas fokus dari pekerjaannya, Regan melirik Rolex dipergelangan tangannya. Sudah mendekati jam pulang, tapi masih ada beberapa berkas menumpuk yang harus ia selesaikan malam ini.
Tok! Tok! Tok!
Regan mendongak, menatap ke arah pintu ruangnya yang baru saja diketuk. Perlahan pintu coklat itu terbuka, menampilkan wajah Sekretarisnya di sana.
"Maaf mengganggu, Pak. Saya diperintahkan oleh Pak Haris untuk mengantarkan bapak pulang ke rumah sekarang." ujar Kino, Sekretaris Regan.
Regan membuang napas panjang, menatap datar Kino yang menundukkan pandangannya.
"Sebenarnya atasan kamu itu Pak Haris atau saya?" tanya Regan tak terima. Yang merekrut pria itu untuk menjadi Sekretaris adalah dirinya, tapi kenapa Kino lebih patuh kepada Haris?
"Maaf, Pak, tapi-"
"Saya akan pulang setelah jam kerja selesai." potong Regan membuat Kino merapatkan mulutnya seketika.
"Baik, Pak." jawab Kino patuh. Setelahnya ia berangsur pergi tanpa berani memaksa Regan untuk pulang.
Tangan Regan bergerak meraih cangkir kopi, menyesap kafein itu sesaat sebelum kembali sibuk dengan komputernya. Tapi bukan untuk bekerja, melainkan membuka file berisi semua informasi tentang Ranaya Safaluna. Regan rasa ia berhak untuk mencari tahu tentang calon istrinya itu, meski secara diam-diam.
Sepasang mata tajam milik Regan yang dibingkai kacamata bening itu membaca sebait demi sebait informasi yang tertera. Beberapa kali Regan menganggukkan kepalanya, ternyata Ranaya lebih dari biasa saja seperti yang Regan kira. Wanita itu menempuh studinya di kampus bergengsi, selain itu Ranaya juga menggeluti dunia bisnis. Meski bisnisnya belum sebesar Oliver Holdings, tapi kerja kerasnya di usia muda membuat Regan cukup terkesan.
Infomasi lain yang Regan dapatkan, ternyata Ranaya tidak pernah menginjakkan kakinya di club malam mana pun, gadis itu juga tidak memiliki mantan pacar, yang paling penting Ranaya tidak pernah terjerat kasus yang membuatnya berhubungan dengan Polisi. Namanya sangat bersih, tapi Regan pikir hidup gadis itu sedikit membosankan.
Regan menutup file informasi itu. Ia rasa sudah cukup. Baiklah, Ranaya lolos seleksi pertama. Setidaknya gadis itu tidak memiliki skandal di masa lalu yang bisa saja berefek pada citranya nanti.
Regan memang sangat selektif dalam memilih istri, meskipun ia menjalani hal ini dengan terpaksa.
* * *
Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Tapi Yaya baru saja keluar dari ruangan Dosen pembimbing skripsinya. Niat Yaya ingin berleha-leha setelah sampai di rumah harus sirna karena baru saja ia membaca pesan yang tadi sore Nanta kirim. Ayahnya itu menyuruhnya untuk pulang cepat karena Pak Haris mengundangnya makan malam di rumahnya. Wajah lelah Yaya bertambah gelisah setelah membaca pesan itu, belum lagi ditambah rentetan panggilan tidak terjawab dari ayahnya. Sepertinya, perjodohan itu bukan sekedar gurauan saja.
Ayah : Yaya kenapa belum pulang? Jangan sampai bikin Pak Haris menunggu.
Ayah : Kenapa nggak dibalas?
Yaya mengecek jam, kemudian ia berdesis. Sial, ia tidak punya waktu untuk memperbaiki penampilannya.
Yaya : baru selesai bimbingan, Yah.
Yaya : Ayah berangkat duluan aja, nanti Yaya menyusul.
Ayah : oke, Ya.
Setelah memasukan ponselnya ke dalam tas, Yaya langsung berlari menyusuri lorong kampusnya yang sepi. Tidak ada waktu untuk menunggu bus atau ojek online, Yaya memilih untuk memberhentikan taksi yang lewat, dan meminta sang supir untuk mengantarnya ke alamat yang ayahnya berikan.
Sepanjang jalan, Yaya gelisah memikirkan perjodohan dadakan ini. Terlebih lagi, calon yang ayahnya kenalkan bukan orang sembarangan. Yaya seharusnya senang dijodohkan dengan pria mapan dan berasal dari keluarga kelas atas. Tapi, di sisi lain Yaya juga tahu diri, ia tidak memiliki kelebihan yang setidaknya membuat ia pantas bersanding dengan CEO itu. Dan juga Yaya memikirkan ayahnya. Jika ia menikah dalam waktu dekat, siapa yang akan menemani ayahnya di rumah setelah kepergian sang bunda?
Tidak sadar sudah melamun cukup lama. Taksi yang Yaya naiki berhenti di tempat tujuan. Setelah membayar ongkosnya, Yaya segera turun. Badan gadis itu perlahan membeku saat memandang rumah besar bergaya Eropa berlantai dua yang ada di hadapannya saat ini. Kediaman mewah milik Haris semakin membuat lutut Yaya lemas ketika melihat mobil-mobil mahal yang terparkir di garasi.
Yaya memandang dirinya sendiri. Datang ke rumah Haris dengan penampilan seperti ini, sepertinya ia akan diusir oleh para penjaga. Lihatlah, rasa percaya diri Yaya sudah bercucuran ke tanah.
Dengan langkah kecil dan ragu, Yaya berjalan mendekati pintu gerbang yang menjulang. Ditekannya bel yang tersedia. Tak lama kemudian muncul seorang laki-laki berbadan tegap dan besar.
"Mencari siapa?" Intonasi suara dan wajah lelaki itu tidak ada ramah-ramahnya.
"Anu, Om-eh, Pak.... Saya diundang Pak Haris."
"Nama kamu siapa?" sela lelaki itu.
"Ranaya,"
Tak ada jawaban setelahnya. Raut wajah Yaya sudah akan mengendur kalau saja gerbang besar itu tidak terbuka tiba-tiba. Ternyata penjaga itu menghilang untuk membukakan pintu gerbang untuknya.
"Langsung masuk aja. Pak Haris sudah menunggu kamu dari tadi." katanya masih dengan wajah jutek. Yaya mengangguk, dengan cepat ia berlari menuju pintu utama yang jaraknya lumayan jauh dari gerbang.
Langkah kaki Yaya berhenti di depan pintu yang tertutup rapat, sejenak Yaya merapikan penampilan dan menetralkan nafasnya. Baru saja Yaya hendak mengetuk, pintu itu sudah terbuka dari dalam dan menampilkan pria tampan yang tampak terkejut melihat kehadiran Yaya.
Seketika Yaya menunduk, menyadari pria itu menatapnya dari atas sampai bawah membuat Yaya merasa terintimidasi.
"Ranaya?"
Spontan Yaya mendongak. Dari mana pria itu mengetahui namanya?
"Masuk. Kamu sudah ditunggu. Lain kali jangan lelet lagi!" ketus pria itu kemudian melewati Yaya begitu saja.
Yaya menghela napas menahan diri. Kenapa orang-orang di rumah ini tidak ada ramah-ramahnya sama sekali?!
Sepasang manik coklat Yaya masih mengintai kepergian pria berkulit putih pucat itu, pandangan keduanya tidak sengaja bertemu ketika pria itu hendak memasuki Range Rover miliknya. Demi Tuhan, tatapan dinginnya berhasil membuat bulu kuduk Yaya seketika berdiri semua.