Heartbeat— 17

1590 Kata
Suddenly i hate vodka and drinking, akibat dari mabuk dan vodka k*****t itu Radit harus merasa bersalah pada seorang gadis yang saat ini tengah tertidur di sampingnya, memeluk erat kedua lututnya dan memalingkan mukanya menghadap kaca di sampingnya seolah pilihan untuk tidur menghadap Radit adalah suatu pilihan paling buruk. Bagaimana mungkin ia bisa sampai mabuk kayak tadi, huh? Tidak lagi mabuk untuk beberapa waktu rupanya sudah membuat tubuh Radit yang biasanya kuat kini menjadi gampang mabuk. Dan ini jelas merugikan banget buat dia, kenapa coba pas lagi mabuk dia harus bertemu dengan orang yang seharusnya tidak tahu siapa dia yang sebenarnya. Oh, ini bukan masalah harga diri, attitude, atau hal sepele lainnya, namun karena Radit belakangan— atau justru baru tadi— mengetahui bila gadis di sampingnya ini polos, lugu, dan ketakutan melihatnya, ia merasa bersalah. Seolah ketakutan Una menyakitinya. Radit mendesah, menaikkan jaket yang membungkus tubuh kecil Una di sampingnya. Melirik arloji di tangannya mendapati sudah jarum jam berada di angka satu. Besok masih masuk kerja, baik dirinya maupun Una harus berangkat. Lalu, bagaimana ia membangunkan Una yang saat ini pulas? Pria itu mendekatkan wajahnya ke arah gadis itu, menatap sejenak dengan napas yang tertahan. Dammit! Entah efek alkohol yang masih bercokol di otaknya, atau memang matanya baru terbuka saat ini. Di depannya Una terlihat sangat manis, matanya yang terpejam dengan tenang membuat Radit tersenyum, dan lebih sialan lagi karena kini mata Radit menyusuri wajah gadis itu. Dari mata, hidung, turun ke bibirnya. Pria itu tertegun lama. Ada sesuatu yang mengusik saat melihat bibir Una terkatup sedikit terbuka, Radit menelan ludah, mengusir pikiran yang tidak seharusnya mampir di otaknya. Pria itu menggigit bibir bawahnya. Kalau ada hal yang paling seksi dari Una kali ini adalah cara ia tidur, dengan bibir tipisnya yang sedikit terbuka membuat Radit harus mengendalikan dirinya lebih keras daripada saat Una membentaknya tadi. Dan pria itu berjuang sama kerasnya saat ia memilih menubrukkan kepalanya sebentar ke setir di depannya. Pikiran kotor itu harus hilang sebelum gadis di sampingnya ini jauh ketakutan saat melihatnya. Rasanya menggendong gadis itu sampai di kosnya akan menimbulkan masalah lebih panjang lagi, untuk itu Radit membangunkan Una, sengaja memberikan jeda kepada gadis itu untuk menyadari keberadaannya. "Udah nyampe, balik tidur gih, besok kerja lagi," ujar Radit sembari tersenyum kecil. Una menyipitkan matanya, menghalau bayangan Radit yang masih buram di depan matanya. "Thanks udah nganterin." Una mengembalikan jaket yang dipinjamkan Radit sebelum pria itu menggelengkan kepalanya. "Bawa aja dulu, kapan-kapan aja balikinnya." Gadis itu mengangguk, seolah tak mau dibantu lebih oleh Radit, Una membuka pintu di sampingnya dengan terhuyung. Radit menatap kosong ke arah Una, melihat bagaimana gadis itu tak lagi menatapnya jahil atau berterimakasih kepadanya sebelum kejadian di Vincent tadi. Sebelum Una benar-benar tak lagi menoleh ke arahnya, Radit memutuskan turun dan berlari mengejar Una. "Ya?" "Tolong kejadian pas di samping mobil tadi anggap aja nggak pernah terjadi." Permintaan konyol, karena kemudian ia melihat Una tak menjawab dengan raut pedih. Sekarang Radit tahu, mengejar Una barusan adalah sebuah kesalahan, lebih salah lagi saat ia memilih kata dalam bertanya. Goblok! Una tersenyum kecil. "Lo pulang aja." Radit merapatkan jaketnya ke tubuh gadis itu. "Have a nice dream, Na." Tanpa sepengetahuan siapapun, sepasang mata mengintai mereka dari salah satu sudut, terpukau saat melihat Una turun dari mobil Radit, menjepret beberapa kali adegan saat Una bersama Radit. Tersenyum puas karena kali ini ia memiliki bukti. *** I can't calm down after doing bad things seharusnya dibilang melakukan ya enggak, cuma Una merasa bahwa semalam ia adalah salah satu korban dari pelecehan orang yang lagi mabuk. Apakah ia takut pada Radit pagi ini? Tentu saja iya! Bukan jenis ketakutan yang lantas membuatnya kabur saat bertemu Radit, namun ia membiarkan sebuah jarak tercipta diantara mereka setelah biasanya Una sableng banget kalau ketemu cowok itu. Angga, cowok paling baik hati sedunia itu baru saja kembali dengan tangan membawa dua boks bubur ayam. Ia tersenyum saat melihat Una menunggunya dengan kaki terayun seperti anak kecil. "Makan di mobil aja, ya? Di sana rame banget padahal masi pagi loh, Na." Angga emang pecinta makanan pinggir jalan, anak orang kayak yang merakyat mah kayak gitu, Angga tak pernah hidup memikirkan apakah yang diajaknya bicara, tempatnya makan, atau siapapun yang berinteraksi dengannya berasal dari kasta mana. Tak peduli apakah ia berasal dari brahmana atau sudra, semuanya mendapatkan perilaku sama. Kebaikan Angga yang satu ini lantas membuat Una langsung mantap saat pria itu menyatakan cinta pada Una. "Nggak apa-apa, lagian gue tadi belom sempat dandan juga, jadi di mobil aja biar bisa dandan." Angga membuka satu boks bubur yang diletakkannya di atas dashboard, pria itu membukanya terlebih dahulu, sengaja dibiarkan terbuka karena Una tak suka makanan panas. "Jangan suka tidur malem makanya," tegur Angga, teringat Una yang keteteran saat Angga sampai di depan kosnya. "Gue manusia normal, Ga, bukan kelelawar yang tidur pagi hari." Una banget kalau ini, susah emang mendebat gadis yang suka kambuh sablengnya. Beruntung itu Una, cewek paling unik menurut Angga. "Tapi keliatan banget kantung mata lo, semalem insom lagi ya?" tanya Angga menyentuh bawah mata Una yang menghitam. Una menepis pelan jari Angga. "Gue kalo belom terbiasa di kota orang emang suka insomnia, tapi nggak apa-apa, semalem gue bisa tidur kok, meskipun cuma dua jam." Keberangkatan mereka kali ini tak dibarengi oleh Melda, mengingat gadis itu yang paling lengket dengan Angga daripada dirinya. "Melda kenapa ditinggal?" tanya Una tiba-tiba. Angga menghentikan makannya, untuk hal sesepele ini, ngomongin Melda adalah hal paling buruk sebab akhir-akhir ini, Melda lah yang nyaris menghasut Angga untuk terus mencurigai Una. "Nggak apa-apa, palingan dia pesen grab," jawabnya enteng. Una mendesah. "Nggak bisa gitu dong, Ga, dia kan temen lo juga, masa iya nggak dibarengin." "Ini soal tumpangan ya, Na, padahal dia bisa pesen ojol, jadi nggak usah merasa bersalah, Melda berani sendiri ah, beda lagi kalo itu elo." Pria itu tersenyum kecil. Una menautkan dua alisnya dengan heran. "Emang kenapa sama gue? Ada masalah?" Angga menggeleng, pria itu menatap gadis yang hampir dua bulan ini menjadi pacarnya padahal pedekatenya nyaris tiga tahun. "Kalo elo yang ditinggal, udah pasti bakal nangis kejer atau minimal nelepon gue bilang 'Ga, gue nggak tau mau pulang ke mana'," Angga tertawa kecil. Mengacak rambut Una dengan gemas. "Dan tau-tau ada orang nyamperin gue buat nganter sampe kantor kayak dulu ya?" tebak Una membuat Una mengangguk lembut. "Apapun itu asal elo aman, bakal gue lakuin." Una tersenyum, gantengnya ini emang paling perhatian kalau sama Una. Dan dimanapun Una berada selalu ada orang Angga yang mengikutinya. Gadis itu mendongak. "Sebenernya, lo nyebar orang-orang lo dimana aja?" Pertanyaan ini lah yang membuat Angga tersenyum. Meski banyak, namun pria itu hanya menugaskan saat Una tak bersamanya. "Setiap lo jalan, disitu mereka ada." Bukannya memuji keren pada Angga, Una justru bergidik ngeri. *** What can i do, when i meet her? Otak pintar Radit yang biasanya gerak cepat dalam menghadapi deretan angka dalam spreadsheet, yang biasanya cepet banget nemuin solve problem saat mempunyai masalah, kali ini otaknya seolah lumpuh tak bisa dibuat untuk berpikir. Padahal hanya hal sesepele apa yang harus ia katakan saat bertemu dengan Una nanti membuat ia hampir mati gaya. "Morning, Aruna." atau justru sekadar bilang, "Gimana, Na tidurnya? Nyenyak?" kalau yang ini jelas bukan gayanya banget sok manis, "Hai, Na, mana revisian yang kemaren lo buat?" Oh, God, menyapa Una mendadak menjadi hal paling sulit bagi Radit padahal pekerjaan Radit lebih sulit dan melelahkan dari sekadar sapaan yang kurang dari satu menit diucapkan. Otaknya benar-benar buntu saat harus dipaksa memikirkan apa yang harus ia katakan bila bertemu nanti, karena begitu pintu ruangannya dibuka, Radit justru terpana. Pria itu menelan salivanya saat matanya terus mengawasi jalannya Una. Damn! Pagi ini gadis itu terlihat lebih cantik dari biasanya atau justru Radit yang tengah bermasalah? Una mendongak, menatap Radit tersenyum pada pria yang kini mendongakkan kepalanya, menatapnya tanpa berkedip. "Gimana kalo pindah pembimbing?" Bukan, bukan Radit yang pertama kali menyapa, tapi Una yang membuat sapaan di pagi ini menjadi buruk. Pria itu melotot. "Lo pindah pembimbing? Ngapain?" Una menunduk. "Biar gue bisa nyaman kerja." "Bukan karena semalem kan? Astaga, Na, demi Tuhan gue nggak sadar udah nyium lo, gue bener-bener nyesel setelahnya, apa lo percaya sama gue?" Dengan rentetan kalimat Radit barusan dan kilasan kejadian semalam di pinggir mobil, apa yang membuat Una ketakutan? Bukan, bukan karena Radit menciumnya, karena Angga juga pernah menciumnya, ia juga tidak sealim atau sepolos yang dikira, tapi bayangan saat Radit mabuk berat, bahkan hampir kehilangan kesadarannya, dengan kekuatan Radit yang masih sama besarnya meski ia sudah mabuk Una takut Radit akan berbuat lebih dari sekadar menciumnya. Apalagi saat Radit mengunci kedua tangannya dan membawanya ke dalam mobil. Radit tak pernah tahu ketakutan macam apa yang dimiliki Una. "Gue takut, Dit sama elo." Tatapan Una lurus ke depan, melewati mata Radit, namun mata gadis itu sendiri berkaca-kaca. Ini adalah hal yang lebih menyakitkan daripada saat Radit harus melihat Fani memilih Yoga setelah mereka sama bonyoknya. Ketakutan Una terlihat nyata, itu lah yang lantas membuat Radit bergerak maju, ingin menggapai gadis itu namun ia kembali mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Aksi verbal akan membuat Una semakin ketakutan. Radit memundurkan tubuhnya, sedikit menjauh dari Una. "Apa yang lo takutin dari gue? Apa yang harus gue lakuin biar lo nggak takut sama gue?" Una mengangkat kepalanya. "Tolong, jangan mabuk lagi." Dan diantara sekian banyak wanita yang meminta kepadanya hanya satu orang yang berhasil membuat Radit mengangguk tanpa komentar, dulu Fani yang bisa membuatnya seperti itu, namun kali ini Radit harus mengakui ada orang kedua setelah Fani. Una berhasil membuat Radit mengangguk tanpa berkomentar apapun. "Apapun gue lakuin buat elo." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN