Heartbeat- 1
Suara musik menghentak gendang telinga begitu kuat, lagu 'Darah Muda' terdengar di segala penjuru rumah, diiringi seorang perempuan yang ikutan mencak-mencak bergoyang dan bernyanyi.
Una, gadis yang masih duduk di semester akhir menjelang wisuda dan saat ini akan dihadapkan dengan tugas magang itu terlihat asyik sendiri.
Gayanya, bentuknya, dan tingkahnya saja yang kayak anak muda, tapi selera musiknya bener-bener mirip sama orang yang lahir tahun '90-an.
Dangdut apapun dia suka, tapi paling favorit ya lagu-lagu milik raja dangdut, Bang Haji Rhoma Irama.
"Darah muda, darahnya para remajaaaaa."
Sudah nggak kehitung berapa kali gelas pecah akibat suara Una yang nyaring banget itu. Bukan, bukan karena suara Una terlalu hebat sehingga bisa memecahkan gelas.
Tapi, karena latahnya si Ibu yang bikin wanita paruh baya itu harus bersabar dengan tingkah laku anaknya yang nggak wajar itu. Pas lagi nyuci gelas, suara Una yang meledak-ledak itu bisa bikin gelas satu lusin tinggal separuh.
Harus ekstra sabar jadi Ibu. Harus!
Dering telepon di ruang tengah kembali mengagetkan Ibu. Wanita paruh baya itu harus ekstra menahan lidahnya untuk tidak gagap saat terkejut, tapi memang dasar kebanyakan dibuat terkejut sama isi dan penghuni rumah, jadi sulit banget buat ninggalin latahnya.
Diangkatnya telepon itu. "Dengan siapa?" teriak Ibu berusaha mengalahkan suara Una yang menggelegar.
"Ini Melda, Tan, Una-nya ada?" tanya Melda.
Ibu mengangguk, lantas tersadar bahwa Melda tidak akan mengetahui anggukan itu. "Ada, bentar ya Mel, Tante panggil Una dulu."
Sementara itu Una di dalam kamar masih berjoget tak karuan, sibuk packing sembari membersihkan kamarnya, dengan sebuah buku yang digulung, digunakannya buku itu sebagai mikrofonnya.
"Tak pernah mau mengalaaah, DARAH MUDA!" teriak Una gila-gilaan.
"Darah muda eh darah muda, astaghfirullah Unaaaa, ini anak satu kenapa bikin Ibu pusing melulu coba. Tuh ada telfon." Tanpa disangka-sangka, Ibu sudah berdiri di samping Una dan berkacak pinggang memperhatikan gadis itu.
Una langsung mematikan lagunya, ia menyengir saat Ibu melotot dengan gemas. "Ummaaa." Suara Una mengecil dengan nada merajuk.
Ibu langsung melengos saat tahu anaknya mulai berulah. "Apa coba? Ada telfon buat kamu tuh dari Melda," semprot Ibu gemas.
Una menganggukkan kepalanya. "Bentar, Una mau nanya sama Uma," kata Una serius.
Ibu melirik sinis. Dari ketiga anaknya, yang paling waras itu nggak ada, karena yang waras cuma Ibu, rasanya punya tiga anak yang kelakuannya ajaib-ajaib semua itu menguji mental.
Hampir oleng rasanya Ibu menghadapi ketiga anaknya, beruntung suaminya masih berdiri di sampingnya untuk terus mewanti-wanti si Ibu agar tidak membuang anaknya satu per satu ke Panti Asuhan biar bisa diadopsi orang lain.
"Sudah berapa kali Ibu bilang jangan manggil Ibu dengan panggilan Uma?" peringat Ibu tajam.
"Andaikan nama Una itu dulunya Uma, jadi kan pas kalo jadi anaknya Bang Rhoma. Uma Irama binti Rhoma Irama," celoteh Una gaje.
"Masih bagus nama kamu Aruna Swastamita."
Una mendelik heran. "Emang dulu Uma mau ngasih nama apa ke Una?"
Ibu menggigit kukunya yang panjang. "Dulunya sih Ibu mau ngasih kamu nama Fauna, tapi dilarang Ayah."
Una melongo. Ibu mana yang tega memberi nama anaknya seperti itu, sejak lahir dia sudah sadar kalau keluarganya adalah orang-orang ajaib yang turun ke bumi.
Dan sewaras-warasnya Ibu ternyata hampir bisa setega itu dengan anak kandungnya sendiri.
"Uma."
"Jangan ngobrol lagi, kamu ditunggu Melda tuh, astaghfirullah punya anak bungsu gini amat kelakuannya!" Ibu sudah melotot di depan Una, tak segan buat mendorong bahu gadis itu agar secepatnya menerima telepon.
Una menghentakkan kakinya saat berjalan menuju ruang tengah, di sana ada Eno sang kakak, tengah melirik ekspresi gadis itu dengan sinis.
"Punya adek kok gak waras," sindirnya.
Una melirik tajam, bibirnya sudah meleyot pengen menghujat. "Punya kakak kok jadi penganut kaum sodom!" balasnya menyindir.
Eno langsung bangkit dan menggeplak kepala adiknya. "Gue gak homo, anjir!"
Una menoyor balik kepala Eno. "Jauhin tangan kotor lo dari wajah gue! Gue jijik!"
Eno menggigit bibir bawahnya pengen banget mutilasi sang adik yang nggak ada akhlak macam Una ini.
Gadis itu mengangkat telepon yang masih tergeletak di meja kecil. "Selamat siang, dengan Una Irama binti Rhoma Irama, ada yang bisa saya bantu?"
"Nggak waras lo!" sentak suara di seberang.
Una menyengir, ia duduk di satu kursi sembari membuka majalah fashion. Melda mendengus di ujung sana. "Gue udah survey kos yang bakal kita huni, kebetulan banget ya emang, kita magang di tempat yang sama. Gue sih aslinya udah ogah-"
"Nggak usah melebar, terus kosnya gimana? Berhantu nggak?"
"Palelu berhantu. Kosnya enak banget, gue malah tau dari pacar lo soal kos ini," ucap Melda nyaring.
Una mesem. Tak terganggu dengan suara Melda yang nyaring. "Terus gimana? Bayarnya murah nggak?"
"Beruntung ya lo karena punya pacar pinter macam Angga, selain karena kosnya bagus banget dan bulanannya murah, dia juga nggak ngeluh pas jadi porter angkat-angkat koper sialan lo itu!"
Una tertawa. Sengaja memang semua barang ia datangkan lebih dulu di kos, karena ada beberapa urusan yang harus diselesaikan di rumah sebelum akhirnya berangkat.
Karena keberangkatan mereka ke kos mepet banget sama urusan rumah Una, gadis itu minta tolong pada Angga buat mengantar Melda sampai ke kota yang dituju buat magang, mencarikan kos, sekaligus mengurus baju-baju dan segala tas maha berat miliknya.
"Mana barang lo banyak banget, a***y! Masih baik hati gue natain baju lo di sini, berasa babu aja."
Una makin ngakak. Terdengar helaan napas keras dari sana saat dengan nggak tahu dirinya gadis itu malah ngakak. Una berusaha menghentikan tawanya menjadi beberapa suku kata yang tetap aja membuat Melda gemas. "Ntar deh pas udah sampe sana gue traktir boba!"
Melda mendecih keras. "Dih, Boba doang," ejek gadis di seberang sana.
"Ya udah gue bungkusin ketopraknya Pak Tomo ya," ucap Una dengan kepala manggut-manggut.
"Eh, kalo di sini gue tabok lo ya, itu ketoprak bisa basi nyampe sini. Aaaah udahlah, lo kapan kesininya?"
Una menoleh ke arah kamarnya yang sudah rapi dan beres. "Besok gue kesana, tunggu ya, kalo perlu jemput gue sekalian di stasiun."
"Sendika dawuh, Putri." Melda bersungkem dengan suara yang halus.
Una ngakak. "Anjir, gue berasa boss beneran deh. Udahan ya, tunggu gue aja di sana."
"Bawa jaket jangan lupa, di sini dingin banget kalo malem."
"Kata siapa?"
Lama tak terdengar jawaban, lantas terdengar Melda menjawab dengan suara serak. "Kata pacar lo."