Heartbeat— 18

1105 Kata
Mungkin Radit sudah gila tapi melihat senyum Una yang mengembang lebar seperti itu, hati cowok tersebut terasa lebih lega dan senang, rasanya aneh tak pernah ia merasakan hal seperti ini dulunya. Perasaan asing yang hadir tiba-tiba saat melihat senyum Una membuat Radit terpukau untuk sesaat. sepertinya melihat senyum Una akan menjadi hobi baru buat Radit. "Beri gue alasan kenapa gue harus milih lo sebagai pembimbing?" Radit terdiam. Hatinya yang sekarang lagi bagus banget, kayaknya nggak cocok kalau harus kerja dengan serius, apalagi hari ini ia melihat Una yang berkali-kali lipat lebih cantik dari biasanya. Jadi, pertanyaan Una barusan memancing Radit untuk mengerling jahil. "Nilai lo pasti bagus sama gue dan tentu saja karena Pak Remi nunjuk gue buat pembimbing elo pastinya udah pilihan yang tepat." Una mencibir, namun tak urung gadis itu tersenyum sembari melirik Radit. Pernah nggak sih kalian mikir kalau saja ini adalah sebuah jalan awal buat Radit agar bisa dekat dengan cewek lain, maka apa yang harus ia lakukan agar ia bisa mendekati Una? Oh, God, Radit berulang kali berkata pada hatinya bahwa, today, she look beautiful, nggak lebih, apakah memuji cantik berarti suka? Kalau begitu penyakit playernya belum disembuhkan Fani, karena ia selalu memuji poster cewek yang sengaja ditempel di kamarnya. "Na, lo pasti suntuk banget kan kerja di ruangan kayak gini?" Una mengangkat kepalanya tak paham, mengapa Radit mendadak berkata riang lantas bangkit dan tanpa sadar menggenggam erat tangannya. Una melotot kaget. "Eh, mau kemana?" Tinggi Una cuma sebatas dadanya saja, hal itu cukup memberikan efek bagus saat pria itu berdiri menjulang di hadapan Una. Biasanya, saat adegan seperti ini di film, maka cowok akan memeluk ceweknya, melingkupinya dalam rengkuhan hangat cowoknya. Atau minimal, dengan tinggi Radit dan Una yang pas dalam suatu pasangan, maka adegan yang pas selanjutnya adalah saat sang cowok merangkul gadisnya. But, hoho, jangankan merangkul apalagi meluk, daripada melihat Una menangis ketakutan dengan kebiasaannya yang sering buat cewek jantungan karena seenaknya nempel kayak cicak di tubuh orang, maka pria itu lebih memilih mengambil satu tangan Una dan menatapnya sejenak jemari-jemari lentik itu. "Gue bawa jalan ke lantai 13 ya, di sana lo bakalan tau ada banyak kerjaan yang bisa lo liat nantinya." "Di lantai ini aja kerjaan yang bisa gue liat banyak kok, ngapain sampe lantai atas?" tanya Una bingung. Radit menoleh sekilas sebelum memencet angka pada lift. "Coba lo tebak kenapa gue ajak lo kesana?" "Cowoknya ganteng-ganteng ya?" tebak Una langsung mendapatkan toyoran dari pria itu. Una mengusap dahinya. "Ya apa dooong, gue kan nggak tau." Pria itu berpegangan pada sisi lift, menatap Una dengan gelengan kepalanya. "Biar gaul. Sekalian lo jalan-jalan." *** Una nggak pernah menyangka bahwa ada ruangan yang sepertinya tidak pantas dikatakan tempat kerja— karena orang-orang di sana terlalu serius, lebih pantas lagi kalau ruangan ini disebut sebagai ajang kecepatan tangan dalam mengetik. Yang dilihat oleh Una jelas kayak duplikat film Divergent, dimana faksi candor tengah melakukan penelitian, pekerjaan penuh dengan rumus-rumus rumit. Belum pernah melihat bagaimana orang yang berada dalam ruangan tersebut menoleh selain satu orang yang mendadak melongokkan kepalanya begitu melihat kedatangan Radit. "Pantes meja lo di ujung sini, biar lo bisa molor nggak ketauan sama Bu Dini, kan?" tebak Radit. Sheryl langsung menoyor kepala pria yang kini tepat di depannya. Cewek itu langsung memberikan satu kursinya pada Radit. "Otak gue udah ngasep kali tiap masuk ke ruangan ini, si Iqbal bangke itu kapan baliknya sih, Bu Dini kayaknya balas dendam banget pernah denger kalo gue iri sama Iqbal karena posisinya." Radit tertawa. "Sekarang lo tau gimana rasanya?" "Kayak di neraka!" Mata Sheryl membulat dan bibirnya berbisik pelan saat mengatakan hal itu. Sheryl mengambil Coca-cola di depannya, lantas membukanya dengan santai, seolah pekerjaan di depannya adalah sebuah kerjaan yang bisa disepelekan kapan aja. "Meskipun keliatan serius tapi kerjaan di sini enak, Dit, gue masih suka keluar barengan Bu Dini buat rapat, jadi dibilang gantiin Iqbal, kayaknya Bu Dini lebih pantesnya lagi ngehukum gue buat ngerasain aura ruangan ini." Radit makin ketawa. Ada-ada saja ulah atasan, padahal hal sesepele ruangan juga bisa mempengaruhi kerjaan. Apalagi modelan Sheryl yang kerjanya seneng banget buat santai, jalan keluar, atau memanfaatkan fasilitas perusahaan. Dan diturunkan dari lantai 17 sama dengan menghukum Sheryl sementara waktu, meski cuma seminggu— dan hari ini menjadi hari paling melelahkan bagi Sheryl untuk bersabar agar besok tidak ceroboh lagi saat menggunakan fasilitas perusahaan untuk pribadi. Sheryl melongok dan menemukan Una berdiri nyempul di belakang Radit. "Hai, lo duduk aja di samping Radit, di meja gue nggak ada sistem kasta, semua sama kok." Radit menoleh sebentar. "Gue malah mau bilang, karena sekarang lo nggak ada kerjaan selain ngurusin laporan njelimet itu, mendingan lo di ruangan gue bentar ya." Sheryl menautkan kedua alisnya, mencureng saat melihat Radit dengan santainya bangkit dan menggandeng lengan Una. "Na, kita keluar bentar ya." Una dengan polosnya justru membuat langkah Radit tertahan. "Kita kan udah keluar, emang mau kemana lagi?" Kapan-kapan Radit harus mengajari Una agar cewek itu tidak sepolos sekarang, karena pekerjaan gadis itu tidak mungkin menempatkan cewek dengan pemikiran polos. Sheryl menyembunyikan senyumnya saat melihat Radit menahan gemas pada cewek di depannya. "Kamu ikut aja nggak usah bantah deh." Una mendongakkan kepalanya, tersenyum kecil. "Iya-iyaa, ikut aja yang penting aku aman sesuai perjanjian." Dan hal itu lah yang kemudian membuat Sheryl terpana, makin terpana saat Radit beneran pergi menggandeng tangan Una lantas melambai ke arahnya. "Sher, jangan lupa ya, bilangin ya kalo ada orang yang nyari, gue pergi bentar." "Jangan pergi doang lo, kasi tutup mulut kek buat gue," protes Sheryl. Radit mengacungkan jemarinya. Dan kedua orang itu lantas menghilang di balik pintu. *** "Lo beneran denger kayak gitu?" Sheryl mengangguk kencang. Ia tak lupa mengangkat dua jarinya untuk upaya agar kepercayaan Fani terhadapnya semakin besar. "Lo pikir itu kayak sinyal apa nggak tuh?" tanya Fani membuat Sheryl langsung melengos. "Gue pikir lo udah pinter Fan, ya lo pikir aja, Radit yang sekarang tuh kayak apa, dingin banget. Terus tiba-tiba gue liat dia ngajak Una jalan sambil gandeng tangan. Lo pikir itu wajar?" Fani terdiam sebentar, teringat bagaimana Radit yang sering juga menggandeng tangan cewek lain. "Radit juga senang menggandeng cewek lain pas nyebrang jalan kok." Dan toyoran Sheryl makin sukses mendarat di kepala Fani. "Aaaah susah emang ngomong sama lo. Itu nyebrang jalan plis, lo jangan blo'on deh." Sheryl makin ngomel, namun kali ini ada alasan lebih kuat yang bisa membuat Fani semakin percaya. "Gue semakin percaya kalo Radit suka sama Una adalah ..." Belum juga Sheryl mengatakan hal itu, tiba-tiba saja suara cowok menginterupsi perbincangan mereka, dan pintu ruangan Radit terbuka lebar menampilkan sosok Radit dan Una bergandengan tangan. "Kamu lelah ya?" Kontan mata Fani melebar. Fix, Radit udah move on! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN